Laporan Bergaya Sastra Etnografi dari Desa Wungka, Wakatobi
Sore itu, cahaya matahari di Wungka merayap pelan di antara pepohonan kelapa, menyentuh tanah merah yang masih hangat. Dari kejauhan, tampak seorang perempuan muda melangkah tertatih keluar dari sebuah mobil sewaan. Ia baru beberapa minggu keluar dari rumah sakit di kota—rumah sakit yang akhirnya mengizinkannya pulang setelah terapi modern tak memberi harapan lebih. Wajahnya pucat, tubuhnya semakin kurus, namun matanya masih menyisakan secercah tekad untuk terus hidup.
Di belakangnya, seorang lelaki paruh baya berjalan mengikuti. Ia keluarga dekat perempuan itu—penjaga, pengantar, sekaligus satu-satunya orang yang setia mencari jalan sembuh baginya. Mereka datang ke desa itu karena satu nama yang hanya disebutkan pelan oleh seorang perawat tua: “Cobalah ke Wungka… ada seorang nenek yang masih menyembuhkan dengan cara lama.”
Nenek itu dikenal sebagai Sang Dukun, meski warga lebih sering memanggilnya dengan lembut, “Ina Maja.” Kulitnya legam oleh matahari, rambutnya putih seperti garam laut, dan tangannya selalu sibuk dengan daun-daunan yang dijemur di halaman rumah panggung miliknya.
Ketika perempuan muda itu tiba, Ina Maja hanya memandangnya sebentar. Tanpa bertanya banyak, ia mengajak mereka naik ke rumah panggung, mempersilakan duduk, lalu mengambil sebungkus daun hijau gelap dari sebuah tempayan tanah liat.
Perlahan dan penuh kehati-hatian, nenek itu mengiris daun-daun itu dengan teknik yang—entah mengapa—tampak seperti sebuah ritual. Setiap irisan terdengar seperti bisikan. Setiap helai yang jatuh ke dalam tempurung kelapa mengeluarkan harum tanah yang lembut, seperti hutan selepas hujan.
Lelaki yang datang bersama perempuan muda itu tiba-tiba menegakkan badan. Ia mengenali bau itu.
“Ina… ini seperti… daun yang dulu tumbuh di belakang rumah kami waktu kecil,” katanya ragu.
Ina Maja tersenyum, tidak mengiyakan, tidak pula membantah.
“Daun mengenali siapa yang memanggilnya,” ujarnya pelan, seolah menjawab tanpa benar-benar menjawab.
Pengobatan yang Seperti Doa
Selama beberapa minggu, perempuan muda itu menjalani pengobatan tradisional ala Ina Maja. Bukan hanya rebusan daun yang pahit, tetapi juga baluran, kompres, pijat lembut, dan doa-doa yang dilantunkan dengan bahasa lokal yang hampir tidak ia mengerti. Namun setiap malam, rasa sakitnya berkurang sedikit demi sedikit. Tubuhnya mulai mampu tidur lebih lama. Nafasnya tidak lagi pendek dan sesak.
Pada minggu keempat, benjolan yang dulu begitu keras di bagian dadanya perlahan melunak. Ia belum berani berharap, tetapi tubuhnya merasakan sesuatu yang berbeda—tenang, hangat, seperti hidupnya dirawat oleh tangan-tangan alam.
Lelaki yang menemaninya semakin penasaran. Ia memerhatikan daun yang selalu diiris Ina Maja: bentuknya menyerupai tombak kecil, pinggirnya bergerigi halus, aromanya khas—tajam namun segar.
“Ina, apa nama daun ini?” tanyanya suatu hari.
Nenek tua itu menghela napas, mengikat daun tersebut dengan seutas serat pisang, lalu menatap laut Wakatobi yang membiru.
“Nama bisa mengecoh,” jawabnya.
“Yang penting adalah bagaimana ia hidup, di tanah mana ia tumbuh, dan bagaimana kita memintanya bekerja. Orang kota selalu mencari nama. Padahal yang menyembuhkan adalah hubungan, bukan sebutan.”
Namun lelaki itu tetap yakin ia pernah melihatnya. Percampuran antara kenangan masa kecil dan aroma daun itu membuatnya sadar: ia sedang berdiri di ambang sebuah pengetahuan lama—pengetahuan yang nyaris hilang.
Benarkah Ada Petunjuk untuk Riset Akademis?
Ketika kondisi perempuan muda itu membaik dan hasil pemeriksaan di kota menunjukkan penurunan signifikan pada perkembangan kanker stadium empatnya, desas-desus tentang daun Ina Maja menyebar hingga ke telinga beberapa akademisi kesehatan di Sulawesi Tenggara.
Apakah daun itu katangka?
Atau gamal?
Atau mungkin varian lokal dari Annona muricata (sirsak) yang selama ini diduga mengandung asetogenin anti-kanker?
Atau justru tanaman endemik Wakatobi yang belum pernah diteliti sama sekali?
Tidak ada yang tahu pasti.
Yang ada hanya potongan-potongan petunjuk: aroma yang khas, cara pengolahan yang unik, teknik pengirisan yang memaksimalkan getah, serta ritual yang menyertainya. Semua itu seperti puzzle etnobotani yang memanggil ilmuwan untuk menelusuri jejak.
Bagi sebagian akademisi, kisah ini hanyalah anekdot—tidak cukup sebagai bukti ilmiah. Namun bagi peneliti etnofarmasi, inilah pintu masuk: sebuah narasi lokal yang perlu diuji, diverifikasi, dan mungkin saja menjadi dasar riset serius tentang senyawa bioaktif anti-kanker dari tanaman tradisional di Wakatobi.
Ina Maja, tentu saja, hanya tersenyum ketika mendengar kabar bahwa orang kota mulai bertanya-tanya.
“Kalau memang waktunya tiba,” katanya, “daun itu sendiri yang akan berbicara.”
Jejak yang Menuntun
Perempuan muda itu kini sudah jauh lebih sehat. Ia sering kembali ke Wungka, bukan untuk berobat lagi, melainkan untuk duduk bersama Ina Maja dan membantu menjemur daun. Sementara lelaki itu terus mencatat diam-diam: bentuk daun, cara memotong, jam pengambilan, bahkan cerita-cerita nenek tua yang kadang lebih seperti puisi daripada petunjuk kesehatan.
Nama daun itu tetap menjadi misteri—sebuah pertanyaan yang menggantung, menantang siapa pun yang ingin mencarinya.
Tetapi satu hal pasti: dari sebuah rumah panggung sederhana di Desa Wungka, sebuah kisah kecil telah tumbuh menjadi kemungkinan besar—bahwa mungkin, di antara daun-daun yang diiris dalam senyap itu, tersembunyi kandidat obat tradisional anti-kanker payudara yang layak diteliti dan diuji secara ilmiah.
Dan seperti kata Ina Maja, “Daun akan mengenali siapa yang benar-benar ingin mendengarnya.”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar