Oleh: drh. Chaidir, MM.
Dimana peran kebudayaan?
Kemelayuan Dalam Perangkat Simbol
Tantangan Ke Depan
PERILAKU
kehidupan masyarakat kita dewasa ini ditandai dengan kekacauan berpikir.
Masyarakat hidup dalam situasi sosial tanpa norma akibat lemahnya ketertiban
dan keteladanan sosial. Masyarakat seolah tak punya negara dan hukum (stateless
and lawless society). Inilah sindrom masyarakat anomie sebagaimana disebut
sosiolog Emile Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa penghormatan
terhadap peraturan.
Bentrokan
antar kelompok masyarakat, antar suku, antara aparat dengan masyarakat mudah
sekali meletus. Adakalanya hanya karena urusan sepele yang sebenarnya bisa
diselesaikan dengan baik. Ketidak patuhan terhadap hukum, menjadi tontonan
dimana-mana. Sementara pada sisi lain, elit politik tak kenal lelah melibatkan
diri dalam perdebatan tanpa etika. Kehidupan masyarakat kita dewasa ini
ditandai dengan politisasi berlebihan. Akibatnya sendi-sendi kehidupan
bermartabat yang dengan bersusah payah ditegakkan, terlihat goyah. Kita hampir
kehilangan pegangan. Hubungan persaudaraan, solidaritas, kegotongroyongan, rasa
hormat-menghormati terlihat mengendur. Keteladanan menjadi sesuatu yang sulit
dicari. Yang terlihat menonjol justru semangat materialisme yang berlebihan dan
semangat perlombaan perebutan kekuasaan yang miskin etika.
Ada beberapa hal penyebab munculnya masyarakat anomie
tersebut. Pertama, compang-campingnya penegakan hukum. Perangkat hukum yang
diharapkan menjadi penyelesai konflik di masyarakat justru memunculkan
ketidakadilan. Tidak sedikit rakyat kecil dipidana dan dihukum lebih berat
dibanding pelaku korupsi yang jelas merugikan negara. Kedua, buruknya
keteladanan dari elite. Para, penyelenggara negara berperilaku koruptif dan
memperburuk keadaan. Ketiga, rakyat didera frustasi sosial. Akumulasi
kekecewaan rakyat atas penegakan hukum formal telah melewati batas kesabaran.
Masyarakat pun mulai main hakim sendiri dalam menyelesaikan persoalan. Budaya
sopan santun yang disebut-sebut sebagai ciri kebudayaan Melayu, justru tidak
hadir dalam kehidupan nyata.
Saya bukan bermaksud membangun pesimisme, saya hanya
ingin mengajak para perenung untuk berkontemplasi, atau siapa saja yang peduli,
khususnya komunitas kebudayaan untuk melihat sebuah realitas sosial, bahwa kita
bersama-sama sedang mendayung perahu sarat ini menuju samudra berombak besar
yang tak berpantai. Carilah kesempatan menepi untuk jeda sembari melakukan
kalkulasi. Atau kita akan sama-sama tenggelam ke dasar samudra yang kelam.
Potret budaya politik yang ditampilkan misalnya,
adalah budaya politik yang buruk rupa, politik menghalalkan segala macam cara
sebagaimana disebut Niccollo Machievelli. Mengapa demikian banyak orang
yang melakukan kejahatan atas nama agama, etnis, suku, kebudayaan dan identitas
lainnya? Mengapa banyak yang menegakkan kebenaran dengan cara yang tidak benar,
mengapa menegakkan demokrasi dengan cara tidak demokratis, mengapa menegakkan
hukum dengan cara yang tidak adil? Dan serangkaian panjang pertanyaan yang
mengandung paradoksal, bisa disusun tali-bertali. Dusta dimana-mana, kemunafikan
bersimaharajalela, lain di depan lain di belakang, lain di bibir lain di hati.
Kita secara berjamaah terjebak dalam perangkap simbolistik kebudayaan, meriah
dalam kostum dan seremoni miskin dalam apresiasi dan substansi, sehingga
memunculkan perilaku yang jauh panggang dari api. Kita sedang menyulam sebuah
kebudayaan yang tak punya hati. Konstituennya beratribut budaya materialistik,
budaya instan, budaya korup, hedonisme, hipokrit, pembohong, dan seterusnya.
Singkatnya, ada sesuatu yang tak beres dalam
masyarakat kita. Ada abnormalitas sosial budaya. Komunitas kita terluka
karena banyak kebohongan, kepura-puraan dan fakta yang tersimpan di bawah meja.
Kita bisa mengelabui publik, menyembunyikan kebenaran atau kecurangan, fakta
boleh kabur, tidak terungkap, tidak tertangkap, berubah-ubah, tapi bukan
berarti fakta itu tidak eksis. Justru fakta-fakta yang tidak terungkap itulah
yang menjadi persoalan. Keburukan-keburukan yang tersembunyi itulah yang
menimbulkan prasangka yang pada akhirnya menimbulkan krisis kepercayaan.
Keburukan yang berbaju kebaikan tak akan pernah bisa memberi tauladan.
Kebudayaan window dressing, harga mahal berbagai seremonial, tak ubahnya
hanya seperti bedak.
Seiring kencangnya arus perubahan dan kuatnya proses
akulturasi di tengah masyarakat Melayu itu sendiri, kebudayaan Melayu laksana
kapal yang berlayar di tengah badai. Dari berbagai kajian, mengaburnya kerangka
acuan itu disebabkan karena beberapa hal. Pertama, adanya sebuah fakta, bahwa
pembangunan kita terlalu mengedepankan aspek material. Dalam beberapa dekade
ini pembangunan telah melahirkan ketidak-seimbangan dalam pola perilaku
masyarakat. Persaingan material yang berlebihan telah menghasilkan masyarakat
yang anomi. Capaian-capaian, khususnya bidang ekonomi, ternyata telah mengubah
manusia menjadi makhluk-makhluk yang cenderung bebas nilai, saling memandang
hubungan sosial dengan pertimbangan untung rugi atau kepentingan semata. Efek
lanjutan dari kondisi ini munculnya generasi yang tercerabut dari nilai-nilai,
generasi yang rapuh dari aspek spiritual, mudah stress, dan kehilangan pijakan
platform.
Kedua, adanya fakta, bahwa era kesejagatan
(globalisasi) berpotensi mengaburkan identitas. Hal ini bisa dimaklumi,
karena kesejagatan bisa membuat siapapun atau negara manapun dapat memasuki
"pintu" pihak lain tanpa sekat. Semua saling berbaur dan saling
mempengaruhi secara mendalam. Sebagaimana dilansir dan sekaligus dikuatirkan
oleh beberapa pakar masa depan, semisal Naisbitt, Alvin Toffler, atau
Patricia Aburdane, kesejagatan itu berpeluang mengaburkan identitas seorang
manusia, sebuah kaum, komunitas, atau bahkan negara. Tak jarang, seseorang yang
mengaku Indonesia atau Malaysia, tetapi dalam sikap, ia sudah menjadi Eropa,
atau Amerika, tanpa disadari atau karena kuatnya pengaruh kesejagatan tersebut.
Ketiga: Perangkap kekuasaan. Sejarah mengajarkan kepada kita, runtuhnya
imperium Islam di Andalusia, setelah jaya selama dua abad semenjak pasukan Tareq
bin Ziyad menyeberangi Selat Gibraltar, disebabkan karena krisis
kepemimpinan. Nafsu kekuasaan dan harta benda telah menyebabkan
terpecah-pecahnya imperium itu menjadi kesultanan yang kecil-kecil. Mereka
saling berebut kekuasaan, bahkan untuk mempertahankan kekuasaannya, seorang
Sultan tidak segan-segan meminta bantuan kepada pasukan non muslim.
Perebutan kekuasaan dan harta benda dewasa ini,
mempertontonkan kepada khalayak bahwa kita seperti sudah tersesat di siang
bolong di tengah belantara tanpa platform. Sehingga, ketika bangsa lain telah
memasuki era sain dan teknologi modern dalam merespon berbagai macam tantangan,
kita masih terjebak pada pendekatan partikularistik yang menyebabkan kita kian
tertinggal. Logika "untung-rugi" kelompok dan kedaerahan lebih
menonjol ketimbang kepentingan masyarakat umum.
Kebudayaan Melayu yang diharapkan menjadi media untuk
menetralisir perilaku anomi elit politik dan masyarakat, terperangkap pula
dalam formalitas atributif, simbolistik dan miskin substansi. Sesungguhnya,
ketika kebudayaan Melayu menjadi sebuah paradigma, serta merta menempatkan kita
kepada identitas religius yang sangat kentara. Begitu kuatnya nilai-nilai
religius melekat dan membalut jati diri Melayu, menjadikannya bak hubungan
kulit dan daging. Sehingga muncul persepsi antropologis, Melayu adalah Islam,
kebudayaan Melayu dengan demikian adalah kebudayaan Islam. Tapi justru di
sinilah letak kegalauan itu, yang mencuat menjadi kontradiksi-kontradiksi.
Tren
Kebudayaan
Beberapa pemikiran strategis mencatat, pembangunan
kebudayaan merupakan aspek penting dalam pembangunan sebuah peradaban.
Pembangunan kebudayaan bagi kehidupan kemanusiaan, adalah sesuatu yang
diperbincangkan secara hangat, khususnya ketika dunia memasuki abad 21.
Menghangatnya perbincangan tentang kebudayaan dan hubungan kebudayaan tersebut
dengan upaya pembangunan sebuah peradaban manusia modern, berhubungan pula
dengan ketakutan manusia terhadap fakta-fakta yang muncul akibat kemajuan zaman
yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Berhadapan dengan fakta yang merisaukan itulah, maka
dewasa ini, banyak negara di berbagai belahan dunia, khususnya negara-negara
maju, berlomba-lomba memperkuat jati diri dengan memperdalam pembangunan
kebudayaan atau melakukan restorasi kebudayaan, menggali kembali harta karun
nilai-nilai luhur masyarakatnya yang telah tergusur oleh semangat materialisme.
Jati diri dalam bingkai sebuah kebudayaan yang kokoh kelak diharapkan dapat
menjadi benteng untuk menghadang akibat buruk dunia yang diciptakannya sendiri.
Dalam Megatrend 2000, misalnya, kita menemukan
informasi, bagaimana negara-negara maju bersedia mengeluarkan belanja yang
besar untuk memberikan subsidi kepada setiap anggota masyarakat untuk ikut
dalam kegiatan kebudayaan, membangun gedung-gedung kesenian, dan membuat
kebijakan-kebijakan yang pada intinya agar masyarakat mempunyai kekuatan
spiritual yang tangguh. Dan dengan kekuatan spiritual yang tumbuh dari ranah
kebudayaan itu, kemajuan bidang lain diharapkan tidak akan menggoyahkan
nilai-nilai kemanusiaan.
Mengapa kebudayaan? Karena dalam kebudayaan terdapat
seperangkat sistem nilai yang mengarah pada proses menemukan diri. Kebudayaan
adalah suatu hal yang penting ketika kita berpikir tentang keseimbangan hidup.
Sejumlah negara besar atau negara maju dewasa ini, semisal Amerika, Jepang,
China, dan sejumlah negara-negara Eropa, saat ini mulai "pulang" ke
rumah kebudayaan mereka masing-masing. Orang China membolak-balik ajaran Kong
Fu Tse, Amerika Serikat mewajibkan pelajarnya membaca buku kebudayaan, Jepang
memperkukuh semangat Bushido. Hal ini terjadi setelah di depan mereka terbentang
padang luas kehidupan yang liar dengan "ribuan serigala" hawa nafsu
berkeliaran di dalamnya. Sebuah kenyataan tak terhindarkan, kemajuan yang
dicapai dengan mengedepankan prinsip pasar ternyata memangsa anak-anak negeri
yang lemah. Seperti apa yang disebut filsuf Thomas Hobbes sebagai homo homini
lupus, manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lainnya. Sementara dalam
sebuah Negara kesejahteraan (welfare state), harusnya homo homini sosius,
manusia yang satu menjadi teman bagi manusia lainnya. Oleh karena itulah tumbuh
suatu kesadaran untuk percaya pada ungkapan Matthew Arnold, bahwa kebudayaan
merupakan media yang mampu menetralisir, atau paling tidak meredakan eksistensi
kehidupan manusia modern yang sangat agresif, kejam dan sangat berbau dagang
itu.
Sebuah negeri yang tidak berupaya menumbuhkan
kesadaran kebudayaan, akan menjadi sebuah negeri yang malang, meski semaju
apapun capaian yang telah dibuat. Keseimbangan antara material dan spiritual
adalah jalan yang mutlak yang harus dilalui, khususnya jika tidak ingin semua
hal yang sudah dibangun dengan bersusah payah, menjadi sesuatu yang kehilangan
makna. Sebuah negeri yang ideal, kata William Butler Yeats, sastrawan pemenang
Nobel sastra dari Irlandia, adalah sebuah negeri yang di dalamnya terdapat
nyanyian, puisi, dan balada pada satu sisi, dan sistem pemerintahan yang baik
pada sisi yang lain.
Kenapa sebuah negeri maju yang lainnya tidak, atau
kenapa sebuah negeri maju dengan identitas yang jelas, yang lain masih
mencari-cari identitas? Ada negeri maju yang disebut memiliki marwah, ada
negeri maju yang dianggap tidak memiliki marwah. Sebaliknya, banyak negeri yang
terpuruk karena mereka tidak memiliki suatu jati diri yang kokoh.
Penggambaran itu dapat dilihat pada wajah kehidupan
sebuah negeri, lihatlah Amerika Serikat, Inggeris, atau Jerman. Lihat pula
Jepang, China, Korea atau Thailand, atau lihat pula Singapura dan Malaysia. Dan
jangan lupa, lihat pula Ethiopia, Uganda atau Ghana, atau Myanmar. Atau lihat
wajah negeri kita di depan cermin. Banyak pengamat menyimpulkan bahwa alasan
utama mengapa sebahagian negeri atau kelompok etnis lebih berhasil daripada
yang lainnya terletak pada nilai-nilai kebudayaan yang secara kuat membentuk
kinerja politik, ekonomi dan sosial.
Samuel P. Huntington mencatat data menarik dalam buku
Kebangkitan Peran Budaya Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia
(LP3ES, 2006), Ghana dan Korea Selatan pada awal 1960-an memiliki kemiripan
ekonomi. Huntington mencatat, kedua negara, memiliki tingkat Produk Domestik
Bruto (PDB) per kapita yang setara, porsi ekonomi mereka serupa dalam hal
manufakturing, jasa primer serta berlimpahnya ekspor produk primer. Mereka juga
menerima bantuan ekonomi dari lembaga internasional dalam jumlah yang
berimbang. Tiga puluh tahun kemudian, Korea Selatan menjadi raksasa industri
dengan pendapatan perkapita yang tinggi. Tidak ada perubahan dengan Ghana, PDB
per kapitanya sekarang seperlimabelas dari Korea Selatan. Bagaimana menjelaskan
perbedaan yang luar biasa dalam perkembangan ini? Tidak diragukan lagi banyak
faktor yang perberan, tetapi kebudayaan memainkan peran besar, demikian ditulis
Huntington.
Korea Selatan memang menjadi sebuah contoh yang
menarik. Dalam buku Biografi Jenderal Douglas MacArthur, Korea Selatan disebutkan
pada waktu itu (1950-1953) sangat feodal, korup dan bukan bangsa pekerja.
Karena itu disimpulkan negeri itu akan sulit maju. Namun kita melihat
kenyataan, di bawah kepemimpinan Presiden Park Chung Hee yang kuat, Korea
Selatan mampu bangkit dan mengubah diri menjadi masyarakat yang egaliter,
memiliki budaya disiplin dan kerja keras. Korea Selatan tumbuh menjadi bangsa
yang kuat. Budaya hidup mereka yang semula keropos berubah menjadi budaya hidup
produktif dan efisien.
Singapura, yang ketika menjadi jajahan Inggeris
dikenal sebagai "An Old China Town", sebuah kampong Cina tua, setelah
merdeka dalam waktu yang singkat mampu berkembang menjadi Negara yang
sejahtera. Pemimpinnya Lee Kwan Yew, melalui keteladanan yang kuat sebagai
pemimpin yang sederhana dan pekerja keras, berhasil membangun budaya disiplin,
hemat, efisien, bersih dan tertib. Lee Kwan Yew telah menjalankan dua fungsi
kepemimpinan dalam kearifan Melayu secara terang benderang: 1) memakmurkan
rakyatnya; dan, 2) memberikan keteladanan; walaupun dia tidak menyebut itu
sebagai konsep kepemimpinan Melayu.
Jepang adalah sebuah contoh lain yang tidak kalah
menariknya, di samping Korea Selatan dan Singapura, bagaimana kebudayaan
memberikan kekuatan yang demikian mengagumkan bagi kemajuan sebuah bangsa. Kita
tahu, bahwa Jepang moderen pernah melewati masa kelam, khususnya sesudah Perang
Dunia II. Tapi dengan kekuatan yang luar biasa, Jepang kembali tumbuh menjadi
kekuatan dunia yang demikian diperhitungkan. Kekuatan Jepang ini tidaklah
tumbuh dengan sendirinya, tapi ia muncul karena Jepang secara teguh memainkan
hasrat kemajuan dalam keluhuran nilai-nilai kebudayaan yang dianutnya.
Kedisiplinan Jepang dalam menjalankan budaya samurai (Bushi), yang berisi tujuh
nilai utama yaitu : Kebaikan Hati, Keberanian, Kejujuran, Kehormatan, Keadilan,
Kesetiaan, dan Kepedulian atau Rasa Hormat, membuat mereka tidak hanya tumbuh
sebagai bangsa yang kuat, dan makmur, juga memiliki kehormatan. Kuatnya
pengaruh budaya itu terlihat dalam kinerja politik dan ekonomi masyarakatnya.
Dimana peran kebudayaan?
Kata "kebudayaan" berasal dari kata
Sanskerta buddhayah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi"
atau "akal". Maka kebudayaan itu dapat diartikan hal-hal yang
bersangkutan dengan budi dan akal. Sebagai konsep, kebudayaan antara lain
berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan
belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu
(Koentjaraningrat, 1974: Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan).
Koentjaraningrat membagi kebudayaan itu sekurang-kurangnya dalam tiga wujud:
Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; kedua, wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks akivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat;
ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Ketiga wujud tersebut
dalam kehidupan masyarakat tidak terpisahkan. Dalam perspektif idiil dan adat
istiadat, kebudayaan mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia.
Koentjaraningrat menyebut hakikat kebudayaan adalah menerapkan nilai-nilai yang
baik, nilai-nilai yang luhur dalam kehidupan, menjunjung tinggi etika,
berakhlak mulia, kemudian mewariskannya melalui keteladanan.
Senada dengan Koentjaraningrat, budayawan dan penulis
Melayu, UU Hamidy (1986) dalam bukunya Membaca Kehidupan Orang Melayu,
menyebutkan harkat kemanusiaan dalam tradisi Melayu masih tetap condong kepada
martabat yang tinggi, dalam arti hidup jujur dan mempunyai pribadi yang baik –
seperti digariskan agama dan adatnya. Masyarakat Melayu dalam alur bingkai
budayanya, cukup mempunyai tradisi yang baik sebagai rakyat. Pantangan bagi
mereka berbuat durhaka kepada para pemimpin. Tetapi dalam pada itu juga
pantangan bagi mereka pemimpin yang berbuat hina.
Jelas tidak semua pemimpin bermental munafik dan
pembohong, namun harus diakui, tidak sedikit yang bermental seperti itu. Asrori
S Karni (2008, dalam buku Di Balik Buku Terlaris Dalam Sejarah Indonesia Laskar
Pelangi The Phenomenon), menulis, efek buruk mental busuk itu tak selalu
memerlukan populasi besar. Meskipun populasinya kecil, kalau mentalitas macam
itu menghinggapi segelintir elit pejabat yang menduduki pos-pos strategis, maka
dampak buruknya jauh lebih serius. Meskipun mereka berada di tengah mayoritas
rakyat yang saleh dan berkarakter baik. Ungkapan Andrea Hirata, penulis novel
Laskar Pelangi, sebagaimana dikutip Asrori, agaknya benar, "hubungan kaya,
miskin, dan sukses adalah semata persoalan integritas, sikap, dan mentalitas."
Masalah integritas inilah yang menjadi benang merah
pendapat Francis Fukuyama (1996) sebagaimana ditulis dalam bukunya Trust: The
social Virtues and the Creation of Prosperity. Fukuyama mengatakan, bahwa dalam
persaingan global , modal yang paling penting bukanlah teknologi atau pun
kapital, melainkan trust, percaya. Tentulah kepercayaan tidak akan tumbuh
dengan sendirinya kalau tak ada kejujuran (integritas). Modal sosial dalam
bentuk kepercayaan sama pentingnya dengan modal fisik. Hanya masyarakat dengan
kepercayaan sosial yang tinggi yang akan mampu menciptakan organisasi bisnis
skala besar yang fleksibel dan diperlukan untuk berhasil dalam kompetisi
perekonomian global yang berkembang. Kejayaan Amerika pada kenyataannya bukan
oleh etos individualisme yang banyak dibayangkan orang, tetapi pada keeratan
(cohesiveness) ikatan kewargaan (civil association) dan kekuatan komunitasnya.
Ada rasa saling percaya. (Riant Nugroho Dwijowijoto, 2003: Reinventing
Pembangunan Menata Ulang Paradgima Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan
Global).
Fukuyama membagi tingkat kepercayaan sosial masyarakat
dalam dua kelompok. Pertama, masyarakat dengan tingkat kepercayaan sosial yang
tinggi (high trust society); dan kedua, masyarakat dengan tingkat kepercayaan
social yang rendah (low trust society). Masyarakat maju dan modern termasuk
dalam kelompok pertama, sedangkan masyarakat terbelakang masuk dalam kelompok
kelompok kedua. Masyarakat dengan tingkat kepercayaan sosial yang rendah inilah
yang memberikan hukuman mati bagi Copernicus, ketika ilmuwan itu mengatakan
sebuah kebenaran, bukan matahari yang mengelilingi bumi tapi bumi yang
mengelilingi matahari.
Masyarakat kita tentulah tidak termasuk dalam kelompok
low trust society. Masyarakat kita telah memiliki peradaban, tetapi untuk masuk
dalam kelompok high trust society agaknya juga masih jauh. Para pemimpinnya
saja belum memberikan keteladanan dalam perilaku. Hal-hal yang buruk masih
menjadi budaya dalam masyarakat kita, seperti tidak bisa dipercaya,
pembohongan, kemunafikan, korupsi, penyelewenangan, tingkat disiplin yang
rendah dan sebagainya. Berpuluh pakta integritas ditandatangani, tapi dokumen
tinggal dokumen.
Budaya integritas kita agaknya belum sebagaimana
disebut Oprah Winfrey, integritas sejati adalah melakukan hal yang benar,
padahal tahu bahwa tidak akan ada seorang pun yang tahu apakah kita
melakukannya atau tidak. Orang yang penuh integritas adalah adalah orang yang
ucapannya sesuai dengan perbuatannya, dan perilakunya mencerminkan nilai-nilai
luhur yang dianutnya. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang melakukan hal-hal
yang benar, dengan alasan yang benar, pada waktu yang tepat.
Pusat
Kebudayaan Melayu
Undang-Undang Dasar 45 antara lain menyatakan bahwa
salah satu tugas pemerintah di bidang kebudayaan adalah mengembangkan budaya
nasional Indonesia, yang didefinisikan sebagai "puncak-puncak
kebudayaan" daerah atau kebudayaan etnis di Indonesia. Setiap budaya etnis
di Indonesia diasumsikan memiliki unsur-unsur budaya yang mungkin akan dapat
diangkat dan dikembangkan menjadi unsur kebudayaan nasional, yang kemudian akan
memperkokoh sosok kebudayaan nasional Indonesia. Sementara itu, puncak-puncak
kebudayaan etnis ini belum seluruhnya terungkap, padahal setiap budaya etnis
merupakan khasanah budaya yang sangat kaya. Kebutuhan akan informasi mengenai
"puncak-puncak kebudayaan daerah" ini menjadi terasa semakin mendesak
ketika kebudayaan nasional diyakini tengah menghadapi arus masuknya budaya
asing yang begitu deras dirasakan.
Riau adalah sebuah negeri yang patut bersyukur karena
mampu membaca tanda-tanda zaman tersebut dan menyongsong abad ke-21 dengan
semangat menciptakan keseimbangan antara pencapaian bidang ekonomi dengan
pembangunan spiritual dan kebudayaan. Bukti dari semangat itu adalah, timbulnya
kesatuan tekad untuk menjadikan Provinsi Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu
pada tahun 2020 dalam lingkungan masyarakat yang agamis di Asia Tenggara,
sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 36 tahun 2001,
tentang Pola Dasar Pembangunan daerah Riau. Upaya-upaya pembangunan kebudayaan
yang telah dilakukan sejak lama mengalami kristalisasi dalam visi tersebut.
Setiap pemimpin yang memegang teraju negeri, sesuai
dengan kapasitas pemikirannya tentang kebudayaan selalu menjadikan kebudayaan
Melayu sebagai alas pembangunan. Pembangunan kebudayaan Melayu terkait satu
sama lain dengan pembangunan spiritual karena adat dan kebudayaan Melayu
bersumber dari keluhuran agama Islam, yaitu adat yang bersendi syarak, dan
syarak yang bersendikan kitabullah.
Kita menyadari, kebudayaan Melayu merupakan sebuah
kekuatan utama yang mengukuhkan negeri serantau menjadi sebuah negeri yang
bermartabat. Kesadaran ini muncul dengan berangkat dari pemahaman sejarah yang
kuat, bahwa sejak masa lampau, kebudayaan telah menjadi kekuatan tersendiri, di
luar politik dan ekonomi. Di tengah masyarakat Riau yang berbilang kaum kita
memerlukan kebudayaan Melayu sebagai identitas nilai dan kewilayahan untuk
mempersatukan masyarakat.
Kemelayuan Dalam Perangkat Simbol
Kemelayuan pada dasarnya juga merupakan sejumlah ciri
yang ada pada perangkat simbol. Ini terlihat pada pembahasan Parsudi Suparlan
(1985) mengenai identitas sosial-budaya orang Melayu. Perangkat simbol ini
berasal antara lain dari kerajaan-kerajaan Melayu di masa lampau, yang kemudian
banyak mewarnai kehidupan orang Melayu dan mendapat pengakuan sebagai perangkat
simbol Melayu dari sukubangsa lain. Perangkat simbol ini berupa "kombinasi
seperangkat motif dan nilai-nilai abstrak". Perangkat simbol ini merupakan
kerangka acuan yang penting bagi orang Melayu dalam berinteraksi dengan sesama
orang Melayu dan mereka yang bukan Melayu.
Ciri-ciri perangkat simbol Melayu ini antara lain
adalah "keramah-tamahan dan keterbukaan", yang dapat
"mengakomodasi perbedaan". Ciri-ciri ini, menurut Parsudi Suparlan,
merupakan hasil dari "pengalaman sejarah kebudayaan Melayu yang selama
berabad-abad telah berhubungan dengan kebudayaan asing." Dengan ciri
tersebut budaya Melayu mampu mengambil-alih unsur-unsur budaya lain dan kemudian
menjadikannya seperti bagian asli dari budaya Melayu itu sendiri. Dengan kata
lain, budaya Melayu memiliki kemampuan yang tinggi untuk menyerap unsur-unsur
budaya dari sukubangsa lain.
Ciri umum yang lain dianggap ada pada strukturnya,
yang terdiri dari sejumlah status dan peran dalam sistem pemerintahan.
Sebagaimana ditunjukkan oleh T.Luckman Sinar (1985), Rahim (1985) dan Suwardi
(1985), kedudukan paling tinggi dalam kerajaan Melayu adalah kedudukan raja
yang bergelar "sultan", atau yang memiliki nama-nama Arab (Ambary,
1985), dan di bawahnya adalah para pembesar setempat, yang mempunyai kedudukan
dan gelar yang berbeda-beda, seperti Bendahara dan Yang Dipertuan Muda.
Ciri yang lain, menurut Ong Hok Ham adalah
kemaritimannya. Kerajaan-kerajaan Melayu di masa lalu merupakan
kerajaan-kerajaan maritim, atau kerajaan yang berkembang di tepi-tepi, sungai
yang menghubungkannya dengan laut luas. Basis ekonomi mereka adalah perdagangan
antarpulau. Sayang sekali dalam hal ini belum ada keterangan yang lebih jelas mengenai
proses tumbuhnya kerajaan-kerajaan tersebut di masa lampau. Apakah
kerajaan-kerajaan ini juga mempunyai basis masyarakat yang hidup dari bertani
di pedalaman atau memang sepenuhnya hidup dari perdagangan antarpulau? Jika
berbasis pada perdagangan, mengapa tidak terlihat posisi-posisi khusus untuk
menangani kegiatan perdagangan? Bagaimana hubungan antara raja dengan rakyatnya
di sini? Ciri-ciri Melayu yang lain dalam perangkat simbol orang Melayu adalah
bahasa, Islam dalam agama, bilateral dalam sistem kekerabatan, dan kemajemukan
dalam budaya Melayu itu sendiri. Bahasa Melayu sebagai ciri dari perangkat
simbol Melayu adalah hal yang sangat jelas, dan ini juga diakui oleh
suku-sukubangsa lain. Islam sebagai agama orang Melayu juga diakui oleh suku-sukubangsa
lain yang banyak berhubungan dengan orang Melayu, seperti suku Sakai, suku
Dayak, dan suku Batak, sehingga ketika seseorang masuk Islam dia juga dikatakan
"menjadi Melayu". Kemajemukan sebagai ciri budaya Melayu juga diakui
oleh orang Melayu dan yang bukan Melayu. Mereka mengetahui bahwa orang Melayu
dapat dibeda-bedakan lagi menjadi orang Melayu Riau Daratan dan orang Melayu
Riau Kepulauan. Orang Melayu Kepulauan dapat dibedakan lagi menjadi orang
Melayu Penyengat, orang Melayu Bintan, orang Melayu Batam, dan seterusnya.
Seperti halnya pandangan-pandangan esensialis
sebelumnya, pandangan esensialis tentang perangkat simbol Melayu ini juga
menghadapi masalah yang sama. Sebagaimana kita ketahui, ciri-ciri yang
dikatakan oleh Parsudi Suparlan sebagai ciri-ciri simbol Melayu, yakni
keramah-tamahan, keterbukaan, agama, bahasa, sistem kekerabatan bilateral dan
kemajemukan, ciiri-ciri ini juga ada dalam perangkat simbol suku-sukubangsa
lain di Indonesia, seperti misalnya orang Minahasa, orang Bugis-Makassar, orang
Banjar, dan sebagainya. Jika demikian maka sebenarnya kemelayuan sebagaimana
yang dikatakan oleh Parsudi Suparlan sulit untuk dikatakan sebagai kemelayuan
atau identitas Melayu.
Kemelayuan juga menjadi lebih jelas tampil ketika
ditempatkan dalam konteks relasi orang Melayu dengan golongan-golongan sosial
tertentu secara historis, sebagaimana ditunjukkan oleh Muchtar Lutfi (1985).
Kemelayuan yang menurut Lutfi penting dalam relasi-relasi sosial orang Melayu
adalah nilai-nilai agama Islam. Kuatnya nilai-nilai Islam tertanam dalam budaya
Melayu telah membuat orang Melayu tidak menyukai budaya Barat (Portugis,
Belanda, Inggris), yang sangat dipengaruhi oleh agama Kristen-Katholik, yang
juga merupakan oposisi dari agama Islam. Apalagi orang-orang Barat adalah juga
orang-orang yang telah menaklukkan dan menghancurkan kerajaan-kerajaan Melayu
yang berbasis pada agama Islam di masa lampau. Ketidak-sukaan orang Melayu
terhadap orang dan budaya Barat tersebut sangat berbeda dengan sikap dan
pandangan mereka terhadap orang dan budaya Arab, yang telah membuat budaya
Melayu mampu berkembang dan mengalami kejayaan di masa lampau. Sejarah relasi
orang Melayu dengan orang Arab, India, Cina, Portugis, dan Inggris, merupakan
fakta yang dianggap dapat menjelaskan posisi dan relasi orang Melayu di masa
kini.
Kemelayuan sebenarnya tidak hanya dibangun oleh orang
Melayu, tetapi juga oleh mereka yang bukan Melayu. Artinya, orang-orang
non-Melayu sebenarnya juga memiliki pandangan atau gambaran sendiri mengenai
apa itu "Melayu", sebagaimana terlihat pada tulisan Zawawi Imron
(1985). Unsur budaya Melayu pertama yang dikenal oleh Zawawi Imron adalah
bahasa Melayu. Walaupun merupakan unsur budaya asing, namun bahasa Melayu
ternyata "telah lama menjadi kebanggaan orang-orang di kampung
"tempat tinggalnya. Bahasa Melayu merupakan bahasa orang-orang di kantor
atau bahasa orang-orang yang terpandang. Kemelayuan di sini adalah tidak lain
adalah bahasa Melayu, dan kemelayuan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang
"tinggi kedudukan-nya" karena digunakan oleh orang-orang yang juga
tinggi kedudukan sosialnya, yakni para pejabat dan orang-orang Madura yang
telah berhasil "berlayar dan singgah di bandar-bandar yang jauh dari
Madura" (Imron, 1985).
Memandang kemelayuan sebagai ciri-ciri simbolis saja
memang akan menimbulkan kesan bahwa kemelayuan merupakan sesuatu yang mandeg,
yang statis, yang hanya melekat pada simbol-simbol. Meskipun ini sampai taraf
tertentu tidak salah, tetapi gambaran semacam itu tidak mencerminkan seluruh
kenyataan yang melibatkan ciri-ciri simbolis tersebut. Sebagai ciri-ciri
simbolis tentunya kemelayuan dapat dipandang sebagai perangkat simbolis yang
dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam kehidupan orang
Melayu sehari-hari. Untuk itulah kita perlu melihat bagaimana simbol ini
dihadirkan – sadar sadar ataupun tidak – dalam kehidupan sehari-hari orang
Melayu. Kita harus memperhatikan symbol in action, simbol sebagai perangkat
untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari; simbol sebagai
perangkat untuk membangun relasi sosial dan kelompok-kelompok sosial.
Tanggungjawab
Sejarah
Kita semua berhutang budi pada generasi terdahulu yang
telah menjadikan kebudayaan Melayu sebagai platform kemasyarakatan. Sebuah
kebudayaan yang akomodatif terhadap kemajemukan. Kebudayaan Melayu telah
menjadi simbol bagi entitas peradaban seperti yang terlihat di Kesultanan Riau
Lingga dan Kesultanan Siak Sri Indrapura. Kebudayaan Melayu yang substantif
diharapkan mampu mengawal perilaku masyarakat dan kepemimpinan pemerintahan,
sehingga secara tegas disebutkan, "Raja alim raja disembah raja zalim raja
disanggah." Kepemimpinan dalam perspektif Melayu juga tidak terlalu
muluk-muluk. Konsepnya sangat manusiawi dan sederhana, yang terhimpun hanya
dalam satu kata: paham! Seorang pemimpin yang paham akan mampu membawa dua
misi, yakni pemakmuran dan keteladanan.
Tantangan kini dan ke depan bagi Melayu sebagai
perangkat nilai adalah menjadikan nilai-nilai Melayu itu instrumental, tidak
hanya sebatas penghias bibir, sebatas formalitas tetapi tidak substansial dan
operasional. Atribut-atribut itu penting, tetapi tetapi memberi makna
substansial juga tidak kalah pentingnya.
Kepemimpinan yang memiliki integritas tidak bisa
dipungkiri, adalah faktor yang paling dominan dalam internalisasi nilai-nilai
kebudayaan Melayu. Sayangnya, yang mengemuka dewasa ini adalah berita-barita
negatif yang melelahkan, yang justru ketika atribut Melayu dijunjung dalam
segala aspek kehidupan.
Tokoh-tokoh Melayu yang berada di jajaran eksekutif,
legislatif dan yudikatif belum memiliki apreasiasi yang baik terhadap
tanggungjawab sejarahnya, sehingga perilakunya menjadi kontraproduktif bagi
kebudayaan Melayu itu sendiri. Kondisi seperti ini akan meruntuhkan kepercayaan
masyarakat. Kebudayaan Melayu akan terpukul manakala elit pemimpin dan elit
politiknya tenggelam dalam kultur pragmatisme sempit, partikularistik, politik
dinasti, demi memburu kekuasaan dan kepentingan jangka pendek. Kita mendambakan
kepemimpinan Melayu yang mencerahkan, kepemimpinan yang transformasional, bukan
semata transaksional. Hanya kepemimpinan seperti itulah yang akan bisa
menegakkan marwah Melayu itu sampai ke ujung zaman. Dalam perspektif itu,
eksistensi kebudayaan Melayu itu bergantung kepada Melayu itu sendiri.
Tantangan Ke Depan
Ada kondisi diametrical dalam perilaku masyarakat kita
dewasa ini. Kita berupaya keras mempertahankan nilai-nilai kebudayaan Melayu
sebagai sesuatu yang sudah lama eksis dan dianggap sebagai jati diri, namun
vis-Ã -vis sadar atau tidak kita membangun sebuah entitas baru. Entitas itu
tidak hanya tidak dikenal, tetapi bahkan aneh. Sesuatu yang berbeda dengan ide,
cita-cita dan gagasan tentang masyarakat Melayu berbudaya tinggi penuh dengan
keterhormatan yang selama ini selalu didengung-dengungkan.
Tidak bisa dipungkiri, kebudayaan Melayu hari ini dan
di masa depan berada dalam pusaran konsekuensi dialektika sebagaimana disebut
Hegel. Apa yang dianggap sebagai ciri-ciri yang melekat pada unsur-unsur budaya
tertentu sangat mungkin akan hilang pada masa-masa selanjutnya, karena setiap
kebudayaan selalu mengalami perubahan-perubahan. Apa yang mungkin dikatakan
sebagai kemelayuan atau kekhasan Melayu saat ini, barangkali tidak akan lagi
demikian di masa-masa yang akan datang, karena kebudayaan dan masyarakat Melayu
akan selalu mengalami perubahan. Komunikasi dialogis antara kebudayaan Melayu
dengan kebudayaan lain dalam suatu masyarakat yang heterogen seperti dewasa ini
tidak bisa dihindari. Dilihat dari perspektif ini, maka menetapkan jatidiri
Melayu atau ciri-ciri budaya tertentu sebagai budaya Melayu tidak berbeda
halnya dengan membakukan kemelayuan, dan itu berarti juga mencoba mencegah
terjadinya perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada budaya Melayu.
Realistiskah langkah semacam itu? Bermanfaatkah? Bagi siapa manfaat tersebut?
Itulah beberapa masalah yang muncul. Sebab perbancuhan kebudayaan itu selalu
emultif, menghasilkan sebuah sintesa, yang tak lagi zat aslinya. Pada sisi lain
ada mimpi besar untuk mempertahankan sebuah jati diri, sesuatu yang sebenarnya
lebih banyak dalam wilayah romantika masa lalu.
Setiap kebudayaan selalu bersifat luwes dalam menerima
pengaruh kebudayaan lain, sehingga ciri-ciri budaya yang berasal dari luar
sangat mungkin diambil-alih oleh suatu kebudayaan, dan kemudian disatukan
dengan ciri-ciri yang sudah ada sebelumnya, sedemikian rupa sehingga tidak
terlihat lagi ciri-ciri yang berasal dari dalam maupun dari luar kebudayaan.
Proses semacam ini biasa disebut akulturasi. Bagaimanapun juga ciri-ciri Melayu
yang dianggap ada pada unsur-unsur budaya di atas merupakan ciri-ciri yang
sulit untuk dapat dijaga eksklusifitasnya oleh orang Melayu sendiri. Artinya,
orang Melayu tidak dapat melarang suku-sukubangsa lain, baik secara sengaja
maupun tidak, untuk mengambil bagian-bagian tertentu dari budaya Melayu untuk
memperkaya budaya mereka sendiri, sebagaimana halnya orang Melayu juga tidak
dapat menahan diri dari mengambil unsur budaya dari sukubangsa atau masyarakat
lain untuk memperkaya budayanya sendiri. Oleh karena itu, berbagai ciri-ciri
unsur budaya yang dikatakan sebagai ciri Melayu tersebut bukan tidak mungkin
telah ditiru oleh sukubangsa lain juga atau sebenarnya merupakan hasil tiruan
orang Melayu dari unsur budaya suku yang lain.
Dilihat dari perspektif akulturasi
kebudayaan, menetapkan ciri-ciri kemelayuan lantas dapat diartikan sebagai
upaya mencegah terjadinya proses akulturasi. Namun sekaligus berarti juga
mencegah terjadinya proses pengayaan budaya Melayu dengan memanfaatkan
unsur-unsur budaya dari luar. Jika ini yang terjadi, hal itu tidak berbeda
dengan membuat budaya Melayu menjadi sebuah budaya yang kaku dan tertutup,
serta kehilangan kemampuan untuk menyesuaikan diri lagi dengan situasi dan
kondisi lingkungan sosial-budaya yang terus-menerus mengalami perubahan, yang
akhirnya malah akan dapat membuat budaya Melayu itu menjadi kerdil atau bahkan
secara ekstrim dapat disebut bisa sendiri mati perlahan-lahan.
Pandau, 10 Juni 2012
Pandau, 10 Juni 2012
jurnal - Citizen Jurnalism 11 Juni 2012
Tulisan ini sudah di baca 3531 kali
sejak tanggal 17-06-2012
Tulisan ini diambil dari http://drh.chaidir.net/jurnal/263-KOMUNIKASI-BUDAYA.html