Oleh :
TIGA pendekatan ‘kritis’ terhadap kajian budaya lahir beberapa dekade yang lalu sebagai kritik terhadap Marxisme yang dominan di Uni Soviet saat itu. Tiga pendekatan tersebut adalah cultural studies, political economy of culture dan critical theory. Ketiganya muncul sebagai reaksi terhadap dikotomi superstruktur dan basis yang dianut aliran ini dan juga terutama terhadap pandangannya yang ekonomistik dan positivistik. Klaim ‘kritis’ ketiga pendekatan ini berdasar pada dua hal: pertama, mereka lahir sebagai bentuk kritik terhadap sebuah tradisi dalam Marxisme, dalam hal ini tradisi yang dominan saat itu; kedua, agenda kritik ini dilakukan dalam semangat untuk kembali pada proyek intelektual Karl Marx, yaitu materialisme sejarah dan dialektika sebagai landasan metode berpikir dan praksis. Oleh karena itu, pemilihan ketiga pendekatan ‘kritis’ ini tidaklah sembarang karena ketiganya memiliki sejarah asal yang sama yaitu pemikiran Marxis dan lahir pada saat yang hampir bersamaan. Dalam kritik terhadap sebuah tradisi dalam Marxisme, ketiganya pada saat yang sama melanjutkan proyek kritik Marxisme.
Pendekatan-pendekatan ‘kritis’ ini penting untuk dikaji karena ketiganya berkembang pesat hingga saat ini, diadopsi sebagai kajian akademis di universitas-universitas di berbagai belahan dunia dan juga sebagai tradisi aktivisme di luar universitas. Mereka telah membantu melahirkan kajian-kajian populer saat ini (kajian budaya, media, ras, gender dll) dan dalam perkembangannya, ketiganya sudah bermetamorfosis ke dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu tiga pendekatan tersebut penting untuk dikaji bukan saja bagi perkembangan pemikiran Marxis tetapi juga bagi perkembangan kajian budaya.
Tulisan yang akan bersambung dalam 3 bagian ini akan mengkaji perkembangan masing-masing pendekatan ini, menganalisis klaim-klaim ‘kritis’ dan konteks historisnya. Melanjutkan metode Marxis sebagai tradisi pemikiran yang aktif, selalu berkembang dan tidak pernah selesai (unfinished), tulisan ini bertujuan untuk melakukan kajian auto-kritikterhadap perkembangan kajian-kajian budaya saat ini, mengapresiasi perubahan-perubahan yang dibawanya dan menganalisis kegagalan-kegagalannya. Auto-kritik ini dilakukan untuk keberlanjutan kajian budaya pada umumnya dan khususnya ketiga tradisi ini. Sebagai catatan, istilah “kajian budaya” dalam tulisan ini digunakan sebagai referensi umum pada penelitian-penelitian tentang budaya, sementara “cultural studies” merujuk pada sebuah tradisi formal. Pada bagian kali ini, kita akan membahas sejarah intelektual cultural studies sebagai salah satu tradisi kajian budaya yang dominan saat ini.
British Cultural Studies: Lahirnya Sebuah Tradisi
Saya akan awali kajian ini dengan meninjau pergulatan pemikiran tokoh-tokoh dari Inggris yang memulai tradisi yang saat ini kita kenal sebagai, ‘cultural studies’. Walaupun karya-karya Richard Hoggart (The Uses of Literacy, 1957), Raymond Williams (The Long revolution, 1961), dan Edward Thompson (The Making of the English Working Class, 1963) seringkali dianggap sebagai ‘teks-teks pendiri cultural studies,’ perubahan perspektif dalam pengajaran seni dan budaya di Inggris di tahun-tahun sebelum dan sesudah Perang Dunia Kedua, sebenarnya lahir dari situasi politik saat itu, terutama aktivitas para pendirinya dalam gerakan ’Adult Education’ yang dipelopori oleh Workers Educational Association (WEA)[ii] serta politik Kiri yang lebih luas lagi.
Saat itu, gerakan Kiri didominasi oleh pandangan pemikiran politik Stalinis yang mekanik, dogmatis, abstrak dan menamakan dirinya ‘Marxisme.’ Edward Thompson, misalnya, berusaha untuk mengembalikan Marxisme kepada komitmennya pada perjuangan yang konkrit, yaitu aktivitas kehidupan nyata tiap-tiap orang, perempuan maupun laki-laki, sebagai darah daging kelompok pekerja. Buku The Making of the English Working Class, merupakan karya terbesar Thompson yang ingin mengkritik analisis-analisis sejarah Marxis yang Stalinis dan mekanik, yang saat itu mendominasi gerakan kiri internasional. Kata ‘Making’ sengaja dipilih sebagai judul untuk menunjukkan bahwa ‘kelas’ bukanlah struktur atau kategori yang pasif dan abstrak, melainkan sebuah hubungan antar manusia yang nyata dan dalam konteks yang juga nyata. Sehingga kelas merupakan proses historis yang aktif, baik antara agensi pelaku di dalamnya maupun kondisi ekonomi, sosial dan politik yang membatasinya.[iii]
Kajian sastra juga berhadapan dengan pendekatan dominan saat itu, salah satunya karya F. R. Leavis, Mass Civilization and Minority Culture (1930), yang menganggap budaya massa (mass culture) sebagai bentuk manipulasi total masyarakat yang pasif dan budaya ‘tinggi’ sebagai budaya yang ideal. Richard Hoggart menolak tesis yang elitis ini dan berkomitmen untuk membela kreativitas budaya kelas pekerja. Ini dilakukan dengan cara menolak metode analisis sastra Leavis yang terlalu berfokus pada teks. Bersama-sama dengan Raymond Williams, Hoggart menggali kehidupan sosial dan budaya kelas pekerja dan mendefinisikan hubungan mereka bukan hanya dengan karya sastra, tetapi juga budaya massa dan populer yang merupakan bagian dari kehidupan mereka. Dalam karyanya, Hoggart menunjukkan bahwa setiap individual membentuk identitasnya dan hidup dengan identitas tersebut melalui sumber-sumber budaya yang mereka miliki. Perubahan dalam kajian sastra ini yang kemudian melahirkan British Cultural Studies (BCS), dan dilembagakan pertama kali sebagai The Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS)di University of Birmingham pada tahun 1964, dengan Hoggart sebagai pemimpin pertamanya.[iv]
Namun, Raymond Williams-lah yang banyak melahirkan karya-karya penting dalam BCS,yang merupakan bagian dari usahanya untuk membangun pendekatan materialisme historis dalam cultural studies, atau yang ia sebut ‘cultural materialism.’Melalui karya-karyanya, seperti Culture and Society (1958), The Long Revolution (1961), Marxism and Literature (1977),Williams menolak perspektif ‘Marxisme’ yang beredar saat itu, yang melihat superstruktur hanya sebagai cerminan dari basis. Menurutnya, ini melenceng dari Marx yang kritiknya sejak awal adalah bahwa pemikiran (thought) dan aktivitas (activity) bukanlah area-area yang terpisah.[v] Sehingga, menurut Williams, ide bahwa superstruktur adalah cerminan dari basis dan bahwa basis adalah faktor penentu bagi superstruktur tidaklah datang dari pemikiran Marx. ‘Proposisi Marx secara eksplisit menolak ini, dan meletakkan sumber determinasi pada aktivitas manusia-manusia itu sendiri.’[vi] Williams kemudian menjelaskan bahwa apa yang biasanya dianggap sebagai superstruktur, seperti budaya dan politik, sebenarnya merupakan ‘basis’.[vii] Dia juga berpendapat bahwa ‘basis’ merupakan konsep yang lebih penting untuk digali apabila kita mau memahami realitas dari proses budaya. Menurut Williams, ‘basis adalah keberadaan sosial yang nyata seorang manusia.’[viii] Dari sini, lahir salah satu teorinya yang penting: ‘alat komunikasi sebagai alat produksi’ (‘means of communication as means of production’).[ix]
Dari pergeseran politik Kiri dan realitas budaya kelas pekerja saat itu, penelitian-penelitian dalam BCS pun didedikasikan untuk kajian kelas dan budaya. Selain, karya-karyanya Hoggart dan Williams, ada juga Subcultures, Cultures and Class: A Theoretical Overview (1976) yang ditulis oleh Stuart Hall, yang nantinya menggantikan posisi Hoggart di CCCS.
Pada tahun 1980, dua tahun setelah Hall mengambil alih tampuk kepemimpinan CCCS, BCS mulai menunjukkan sebuah transformasi dalam pendekatan teoretisnya. Dalam Cultural Studies: Two Paradigms (1980), Hall mendeklarasikan sebuah perpisahan dari pendahulu-pendahulunya: ‘di mana alur-alur pemikiran [lama] dihentikan, konstelasi lama ditinggalkan dan elemen-elemen lama dan baru dikelompokkan kembali dalam satu set dasar pemikiran dan tema yang berbeda.’[x] Yang dimaksudkan Hall sebagai pemikiran-pemikiran lama di situ adalah apa yang dia sebut sebagai ‘kulturalisme’ sebagai ‘paradigma dominan’ yang dibangun pendahulunya, yang dihadapkan Hall dengan ‘strukturalisme’, Dalam artikel tersebut, Hall tertarik dengan ‘janji strukturalisme akan “‘ilmu (science) budaya’ sebagai paradigma yang mampu menerjemahkannya [baca: budaya] secara ilmiah dan teliti dengan cara yang benar-benar baru.”[xi] (pen.: cetak miring). Hall berpendapat, kelebihan strukturalisme yang pertama adalah penekanannya pada ‘kondisi yang pasti,’ yaitu “hubungan sebuah struktur yang berdasarkan pada sesuatu yang lain, yang bukan sebuah reduksi pada hubungan antara ‘manusia’.” Kelebihan yang kedua adalah keberadaan sebuah gerakan yang kompleks dan berkelanjutan antara level-level abstrak yang berbeda.[xii] Kelebihan strukturalisme yang lain adalah pergeserannya dari perhatian terhadap ‘pengalaman manusia’ kepada kategori yang selama ini terabaikan, yaitu ‘ideologi’.
Ketertarikan Hall pada strukturalisme dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Louis Althusser, seorang Marxis strukturalis asal Perancis. Bahkan, ketika Hall menyebutkan Antonio Gramsci dan konsep ‘hegemoni’-nya, ia membacanya sebagai domain ‘bawah sadar’ (unconscious),[xiii] yang ia baca melalui strukturalisme-nya Althusser dan bukan kulturalisme-nya Williams. Kita bisa mengira-ngira bahwa pertama, Hall sudah terlalu muak dengan pendahulunya itu sehingga mengabaikan elaborasi Williams tentang hegemoni dalam The Complexity of Hegemony (1980, 37-40). Atau, yang kedua, dia membaca Althusser tanpa meletakkan pemikirannya dalam kerangka proyek intelektual Althusser yang lebih besar, yang bagaimana pun tidak bisa dipisahkan dari kritik-kritiknya atas pondasi teoretis Marxisme di dalam Partai Komunis Perancis saat itu.
Ini menunjukkan pergeseran yang signifikan dalam tradisi BCS. Pertama, terdapat pergeseran dalam konsep budaya. Aktivitas praktik manusia sebagai ‘basis’ yang dibangun Williams diganti Hall dengan kekuatan eksternal yang menentukan, yaitu ‘struktur’. Dengan kata lain, Hall menggeser ide budaya yang ‘sosial’ menjadi budaya yang ‘ideologi’. Kedua, pada saat yang sama, Hall juga menolak pendekatan ekonomi politik terhadap budaya sebagai ‘economically deterministic’.[xiv] Nantinya, istilah ini akan menjadi alasan perpecahan antara BCS dan kajian ekonomi politik (akan dibahas pada bagian kedua tulisan ini). Contoh karya Hall dengan pandangan strukturalisme adalah Encoding/Decoding (2001/1980), di mana ia melihat budaya sebagai ‘teks’. Tugas seorang peneliti adalah men-dekode teks, bukan memahaminya sebagai totalitas pengalaman hidup seseorang. Ide determinasi dan agensi juga berbeda. Bagi Williams, keduanya kreatif, yaitu produk aktivitas praktis manusia. Bagi Hall yang strukturalis, agensi ada karena berbagai mikropolitik teks.[xv]
Di sekitar tahun 1980-an, BCS bergeser lagi dari strukturalisme ke post-strukturalisme. Kali ini, normanya adalah ‘otonomi penonton’. Karya John Fiske, Active audience (1987) adalah salah satu contoh BCS pada masa post-strukturalis. Dari sini juga lahir penelitian-penelitian tentang penonton/konsumen (audience analysis) dan juga tentang efek-efek media (media effects).
Adopsi Cultural Studies di Amerika
Sebelum BCS diadopsi di Amerika, ada sebuah aliran dalam bidang komunikasi yang mengklaim sebagai ‘kajian budaya’. Ia merupakan reaksi terhadap paradigma utama yang saat itu didominasi oleh pendekatan behavioral dan fungsionalis. James Carey menolak definisi budaya dari perspektif ‘transportasi’ yang saat itu dominan. Ia menolak budaya sebagai komunikasi massa, yang dapat disebarkan begitu saja kepada massa yang pasif. Ia mengajak melihat budaya dari perspektif ‘ritual’, yaitu dengan menggunakan pendekatan interpretatif melihat kompleksitas teks dan berbagai respons pembaca yang sudah pasti berbeda-beda (1970). Ini sebenarnya sejalan dengan kacamata Williams dan Hoggart pada awal perjalanan BCS, tetapi Carey tidak memiliki motivasi politik. Alih-alih, perspektif ini hanyalah perubahan paradigma dalam dunia akademis, dan steril dari intensi politik.[xvi] Hal serupa juga terjadi dengan pemikirannya Horace Newcomb, yang melalui kritiknya terhadap ‘budaya massa’, ia mengundang sebuah analisis yang berfokus pada multiplisitas makna, tetapi hal ini tidak diikuti oleh diskusi struktur sosial dan politik.[xvii]
Lawrence Grossberg-lah yang kemudian meletakkan pertanyaan atas ‘kuasa’ dalam agenda American Cultural Studies (ACS). Menurutnya, komunikasi adalah tempat di mana kelompok-kelompok oposisi secara simbolik berjuang akan kuasa. Namun, Grossberg menolak menghubungkan konsep ‘budaya’ dengan konsep ‘masyarakat’ (society). Menurutnya, keinginan untuk menghubungkan kedua konsep ini adalah titik kegagalan BCS. Sehingga, Grossberg menganggap keduanya tidak ada. Dengan anggapan tersebut, ia segera mengadopsi pendekatan post-modernisme dan menolak ‘teori budaya’. Ia percaya bahwa pengalaman sosial sangatlah bervariasi dan ia melihat bahwa kuasa bersebaran dalam bentuk-bentuk konkrit yang berbeda dan dengan cakupan yang kecil, sehingga konsep ‘masyarakat’ dan strukturnya tidak mungkin dicapai. Ini mirip dengan teori kuasa filsuf asal Perancis, Michel Foucault, yang menganggap kuasa ada di mana-mana (omnipresent), cair dan tidak satu (non-unified). Melalui kasus Grossberg ini, bisa diprediksi bahwa cultural studies di Amerika dengan segera berpindah dari BCS ke teori-teori post-modernisme.
Mungkin di antara Carey dan Newcomb, hanya Grossberg-lah yang membangun hubungan dengan BCS melalui bacaan-bacaan atas karya-karya Williams dan Hall yang dibacanya secara selektif, reduksionis dan di luar konteks politik yang melahirkan karya-karya tersebut. Misalnya, konsep ‘struktur rasa’ (‘structure of feeling’) yang dibangun Williams dalam tulisan-tulisan pertamanya, dianggap sebagai tema besar proyek intelektual Williams secara keseluruhan. Kemudian, Hall dianggap sebagai ‘ahli’ superstruktur karena tulisannya tentang decoding/encoding.[xviii]
Bagaimana pun permasalahan utamanya adalah tidak adanya teori kuasa, selain yang dibangun dari kacamata post-modernis. Budaya bagi para intelektual Amerika merupakan fenomena sosial yang darinya makna budaya secara empiris dapat diangkat. Fenomena ini tidak dilihat sama sekali dengan curiga, misalnya, dengan pertanyaan tentang struktur/kondisi ekonomi politik. Politik liberal dan pluralis yang dominan di Amerika, juga merupakan alasan mengapa cultural studies sama sekali vakum dari gerakan politik. Tidak seperti BCS, adopsi cultural studies di Amerika terjadi bukan karena kebutuhan gerakan politik, apalagi politik Kiri, melainkan sebagai masukan ide-ide ‘humaniora’ pada ilmu-ilmu sosial yang banyak beraliran fungsionalis itu. Karena dominasi post-modernisme, makna budaya sebagai praktik, bentuk dan institusi, seperti yang dibangun oleh BCS, hilang sama sekali,[xix] dan hanya menjadi agenda-agenda di universitas.
Globalisasi Cultural Studies: Pengalaman di Indonesia dan Asia
Di sekitar pertengahan tahun 1990 hingga 2000-an, bahkan ketika The Center for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Birmingham ditutup pada tahun 2002, cultural studies justru sedang sukses-suksesnya melebarkan sayap di berbagai belahan dunia. Puluhan jurnal terbit di Eropa, Amerika, Afrika, Australia dan Asia baik yang mengusung nama cultural studies maupun yang secara jelas bersimpati pada pendekatannya. Selain itu, ada juga berbagai konferensi-konferensi yang diadakan. Di Indonesia sendiri, salah satu perkembangan penting adalah dilembagakannya cultural studies menjadi kajian formal di beberapa universitas di Indonesia (sebagai program cultural studies di Universitas Indonesia tahun 1998, program pascasarjana ilmu religi dan budaya di Sanata Dharma tahun 2000 dan program pascasarjana kajian budaya di Universitas Udayana Bali tahun 2000 dll). Selain itu, ada juga lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang menerbitkan jurnal dan/atau melakukan kajian budaya secara mandiri di luar universitas, contohnya jurnal Kalam (terbit 1994), KUNCI cultural studies center (berdiri 1999), Lembaga Studi Realino (berdiri di awal 1990-an) dan lembaga-lembaga lain yang bergerak di bidang kajian media, pers dan informasi (LP3Y, ISAI, LSPP).[xx]
Berbeda dari para pendirinya di Inggris, cultural studies yang berkembang di Indonesia tidak memiliki hubungan dengan politik Kiri, atau tepatnya Marxisme, di dalam negeri. Ini mungkin karena di tahun-tahun berkembangnya cultural studies pertama kali di Indonesia, Marxisme dan politiknya dilarang oleh rezim orde baru. Pada saat yang sama, cultural studies di Inggris dan Amerika sedang mengalami pergeseran perspektif ke post-strukturalisme dan post-modernisme. Para intelektual Indonesia yang bersekolah di negeri-negeri tersebut pulang dengan membawa ide-ide multikulturalisme, humanisme liberal dan pluralisme.[xxi] Demikian pula, LSM-LSM pun berdiri dengan mengusung ide-ide ini. Namun ini bukan berarti cultural studies yang berkembang tidak sarat politik. Mengingat rezim Suharto saat itu represif dan mempolitisir berbagai ekspresi sosial budaya secara otoriter, munculnya cultural studies di Indonesia adalah perkembangan politik dari bawah (politics from below) yang baik sekali. Dengan ini, cultural studies membawa angin segar dan harapan baru bagi demokratisasi budaya. Pendiri KUNCI, Juliastuti dan Antariksa, menulis visi perjuangan cultural studies dengan baik:
Apa yang dipertaruhkan dalam kajian budaya adalah hubungan antara politik dan kekuasaan, perlunya perubahan dan representasi dari dan untuk kelompok sosial yang terpinggirkan, dalam kelas, gender, dan ras, juga dalam hal umur, nasionalitas, dsb. Kajian budaya bersifat politis karena ia adalah ranah akademis yang sekaligus merupakan sebuah gerakan politik pemberdayaan kelompok-kelompok sosial marjinal[xxii].Dengan visi semacam itu, cultural studies telah membuka pintu demokratisasi untuk berbagai ekspresi sosial budaya kelompok marjinal (walaupun tentu sukses atau tidaknya adalah hal yang berbeda). Mirip dengan situasi setelah datangnya cultural studies dan post-modernisme di Amerika yang disebut Dan Schiller, sebagai terbukanya jalan menuju budaya, atau ‘the opening toward culture’.[xxiii]
Kembali ke dalam negeri, pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana wajah cultural studies di Indonesia setelah rezim Suharto jatuh dan di Asia setelah krisis ekonomi 1997 berakhir? Melani Budianta menyebutkan bahwa setelah orde baru lengser, politik desentralisasi seringkali mengusung pencarian ‘identitas yang otentik,’[xxiv] untuk merepresentasikan identitas budaya daerah masing-masing. ‘Arena masyarakat sipil menjadi medan perang konflik antar-kelompok, sarat dengan politik identitas.’[xxv] Contoh konkrit misalnya, represi seksual dan rasisme terhadap komunitas tionghoa. Peran cultural studies di sini kemudian adalah ‘intervensi budaya dan politik’ yang berbentuk dialog maupun diskusi publik.[xxvi] Ajakan untuk bertoleransi dan beraliansi didasarkan pada teori bahwa identitas adalah konstruksi sosial.[xxvii]
Di tingkat Asia, cultural studies berdiri untuk membangun ‘solidaritas Asia’. Contohnya adalah jurnal Inter-Asia Cultural Studies (IACS). Di edisi pertamanya, dua dari para pendiri jurnal ini, Kuan-Hsing Chen and Chua Beng Huat, menyebutkan bahwa jurnal IACS ditujukan untuk mengisi kekosongan akan tidak adanya analisis yang kritis dari Asia sebagai respon atas slogan ‘the rise of Asia’ yang muncul sebelum dan setelah krisis moneter Asia tahun 1997.[xxviii] Jurnal ini dibentuk untuk membantu menjelaskan modernitas ‘Asia’ dengan memberikan tempat bagi para penulis Asia dan berbagai sejarah dan posisi lokalnya yang berbeda-beda. Ini terutama untuk menjauh dari konsep imaiiner ‘Amerika’ yang telah mendominasi kajian-kajian tentang Asia.[xxix] Sepuluh tahun kemudian, di edisi ulang tahun kesepuluhnya, IACS dirayakan sebagai bentuk sukses atas ‘proyek dekolonisasi’ ini,[xxx] terutama kemampuannya untuk menyeimbangi arus pengetahuan ke Asia yang biasanya didominasi oleh pengetahuan dari Eropa dan Amerika.[xxxi] Proyek dekolonisasi ini tidak sendiri, proyek-proyek yang sama juga lahir di Amerika Latin, India dan belahan dunia ketiga lainnya, sebut saja ada proyek ‘decentering’, ‘dewesternizing’, atau ‘provincializing Europe’.[xxxii] Itu semua dilakukan dengan cara memperluas demografi produksi pengetahuan dengan mengikutsertakan penulis-penulis dan ekspresi budaya yang datang dari lokasi geografis marjinal, atau non-barat.
Namun, hingar bingar ‘kesuksesan’ cultural studies tidak diikuti dengan tradisi auto-kritik, terutama terhadap metode-nya. Di edisi ulang tahun kesepuluh jurnal IACS, ada satu artikel yang memberikan kritik terhadap asumsi-asumsi yang melandasi metode cultural studies berjudul ‘A critical comment on the IACS journal’ oleh Paul Willemen, yang berpendapat bahwa IACS telah menjadikan ‘anti-esensialisme sebagai rutinitas belaka’[xxxiii] (pen.: cetak miring). Walaupun tidak seperti artikel-artikel lainnya, artikel ini baru diunduh hanya sebanyak 18 kali saja sejak artikel ini terbit di tahun 2010. Namun, esai-esai yang lain kebanyakan mendukung agenda-agenda IACS yang sudah ada, yaitu pluralisme dan anti-model universal. Salah satunya tulisan Lawrence grossberg,[xxxiv] pendiri cultural studies di Amerika yang sudah disebutkan sebelumnya.
Begitu pun dengan beberapa tulisan yang ada tentang cultural studies di Indonesia. Tulisan-tulisan ini cenderung celebratory dan ketika melakukan kritik, ia hanya berfokus pada agenda-agenda cultural studies (Juliastuti dan Antariksa (2002), Heryanto (2005) dan Budianta (2010, 2012).[xxxv] Contohnya adalah ajakan Heryanto untuk belajar dari kegagalan “’cultural studies’ significant others”, yaitu ‘ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang tradisional.’ Sementara Budianta mengajak untuk lebih memperluas lagi cakupan analisis budaya ke ruang-ruang budaya yang masih marjinal.[xxxvi] Salah satu pengecualian yang ada adalah artikel Akhmad Sahal berjudul Cultural Studies dan Tersingkirnya Estetika di harian Kompas, 2 Juni 2000[xxxvii] yang mempertanyakan ‘kemiskinan’ analisis sastra dan estetika dalam cultural studies yang cenderung mereduksi segala sesuatu (termasuk seni dan estetika) sebagai ‘konstruksi sosial’.
Selain ide-ide mutakhir multikulturalisme, pluralisme dan liberalisme yang dijunjung, cultural studies pun sebenarnya ‘miskin’ dalam metode, sehingga ide-ide tersebut menjadi sebatas nilai-nilai moral yang abstrak ketimbang alat analisis yang historis. Asia as Method yang ditulis Kuan-Hsing Chen tahun 2010 pun merupakan ‘metode’ yang diangkat dari visi moral dan bukan sejarah. Ia datang dari doktrin moral anti-esensi dan anti-barat, yang diinspirasikan oleh post-modernisme. Hasilnya, kebingungan epistemologi yang akut: imajiner ‘barat’ diganti dengan imajiner ‘asia’.
Sikap ‘anti-universalisme (barat)’ pun mendominasi cultural studies dan dijawab dengan ‘anti-barat’ maupun perhatian pada ‘politik perbedaan,’ baik dengan merepresentasikan budaya-budaya dan nilai-nilai marjinal atau pun dengan melihat proses percampuran budaya yang eklektik melalui wacana budaya ‘global’ atau bahkan, ‘kosmopolitan’. Tentu saja, tidak bisa kita pungkiri bahwa ‘budaya’ semakin penting untuk dikaji terlebih karena setiap hari kita dihadapkan dengan dan ikut serta dalam produksi berbagai produk budaya global maupun lokal melalui TV, radio, film, musik, sastra, pertunjukan seni dan lain-lain yang membuat kita membutuhkan label ‘budaya’. Namun, ketika produk budaya ini semakin global dan mengakomodir berbagai ekspresi perbedaan, pada saat yang sama kapitalisme pun menjadi semakin universal. Pertanyaannya kemudian, apakah ini merupakan kebetulan belaka yang tidak berhubungan?
Bagi saya, ada hubungan yang menarik antara tendensi ‘the opening toward cultures’ ini (terutama terhadap budaya-budaya yang marjinal) dengan globalisasi ekonomi dan politik ke daerah-daerah yang dulunya dianggap negara ‘miskin’. Bagaimana kita menjelaskan pusat-pusat budaya pop yang berpindah dari Amerika ke Brazil, Korea, India dan Jepang seiring dengan munculnya kota-kota kapitalis baru di daerah yang beberapa dekade yang lalu masih bernama ‘negara dunia ketiga’, seperti Seoul, Singapore, Mumbai, Tokyo, Shanghai? Belum lagi, apa beda antara identitas fans K-pop (Korean pop) dan film bollywood, misalnya, dengan identitas gender, LGBTQ, ras dan agama? Apakah semuanya mau disamaratakan sebagai konstruksi sosial dengan efek marjinalisasi ekonomi politik yang sama? Lalu, apakah representasi politik bisa terjadi tanpa redistribusi modal? Solidaritas Asia yang dipanggil oleh Chen sebagai dasar atas ‘Asia sebagai metode’ tidak akan mampu melawan arus globalisasi budaya dan juga buruh dan pekerja dari barat ke timur, timur ke barat, selatan ke utara, utara ke barat dst. sebagai bentuk globalisasi kapital. Implikasi politik cultural studies akhirnya menutup mata dari pertanyaan sosial budaya yang mendesak, di mana arus pekerja secara global semakin intensif (dan represif) demi memaksimalkan profit. Mengatakan bahwa realitas ini adalah ‘economically deterministic’ sama saja menutup mata dari realitas ekonomi, politik, sosial dan budaya, yang walaupun berbeda, merupakan bagian dari gerak totalitas sejarah.
Kembali ke Materialisme Budaya
Permasalahan yang akut dari klaim “kritis” cultural studies adalah berfokusnya motivasi politik pada istilah ‘budaya’, terutama ‘budaya’ yang dilihat dari segi wacana, representasi, konstruksi dan identitas. Pertama, istilah ini mereifikasi ‘budaya’ sebagai superstruktur, sama persis dengan istilah yang sebenarnya Raymond Williams (dan juga Marx) tolak dalam karya-karyanya. Kedua, istilah ini pun diisolasi dan diteliti secara indepeden lepas dari analisis-analisis sejarah maupun ekonomi politiknya, yang sering dianggap ‘economically deterministic’. Sekali lagi, bagi Williams, pemisahan budaya dan ekonomi dalam realitas tidak ada karena kedua-duanya adalah bagian dari totalitas alat dan hubungan (re)produksi manusia. Kemudian, ketika ada referensi pada terminologi ekonomi politik seperti ‘kelas’ dan ‘neoliberalisme’, istilah-istilah ini hanya berperan sebagai jargon, seakan-akan kelas dan neoliberalisme adalah kategori yang statis dan tidak berubah. Atau, referensi ini digunakan seakan-akan analisis kapitalisme hanyalah berputar pada permasalahan ‘kelas’ atau ‘bukan kelas’. Ini mungkin juga sebuah indikator mengapa kebanyakan analisis cultural studies berfokus pada kajian kontemporer dan meninggalkan kajian-kajian sejarah.
Ends without means? Mungkin inilah permasalahan pokok lainnya, yaitu ketika analisis dinahkodai oleh tujuan (demokrasi, pluralisme, toleransi) namun tanpa instrumen. Dalam materialisme budaya yang diawali oleh Williams, mengikuti Marx, instrumen tidak lain adalah sejarah. Kajian-kajian budaya di ‘negara dunia ketiga’ sering kali berdasar pada ketakutan akan ‘teori’ dan ‘universalisme’. Ini sebenarnya juga merupakan musuh Marx. Perlawanannya terhadap teori yang abstrak dan universalis-lah yang kemudian melahirkan metode materialisme sejarah dan dialektiknya. Tentu saja, membaca totalitas gerak sejarah, dan hubungan-hubungan detil di dalamnya, tidak sama dengan universalisme.
Begitu juga tidak ada masalah dengan ide bahwa budaya adalah konstruksi sosial, seperti yang diusung oleh cultural studies. Namun, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dalam konstruksi sosial tadi hubungan antara agensi dan determinasi, budaya dan non-budaya, universal dan partikular dibangun tanpa melihatnya sebagai elemen terpisah ataupun menganggap yang satu lebih penting dari yang lainnya. Di sinilah, pembahasan filsafat sebagai metode berpikir, yang dengan sendirinya merupakan produk sosial, diperlukan.
Kembali ke sejarah adalah dasar bagi perubahan dalam cultural studies. Sebagaimana lawan dari ‘esensi’ bukanlah sekedar ‘dekonstruksi’, lawan dari ‘identitas politik’ bukanlah ‘anti identitas politik’ tetapi solidaritas. Namun, solidaritas tidak bisa menjadi politik yang riil tanpa perjuangan yang nyata, dan ini tidak bisa terjadi hanya dalam bentuk politik wacana, representasi maupun pengetahuan yang abstrak. Kutipan di bawah ini mungkin cocok untuk mengakhiri diskusi kita tentang permasalahan cultural studies dan sejarah sebagai metode:
“When placed within a more
holistic historical materialist context—animated by the concept of
praxis—the problems raised by postmodernism look entirely different. As
David McNally says, “Language is not a prisonhouse, but a site of
struggle”… [T]he issues like language, culture, nationality, race,
gender, the environment, revolution, and history itself are only
effectively analyzed within a context that is simultaneously historical
in character, materialist (in the sense of focusing on concrete
practices), and revolutionary”
-in Ellen Wood and John Foster
In Defense of History: Marxism and the Postmodern Agenda (1997, 192).
Daftar Pustaka
Beng-Lan, Goh ed. Decentring and Diversifying Southeast Asian Studies: Perspectives from the Region. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2011.
Budianta, Melani. “Shifting the geographies of knowledge: the unfinished project of Inter-Asia Cultural Studies”. Inter-Asia Cultural Studies, (2/2010).
———. “Multiple Sites of Knowledge Production: Cultural Studies
Scholarship in Indonesia.” Dalam Alternative Production of Knowledge and Social Representations, eds. Risa Permanadeli, Deni Jodelet, dan Toshio Sugiman. Jakarta: Graduate Program of European Studies, 2012.
Chakrabarty, Dipesh. Provincializing Europe. Princeton, N.J: Princeton University Press, 2008.
Chen, Kuan-Hsing dan Chua Beng Huat. “Introduction”. Inter-Asia Cultural Studies, (1/2000): 9-12.
Grossberg, Lawrence. “On the political responsibilities of cultural studies”. Inter-Asia Cultural Studies, (2/2010): 241-247.
Hall, Stuart. “Cultural Studies: Two Paradigms.” Dalam T. R. Young, T. R., ed., Media, culture and society. [Fort Collins], Colo: Colorado State University, 1980.
Heryanto, Ariel. “Cultural Studies’ Significant Others” The Case of Indonesia”, Anthropologi Indonesia, (1/2005).
Juliastuti, Nuraini dan Antariksa. “Kajian Budaya di Indonesia.” Public Lecture and Workshop “Asian Studying Asia: Cultural Studies for Asia Context”, (Yogyakarta, May 14-17, 2002): 1-3.
McNally, David. “E P Thompson: class struggle and historical materialism.” International Socialism Journal, (61/1993), diunduh tanggal 10 Desember 2012 dari http://pubs.socialistreviewindex.org.uk/isj61/mcnally.htm#4.
O’Connor, Alan. “The Problem of American Cultural Studies,” Critical Studies in Mass Communication, (6/1989).
O’Malley, Tom. “Media History and Media Studies: Aspects of the development of the study of media history in the UK 1945-2000.” Media History, (2/2002): 155-173.
Park, Myung-Jin and James Curran. De-Westernizing media studies. London: Routledge, 2000.
Peck, Janice. “Itinerary of a Thought: Stuart Hall, Cultural Studies, and the Unresolved Problem of the Relation of Culture to “not Culture,”” Culture Critique, (2001): 200-252.
Sahal, Akhmad. ‘”Cultural Studies” dan Tersingkirnya Estetika’, di harian Kompas, 2
Juni 2000, diunduh tanggal15 Desember 2012 di http://freedom-institute.org/id/index.php?page=profil&detail=artikel&detail=dir&id=49.
Schiller, Dan. Theorizing Communication. Oxford: Oxford UP, 1996.
Schulman, Norma. “Conditions of Their Own Making: An Intellectual History of the
Centre for Contemporary Cultural Studies at the University of Birmingham.” Canadian Journal of Communication, (18/1993): 51-73.
Willemen, Paul. “A critical comment on the IACS journal”. Inter-Asia Cultural Studies, (2/2010): 221.
Williams, Raymond. Marxism and literature. Oxford [Eng.]: Oxford University Press, 1977.
———. Problems in materialism and culture. London: Verso, 1980.
———. “Means of Communication as Means of Production,” dalam Raymond Williams, Problems in materialism and culture. London: Verso, 1980.
Wood, Ellen M, dan John B. Foster. In Defense of History: Marxism and the Postmodern Agenda. New York: Monthly Review Press, 1997.
Catatan Akhir:
[i] Bagian kedua akan terbit pada LKIP Edisi 3 (Bulan Maret 2013). Bagian ketiga akan terbit pada LKIP Edisi 5 (Bulan Mei 2013).
[ii]
Tom O’Malley, “Media History and Media Studies: Aspects of the
development of the study of media history in the UK 1945-2000,” Media
History, (2/2002): 155-173.
[iii]
David McNally, “E P Thompson: class struggle and historical
materialism,” International Socialism Journal, (61/1993), diunduh
tanggal 10 Desember 2012 dari
http://pubs.socialistreviewindex.org.uk/isj61/mcnally.htm#4.
[iv]
Norma Schulman, “Conditions of Their Own Making: An Intellectual
History of the Centre for Contemporary Cultural Studies at the
University of Birmingham,” Canadian Journal of Communication, (18/1993):
51-73.
[v] Raymond Williams, Marxism and literature. (Oxford [Eng.]: Oxford University Press, 1977): 78.
[vi] Raymond Williams, Problems in materialism and culture. (London: Verso, 1980): 31.
[vii] Williams, Marxism and literature, 82
[viii] Williams, Problems in materialism and culture, 33
[ix] Raymond Williams, “Means of Communication as Means of Production,” dalam Raymond Williams, Problems in materialism and culture. (London: Verso, 1980).
[x] Stuart Hall, “Cultural Studies: Two Paradigms,” dalam T. R. Young, T. R., ed., Media, culture and society. ([Fort Collins], Colo: Colorado State University, 1980): 33.
[xi] Hall, “Cultural Studies,” 40
[xii] Hall, “Cultural Studies,” 43
[xiii] Hall, “Cultural Studies,” 45
[xiv] Hall, “Cultural Studies,” 46
[xv]
Untuk penjelasan lebih detil tentang perjalanan pemikiran British
Cultural Studies, lihat: Janice Peck, “Itinerary of a Thought: Stuart
Hall, Cultural Studies, and the Unresolved Problem of the Relation of
Culture to “not Culture,”” Culture Critique, (2001): 200-252.
[xvi] Alan O’Connor, “The Problem of American Cultural Studies,” Critical Studies in Mass
Communication, (6/1989): 406.
Communication, (6/1989): 406.
[xvii] Alan O’Connor, “The Problem of American Cultural Studies,” Critical Studies in Mass
Communication, (6/1989): 405-413.
Communication, (6/1989): 405-413.
[xviii] O’Connor, “The Problem of American Cultural Studies,” 408
[xix] ibid.
[xx]
Nuraini Juliastuti dan Antariksa, “Kajian Budaya di Indonesia”, Public
Lecture and Workshop “Asian Studying Asia: Cultural Studies for Asia
Context”, (Yogyakarta, May 14-17, 2002): 1-3.
[xxi] Melani Budianta, “Multiple Sites of Knowledge Production: Cultural Studies Scholarship in Indonesia,” dalam Alternative Production of Knowledge and Social Representations, eds. Risa Permanadeli, Deni Jodelet, dan Toshio Sugiman. (Jakarta: Graduate Program of European Studies, 2012): 206-207.
[xxii] Ibid.
[xxiii] Dan Schiller, Theorizing Communication. (Oxford: Oxford UP, 1996).
[xxiv] Budianta, “Multiple Sites of Knowledge Production”, 208
[xxv] ibid.
[xxvi] ibid.
[xxvii] ibid.
[xxviii] Kuan-Hsing Chen dan Chua Beng Huat, “Introduction”, Inter-Asia Cultural Studies, (1/2000): 9-12.
[xxix] Chen dan Huat, “Introduction,” 11-12
[xxx] Melani Budianta, “Shifting the geographies of knowledge: the unfinished project of Inter-Asia Cultural Studies”, Inter-Asia Cultural Studies, (2/2010): 175.
[xxxi] Budianta, “Shifting the geographies of knowledge,” 174
[xxxii] Goh Beng-Lan, ed., Decentring and Diversifying Southeast Asian Studies: Perspectives from the Region. (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2011); Myung-Jin Park and James Curran, De-Westernizing media studies. (London: Routledge, 2000); Dipesh Chakrabarty, Provincializing Europe. (Princeton, N.J: Princeton University Press, 2008).
[xxxiii] Paul Willemen, “A critical comment on the IACS journal”, Inter-Asia Cultural Studies, (2/2010): 221.
[xxxiv] Lawrence Grossberg, “On the political responsibilities of cultural studies”, Inter-Asia Cultural Studies, (2/2010): 241-247.
[xxxv]
Juliastuti dan Antariksa, “Kajian Budaya di Indonesia”; Ariel Heryanto,
“Cultural Studies’ Significant Others” The Case of Indonesia”,
Anthropologi Indonesia, (1/2005): 1-15; Budianta, “Shifting the
geographies of knowledge” and “Multiple Sites of Knowledge Production”
[xxxvi] Budianta, “Shifting the geographies of knowledge”
[xxxvii] diunduh tanggal 15 Desember 2012 di http://freedom-institute.org/id/index.php?page=profil&detail=artikel&detail=dir&id=49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar