Oleh:
Sumiman
Udu[2]
Abstrak
Terpilihnya Wakatobi sebagai Cagar
Biosfer dunia oleh UNESCO pada April 2012 tidak terlepas dari peran serta
masyarakat adat. Sejak dulu masyarakat Adat Wakatobi telah melakukan konservasi
lingkungan melalui tradisi lisan.
Beberapa tempat inkubasi ikan dan hutan lindung di Wakatobi memiliki
cerita yang mampu melindungi tempat-tempat tersebut dari kerusakan yang
dilakukan oleh masyarakat setempat. Melalui cerita rakyat, masyarakat memiliki
pandangan bahwa suatu tempat itu bertuah dan tidak bisa diganggu atau dirusak.
Penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan pendekatan etnografi. Data penelitian ini
dikumpulkan dengan cara pengamatan dan wawancara mendalam. Melalui pengamatan,
dapat ditemukan data-data lingkungan, sedangkan melalui wawancara ditemukan
pemikiran masyarakat terhadap lingkungan yang dikonstruksi oleh rakyat cerita
rakyat. Pengolahan data dilakukan dengan metode etnografis guna menjelaskan
pemikiran masyarakat adat dalam melakukan konservasi lingkungan.
Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa beberapa tempat konservasi (laut dan darat) di Wakatobi
memiliki mitos yang melindungi setiap tempat tersebut. Beberapa cerita yang mengkotruksi
pemikiran masyarakat dalam melakukan konservasi terhadap lingkungan (laut dan
darat) di Wakatobi adalah (1) cerita Untu
Wa Ode untuk wilayah konservasi Untu Wa Ode di Desa Koreo Kecamatan
Wangi-Wangi, (2) Cerita Sangia Pasi Koko untuk
melindungi karang Pasi Koko, (3) cerita
rakyat Mo’ori untuk melindungi daerah
konservasi hutan di benteng Suo-Suo di Tomia, serta (4) cerita Buaya Emas yang melindungi Hutan
Mangrowe di Mbara-Mbara Kecamatan Togo Binongko. Melalui cerita-cerita
tersebut, masyarakat adat Wakatobi mampu membangun kesadaran kepada masyarakat,
sehingga masyarakat mempunyai kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan di
Wakatobi. Di sisi lain, ada sanksi yang mereka dapatkan ketika merusak
lingkungan, seperti tenggelam, dikutuk, dan wabah penyakit. Kesadaran yang
dibangun oleh tradisi lisan itulah yang kemudian berkontribusi besar dalam
konservasi lingkungan di Wakatobi.
Kata
Kunci: Tradisi Lisan, Media Konservasi, Masyarakat Adat, Laut, Wakatobi
A.
Latar
Belakang
Terpilihnya
Wakatobi sebagai Cagar Biosfer dunia oleh UNESCO pada April 2012 tidak terlepas
dari peran serta masyarakat adat. Sejak zaman Kesultanan Buton yang berlangsung
sejak pertengahan abad 13 sampai dengan tahun 1960-an masyarakat Adat Wakatobi
– Buton telah melakukan konservasi
lingkungan melalui kearifan lokal mereka yang dilembagakan dalam tradisi lisan. Sejak saat itu masyarakat Wakatobi – Buton
telah melakukan pemetaan wilayah dengan konsep sasa[3].
Melalui konsep sasa tersebut hampir
semua tanah-tanah ulayat sudah diatur fungsi dan peruntukkannya oleh sara[4].
Beberapa tanah ulayat yang dikuasai oleh sara
setempat menjadi tempat konservasi lingkungan dalam masyarakat adat Wakatobi.
Tempat-tempat itu seperti padangkuku,
ontoala, motika, kaindea, untu, bungi, tondora dan pasi.
Hampir
semua wilayah konservasi alam yang dilakukan masyarakat adat Wakatobi
dikonstruksi oleh mitos yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat adat
masing-masing. Sehubungan dengan itu, Herwasono Sudjito dkk. (2009: 1)
mengatakan bahwa banyak kawasan perlindungan yang tidak konvensional sebagai
situs keramat alami masih bertahan dari degradasi lingkungan karena menyatu
dengan sistem kepercayaan dan budaya setempat. Melalui tradisi lisan, seperti
ungkapan tradisional (pemali), cerita
rakyat (tula-tula), mitos, tempat-tempat
tersebut dikonstruksi menjadi tempat yang keramat, sehingga tidak dapat
diganggu oleh masyarakat setempat karena dianggap bertuah. Mitos itu juga
mengkostruksi pemikiran bahwa masyarakat yang melanggar nilai-nilai yang ada
dalam mitos itu akan mendapatkan bala atau
kualat yang berujung pada adanya wabah yang mematikan.
Dewasa
ini keberadaan daerah-daerah konservasi adat yang dikontruksi melalui tradisi
lisan tersebut telah mengalami pergeseran sebagai dampak dari adanya perubahan
yang disebabkan oleh adanya perubahan sosial sebagai akibat dari perkembangan teknologi
informasi, pendidikan dan sistem politik. Kebanyakan masyarakat Wakatobi saat
ini sudah mulai mengabaikan berbagai larangan dan tuah yang tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat Wakatobi. Mereka sudah mulai memahami berbagai
mitos yang mendukung berbagai daerah konservasi tersebut sebagai sesuatu yang
tidak rasional. Akibatnya beberapa tempat konservasi adat di Wakatobi telah
terusik oleh masyarakat setempat karena mereka sudah tidak percaya lagi dengan
berbagai mitos yang mengkontruksi pemikiran kolektif mereka atau inilah yang
kemudian disinyalir oleh Carsten (1995: 318, 329-330) Greertz dan Geertz (1964)
dengan 'amnesia' kata. 'Amnesia' merujuk pada fenomena
informasi penting dimana kata telah memudar dalam memori masyarakat (Tulius, 2012: 279). Di samping itu, peran masyarakat adat, terutama dalam memberikan sanksi kepada masyarakat yang melanggar sudah mulai melemah, kecuali sara Mandati yang masih tetap eksis menjaga dan memberikan sanksi kepada setiap yang melanggar hak-hak ulayat masyarakat adat. Sementara masyarakat Waha dalam wilayah sara Wanse sudah mulai berani menebang pohon di hutan Wa Bue-Bue yang selama ini dilingdungi dengan mitos kota waliullah, mungkin mereka sudah mengalami “amnesia kata” sebagaimana dimaksud oleh Carsten dan Greertz dan Geertz di atas, atau mungkin saat ini mereka telah kehilangan nilai dan makna yang ditanamkan melalui mitos tersebut.
informasi penting dimana kata telah memudar dalam memori masyarakat (Tulius, 2012: 279). Di samping itu, peran masyarakat adat, terutama dalam memberikan sanksi kepada masyarakat yang melanggar sudah mulai melemah, kecuali sara Mandati yang masih tetap eksis menjaga dan memberikan sanksi kepada setiap yang melanggar hak-hak ulayat masyarakat adat. Sementara masyarakat Waha dalam wilayah sara Wanse sudah mulai berani menebang pohon di hutan Wa Bue-Bue yang selama ini dilingdungi dengan mitos kota waliullah, mungkin mereka sudah mengalami “amnesia kata” sebagaimana dimaksud oleh Carsten dan Greertz dan Geertz di atas, atau mungkin saat ini mereka telah kehilangan nilai dan makna yang ditanamkan melalui mitos tersebut.
Berdasarkan
fenomena di atas, maka penelitian mengenai peran tradisi lisan sebagai media
konservasi lingkungan dalam masyarakat adat perlu dilakukan. Mengingat hasil penelitian
ini diharapkan dapat menjadi acuan teoritis dalam pengembangan teori-teori
konservasi dalam rangka mewujudkan pembangunan lingkungan yang berkelanjutan.
Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapay dijadikan acuan oleh pemerintah
kabupaten Wakatobi dan masyarakat adat dalam melakukan konservasi lingkungan di
kabupaten Wakatobi, mengingat model konservasi lingkungan melalui tradisi lisan
ini telah mampu melakukan konservasi selama berabad-berabad (bdk. Mangunwijaya,
2009: 31).
Penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan etnografi. Penggunaan paradigma
etnografi dalam penelitian ini dilakukan guna mengumpulkan data-data lapangan
yang ada di dalam masyarakat Wakatobi khususnya data mitos dan pandangan dunia
masyarakat setempat sehubungan dengan daerah konservasi yang selama ini
dilindungi oleh berbagai mitos di dalam masyarakat Wakatobi.
Data
penelitian ini dikumpulkan dengan cara pengamatan dan wawancara mendalam.
Melalui pengamatan, dapat ditemukan data-data lingkungan, sedangkan melalui
wawancara ditemukan pemikiran masyarakat terhadap lingkungan yang dikonstruksi
oleh tradisi lisan. Pengolahan data dilakukan dengan metode etnografis guna
menjelaskan pemikiran masyarakat adat dalam melakukan konservasi lingkungan.
B. Tradisi Lisan sebagai Ruang
Konservasi Lingkungan dalam Masyarakat Adat Wakatobi
Salah satu gejala kebudayaan yang perlu
diperhatikan, baik dalam masyarakat modern maupun di dalam masyarakat
tradisional adalah tradisi lisan (Boyer, 1990: 1; Tuloli, 1991: 1). Ruth
Finnegan (1992: 122) mengatakan bahwa pembicaraan mengenai tradisi lisan tidak
terlepas dari aspek ekonomi, hubungan kekuasaan, sistem nilai dan struktur
keluarga dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, tradisi lisan memuat berbagai
nilai-nilai yang tersimpan dalam masyarakat, termasuk dalam hubungannya dengan
konservasi lingkungan. Hal yang sama dikemukakan oleh Roland Barthes (1972)
bahwa mitos merupakan sistem
komunikasi tersendiri yang terbentuk dari rantai penandaan yang sudah ada
sebelumnya. Barthes mencontohkan bagaimana gambar seorang serdadu Afrika kulit
hitam sedang memberi hormat ala militer pada bendera Prancis dapat dibaca dalam
tiga tahapan, yakni sebagai simbol imperialisme
Prancis, alibi atas imperialisme
Prancis, dan terakhir sebagai bukti bahwa imperialisme Prancis memang nyata adanya. Permasalahan timbul
ketika sikap hormat sang serdadu dianggap lumrah sebagai bukti kesetiaannya
terhadap mantan ‘majikan’. Hal itu memperlihatkan bagaimana mitos telah
menjelma menjadi ideologi.[5]
Tentunya konsep-konsep Barthes tentang mitos ini dapat digunakan untuk memahami
bagaimana masyarakat adat Wakatobi dapat menjadikan mitos sebagai sesuatu yang
nyata dalam rangka melakukan konservasi terhadap lingkungan. Dimana mitos yang
dibangun untuk melindungi hutan konservasi adat masyarakat Wakatobi menjadi
ideologi dalam kehidupan masyaarakat Wakatobi. Hutan sudah dijadikan sebagai
tempat keramat yang berhubungan dengan sistem kepercayaan mereka.
Beberapa daerah konservasi lingkungan yang ada di
Wakatobi saat ini sebenarnya telah lama dikonservasi oleh masyarakat adat.
Pembuatan zonasi oleh masyarakat setempat merupakan transformasi dari konsep
konservasi yang dilakukan oleh masyarakat adat ketika masyarakat mengalami “amnesia’
kata yang tersimpan dalam berbagai mitos yang melindungi lingkungan mereka. Daerah-daerah
konservasi masyarakat adat Wakatobi yang dikontruksi oleh berbagai mitos adalah
sebagai berikut.
1.
Cerita
Untu Wa Ode dan Daerah Konservasi
Adat Untu Wa Ode
Cerita
atau mitos Untu Wa Ode tumbuh dan
berkembang di wilayah Wangi-Wangi khususnya di daerah Waha. Dalam cerita tersebut
mengisahkan tentang kisah salah satu keluarga yang mememiliki kekerabatan
dengan imbu yang ada di laut, dan menunggu karang yang ada di tanjung Untu Wa
Ode. Melalui cerita itulah tumbuh kesadaran kolektif untuk tidak mengganggu
wilayah konservasi tersebut, karena cerita itu juga disertai sanksi berupa
kualat atau salah piara[6].
Bahkan ketika perahu melewati daerah Untu Wa Ode, mereka tidak boleh
membunyikan dayung ke sampan dan tidak boleh ribut (Wawancara dengan La Sali,
29 Mei 2013). Tentunya hadirnya mitos tersebut memiliki maksud tersendiri
sebagaimana dikemukakan oleh Susanto P.S. Harry (1987: 91) bahwa dalam berbagai tipenya, mitos dapat dipandang sebagai
sejarah yang sakral pada waktu yang awal, mitos juga mengungkapkan tindakan
kreatif dan makhluk supernatural untuk menyatakan kesakralan karya mereka. Sehingga
mitos-mitos yang membentuk kesadaran tentang suatu tempat memiliki
tujuan-tujuan kreatif yang mampu melindungi suatu kawasan yang mesti dilindungi
oleh masyarakat adat.
Rupanya
masyarakat adat Wakatobi menghadirkan mitos untuk mendukung berbagai kawasan
konservasi mereka secara tidak langsung, karena mereka menganggap bahwa mitos
tersebut sebagai suatu kenyataan atau suatu peristiwa yang nyata. Hal ini dapat
didukung oleh adanya pengakuan masyarakat setempat bahwa mereka memiliki
hubungan lahir batin dengan beberapa daerah wilayah konservasi, ini dapat
dilihat pada kepercayaan masyarakat Waha yang mempercayai hubungan batiniah
mereka dengan imbu yang menunggu Wilayah
konservasi Untu Wa Ode.
Menurut hasil observasi yang
dilakukan oleh TNC WWF Wakatobi, Daerah konservasi adat Untu Wa Ode merupakan
salah satu kawasan tempat bertelurnya ikan towoula,
kurapu (ikan sunu) dan longa-longa
(kobra laut) yang ada di bagian utara pulau Wangi-Wangi (Wawancara, Saleh
Hanan, 3 Mei 2013). Melalui mitos Untu Wa
Ode, kawasan ini terjaga dan lestari sampai sekarang. Masyarakat tidak
berani untuk merusak wilayah konservasi adat ini. Namun pelan-pelan telah ada pergeseran
makna mitos Untu Wa Ode di dalam
masyarakat setempat sebagai akibat dari adanya perubahan dari masyarakat. Akibatnya
nilai-nilai sakral mitos Untu Wa Ode
semakin berkurang. Terlebih ditambah dengan adanya beberapa pengalaman
masyarakat yang melihat turis dan nelayan dari luar Wakatobi yang berenang dan
melakukan penangkapan di wilayah ini, namun mereka tidak diganggu atau dikutuk oleh
makhluk penunggu wilayah Untu Wa Ode sebagaimana yang disosialisasikan dalam
mitos Untu Wa Ode.
Untuk
mengantisipasi pergeseran tersebut, maka pada tahun 2000 wilayah-wilayah konservasi
adat ini diusulkan untuk menjadi daerah zonasi oleh pemerintah kabupaten
Wakatobi. Namun pada waktu itu terjadi masalah, karena masyarakat setempat tidak
mau menerima sistem zonasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Masyarakat adat
tidak terbiasa dengan konsep zonasi dan mereka setuju kalau wilayah zonasi itu
disesuaikan dengan ruang konservasi masyarakat adat. Akhirnya nanti pada tahun
2007, baru daerah-daerah konservasi adat ini ditetapkan sebagai daerah zonasi
oleh pemerintah kabupaten Wakatobi.
Di
samping itu, di kawasan ini juga terdapat mitos yang menghubungkan Untu Wa Ode
dengan mitos hutan Wa Bue-Bue yang merupakan kawasan hutan adat atau mutika nusara kadhia Wanse. Melalui mitos itu, hutan Wa Bue-Bue merupakan wilayah
kota waliullah yang merupakan ruang konservasi adat di wilayah benteng Wa
Bue-Bue. Menurut kesadaran masyarakat setempat kota Waliullah ini memiliki tiga
buah pelabuhan yaitu, Untu Wa Ode, Watu Towengka, dan Umbu Kapota. Tiga buah
pelabuhan ini merupakan daerah-daerah konservasi adat yang sampai saat ini
telah dilanjutkan oleh pemerintah kabupaten Wakatobi sebagai daerah zonasi dan
merupakan tempat-tempat renang yang indah karena karang-karangnya yang masih
utuh.
2.
Mitos
Pasi Koko dan Konservasi Karang Pasi
Koko
Mitos
Pasi Koko adalah mitos yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat Wakatobi. Dalam mitos tersebut, dijelaskan
bahwa daerah konservasi Pasi Koko adalah pusat
kota hantu laut atau imbu. Bagi masyarakat tradisional Wakatobi, kawasan Pasi
Koko dikenal sebagai salah satu daerah berbahaya dalam pelayaran tradisional mereka.
Barang siapa yang merusak karang, berarti merusak kota hantu dan akan
mendapatkan kutukan.
Secara
geografis, wilayah ini adalah pertemuan dua arus antara pulau Binongko dan
karang Tomia sehingga menghasilkan arus laut yang kuat dan bahkan masyarakat
setempat percaya bahwa perahu dapat saja tenggelam dan hilang di daerah ini. Wilayah
ini memiliki arus laut yang berputar sehingga menurut masyarakat setempat
wilayah ini dapat menenggelamkan sebuah perahu hingga ke dasar laut.
Berdasarkan
hasil survei tim TNC WWF Wakatobi wilayah Pasi Koko memiliki karang yang indah,
dan memiliki ikan yang banyak, namun dewasa ini sudah banyak nelayan dari luar
Wakatobi yang datang melakukan pemboman dan pembiusan. Mereka melakukan
pemboman dan pembiusan karena mereka tidak takut dengan berbagai mitos yang
mengatakan bahwa Pasi Koko adalah wilayah pusat kota hantu laut. Oleh karena
itu, wilayah konservasi adat hanya berlaku pada masyarakat setempat, dan tidak
berlaku pada masyarakat yang bukan dari masyarakat adat Wakatobi.
Di
samping itu, beberapa kawasan konservasi laut yang dilindungi oleh mitos adalah
mitos tentang karamah di Untu Melambi di daerah Patuno. Melalui mitos keramat
itu, wilayah ini sangat ditakuti oleh masyarakat tradisional Wakatobi. Bahwa
jika menebang kayu di wilayah ini dipercayai akan mendatangkan penyakit bagi
masyarakat sekitar. Namun datangnya beberapa orang konservatif dalam agama
Islam, menyebabkan daerah ini dibuka menjadi tempat madrasah tsanawiah swasta.
Akibatnya masyarakat sudah tidak terlalu percaya dengan adanya mitos mengenai
kekuatan ghaib yang dimiliki oleh tempat karamah tersebut. Dampaknya pada
tindakan pembukaan hutan yang ada di wilayah Untu Melambi dan menjadikannya
sebagai lokasi sekolah. Pada hal wilayah ini merupakan salah satu wilayah
konservasi adat yang selama ini mempertahankan hutan lindung di daerah ini.
3.
Mitos
Tindoi dan Konservasi Hutan Adat Tindoi
Selain
beberapa mitos yang mendukung wilayah konservasi masyarakat adat Wakatobi di
wilayah laut. Mereka juga memiliki tradisi lisan yang melindungi kawasan hutan.
Di dalam wilayah sara Wanse ada
beberapa hutan yang dilindungi oleh mitos yaitu Tindoi, motika Umbu Wungka atau motika waliullah, motika Wa Bue-Bue. Menurut masyarakat setempat, Tindoi merupakan
salah satu karamah yang dihuni oleh orang-orang suci. Mereka mempercayai bahwa
keluhur mereka yang ada di Tindoi adalah orang-orang suci yang termasuk dalam
kelompok waliullah. Orang-orang suci ini senantiasa menjaga dan melindungi
hutan dan masyarakat Tindoi dari kerusakan. Menurut Wa Yai (86) tanda bahwa
orang-orang tua yang memiliki kuburan di wilayah hutan adat ini memiliki hati
dan jiwa yang lurus dapat dilihat pada batang kayu yang selalu lurus
(wawancara, Wa Yai, 30 April 2013).
Dalam
perkembangannya, pada tahun 2008 Wa Yai sebagai salah seorang juru kunci tempat
keramat gunung Tindoi menebang salah satu pohon di kawasan hutan tersebut, tepatnya
di sekitar kuburan anak-anak. Akibatnya, masyarakat di sekitar hutan Tindoi
menjadi panik, karena mereka percaya bahwa jika salah satu ranting pohon patah
di gunung Tindoi, maka arah ranting itu akan berdampak pada kematian bayi di arah
ranting tersebut. Tetapi, jika dahan kayu besar yang patah, maka itu menandakan
bahwa yang akan meninggal adalah tokoh masyarakat. Akibatnya masyarakat hampir
membunuh Wa Yai dan melaporkannya ke polisi sebagai hukuman atas tindakannya.
Masyarakat setempat khususnya masyarakat Wuta Mohute dan Tai Bete sangat khawatir
atas kejadian penebangan pohon di wilayah hutan Tindoi tersebut. Bahkan mereka
mengancam akan membunuh Wa Yai jika terjadi suatu bencana sebagai akibat
perbuatannya itu.
La
Nia (66) mengatakan bahwa masyarakat Wanse di zaman dulu sangat takut untuk merusak
wilayah hutan di lingkungan konservasi Tindoi. Karena masyarakat percaya bahwa
jika mereka melakukan pengrusakan di daerah tersebut, maka mereka akan pendek
umurnya (Wawancara, 30 April 2013). Dengan pemahaman itu, masyarakat adat
Wakatobi di sekitar Tindoi secara tidak langsung melakukan konservasi terhadap
hutan di wilayah Tindoi.
Mitos
yang ada di wilayah Tindoi dipengaruhi oleh konsep Islam terutama dalam konsep
empat sahabat. Sehingga konsevasi hutan Tindoi dimulai dari cerita tentang
keberadaan empat sahabat yang memiliki faham kangkilo atau kesucian. Jika mereka menodai kesucian wilayah
konservasi adat ini akan mendapatkan kutukan. Bahkan ketika ditanya oleh
peneliti, Wa Yai mengatakan bahwa masyarakat Tindoi percaya bahwa masyarakat
leluhur yang ada di Tindoi yang menghuni wilayah ini adalah orang-orang suci,
tidak berbohong dan tidak memakai hal-hal yang bukan hak mereka.
Jika
dibandingkan dengan beberapa wilayah hutan sara
Wanse yang tidak dilindungi oleh mitos seperti kaindea dan motika, maka hutan
dan kaindea tersebut saat ini telah hampir habis rambah oleh masyarakat. Mereka
membuka lahan kebun. Akibatnya beberapa sumber air yang ada di beberapa sungai
di pegunungan pulau Wanci menjadi sangat rentan dengan kekeringan. Pada hal
menurut penuturan masyarakat setempat, sungai-sungai tersebut sangat jarang
kering, tetapi karena kaindea sudah
mulai menipis maka setiap kemarau, sungai-sungai kecil tersebut langsung
kering.
4.
Mitos
Kota Waliullah dan Kawasan Hutan Bungi
di Desa Longa
Masyarakat
di kawasan timur pulau Wangi-Wangi mempercayai cerita Kota Waliullah yang
bertempat di hutan Bungi Desa Longa Kecamatan Wangi-Wangi. Selama berabad-abad
hutan ini dilindungi oleh mitos bahwa hutan tersebut merupakan salah satu kota
yang dihuni oleh waliullah. Bahkan mereka sampau saat ini masih mempercayai
hubungan dagang mereka dengan masyarakat kota tersebut. Mereka juga percaya
bahwa mereka memiliki saudara di kota tersebut, bahkan mereka dapat kawin dengan
masyarakat waliullah di kota itu.
Mitos
ini kemudian menyelamatkan hutan ini dari masyarakat setempat, tetapi karena
adanya perkembangan masyarakat dan kuatnya tekanan kemiskinan, informasi
global, maka pelan-pelan kepercayaan yang dibangun oleh mitos itu pelan-pelan
menipis di dalam masyarakat setempat. Akibatnya hutan ini sudah terancam hilang
karena dirambah oleh masyarakat desa Longa dan Patuno.
5.
Mitos
Mo’ori dan Konservasi Hutan Suo-Suo
di Tomia Timur
Cerita Mo’ori
merupakan salah mitos yang mendukung wilayah konservasi hutan di benteng Suo-Suo
Tomia Timur. Masyarakat Tomia sampai saat ini masih selalu datang berdoa dan
membuat sesajian di kuburan Ince Sulaiman yang ada di wilayah benteng Suo-Suo.
Ini tentunya berhubungan dengan sistem religi masyarakat Tomia, terutama dalam
hubungannya dengan Ince Sulaiman yang menyebarkan Islam pertama di daerah ini.
Melalui cerita Mo’ori masyarakat
Tomia tetap melindungi wilayah hutan Suo-Suo sebagai daerah keramat.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, hutan Suo-Suo merupakan satu-satunya
hutan lindung yang ada di pulau ini.
Selain daerah konservasi di hutan Suo-Suo,
masyarakat Tomia juga memiliki wilayah
konservasi alam Liang Kuri-Kuri di daerah Kulati. Liang Kuri-kuri merupakan
hutan lindung sara yang dimitoskan
ditunggu oleh hiu kuning dan hantu laut. Masyarakat mempercayai bahwa apabila
memasuki wilayah itu tanpa hati-hati atau melakukan ritual tertentu, maka orang
akan seriang salah jalan atau tersesat (Wawancara dengan Sahruddin, 3 Mei
2013).
Selanjutnya
wilayah konservasi adat di dalam masyarakat Tomia adalah wilayah konservasi One
Momba’a yang dilindungi dengan mitos hiu besar dan imbu atau hantu laut. Berdasarkan
hasil penelitian TNC WWF Wakatobi, wilayah ini adalah pusat inkubasi atau pemijahan
ikan di daerah Tomia dan sekaligus wilayah pengembangan resort. Wilayah ini
juga memiliki pemandangan karang yang baik, dan memiliki ikan yang melimpah,
terlebih setelah dikelola oleh Wakatobi Dive Resort.
6.
Mitos
Buaya Emas dan Konservasi Hutan
Mangrov di Mbara-mbara Togo Binongko
Masyarakat
Togo Binongko memiliki mitos Buaya Emas
yang selalu muncul di daerah kawasan Hutan Mangrowe di Desa Hakka Kecamatan
Togo Binongko. Karena kemunculan buaya emas itu selalu tidak pasti, dan siapa
saja yang melihatnya pasti sakit dan mati, maka masyarakat di kawasan ini
sangat hati-hati memasuki wilayah ini. Mereka takut jangan sampai mereka
terkena kutukan dari makhluk halus tersebut. Dampak dari mitos ini akhirnya
melahirkan kesadaran akan adanya makhluk halus yang menjaga hutan mangrowe
tersebut. Masyarakat di sekitar hutan manggrowe tersebut sampai saat ini masih selalu
memberikan sesajian di sekitar hutan manggrowe mbara-mbara.
Di
samping itu, masyarakat Binongko juga memiliki hutan Wa Tampidha sebagai ruang
konservasi adat yang dibungkus dengan cerita Kota Waliullah. Melalui cerita itu, masyarakat Binongko mempercayai
bahwa daerah itu adalah wilayah hutan yang dihuni oleh para Waliullah. Beberapa
dekade yang lalu masyarakat Binongko masih melakukan perdagangan dengan sistem
barter dengan masyarakat waliullah yang menghuni wilayah hutan tersebut. Dengan
adanya mitos tersebut, maka masyarakat Binongko sampai saat ini masih
menghormati dan menakuti wilayah hutan ini (Wawancara Sahruddin, 3 Mei 2013).
C. Tradisi
Lisan dan Konservasi Lingkungan di Wakatobi Dewasa Ini
Berdasarkan
beberapa daerah konservasi dan mitos yang ada di Wakatobi, maka dapat katakan
bahwa tradisi lisan merupakan media konservasi masyarakat adat yang dapat
melindungi lingkungan di Wakatobi. Namun perubahan masyarakat Wakatobi dewasa
ini telah terjadi “amnesia kata” secara kolektif dalam masyarakat Wakatobi,
atau dapat dikatakan bahwa dunia mitos telah tergeser oleh dunia rasionalisme
yang berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat Wakatobi pada tuah yang
dapat menghukum mereka ketika melanggar wilayah-wilayah konservasi yang
dibangun oleh mitos.
Selanjutnya
secara geografis Wakatobi merupakan jalur pelayaran antara Indonesia barat dan
timur Indonesia. Menyebabkan ramainya pelayaran, termasuk masuknya para nelayan
dari berbagai daerah, seperti Madura, Sinjai, Kadhatua, dan nelayan dari daerah
Kendari. Semua nelayan pendatang tersebut tidak mempercayai atau tidak
mengetahui adanya mitos yang membentuk kesadaran kolektif masyarakat setempat.
Akibatnya, mereka melakukan berbagai pemboman, pembiusan di wilayah-wilayah
konservasi adat, dan sekaligus menggeser kesadaran kolektif masyarakat Wakatobi
bahwa mitos yang selama ini mereka yakini, ternyata hanyalah sebuah cerita
belaka dan tidak terbukti ketika para nelayan dari daerah lain itu memasuki
wilayah konservasi.
Sehubungan
dengan pergeseran nilai-nilai konservasi tersebut, Ervizal A. M Zuhud (2009:
14) mengatakan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan ketidakberlanjutan
pengetahuan lokal suatu masyarakat yaitu (1) alih generasi dan intervensi
informasi global, (2) tidak adanya nilai ekonomis utama dari satu produk
konservasi terutama bagi penduduk lokal, (3) adanya intervensi dari luar.
Pendapat Ervizal di atas tentunya memiliki relevansi dengan konsidi pengelolaan
daerah konservasi adat yang di Wakatobi. Dimana pemerintah setempat telah mengambil
alih peran sara dalam hal mengontrol
lingkungan. Akibatnya masyarakat melakukan banyak banyak perambahan dan
pemboman lingkungan, tanpa sanksi sosial dari masyarakat adat.
Akibatnya,
banyak wilayah konservasi hutan dan laut yang dikonservasi secara tradisional
melalui berbagai tradisi lisan, dijarah oleh masyarakat sekitar. Ini juga
disebabkan oleh adanya perubahan subsistem dalam kehidupan masyarakat pemilik
sebuah tradisi. Schefold (1980), Meyers (2003) mengatakan bahwa tradisi akan
selalu hidup berhimpitan dengan sejarah perubahan manusia. Dimana sesuatu
dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan pada saat yang bersamaan daerah itu
tidak lagi dianggap sakral oleh masyarakat setempat.
Di
samping itu, hilangnya peran sara
dalam pengelolaan lingkungan menyebabkan adanya jarak antara masyarakat adat
dan wilayah-wilayah konservasi adat yang ada di Wakatobi. Ikatan emosional
religius pun sudah mulai berkurang, sehingga masyarakat tidak merasa berdosa
kalau melakukan pengrusakan terhadap lingkungan. Sementara masyarakat Wakatobi
memiliki konsep kangkilo yang dapat
memberikan emosional religius dalam rangka konservasi lingkungan. Melalui
konsep kangkilo, masyarakat Wakatobi – Buton akan menganggap bahwa bumi harus
tetap suci dan dibersihkan, karena jika kotor akan berdampak pada keberadaan
mereka sebagai khalifah. Merusak lingkungan, sama dengan merusak keimanan atau
kesucian lahir batin mereak, dan menanam pohon atau memelihara akan dianggap
sebagai investasi dunia akhirat.
Di
laut, terjadinya proses pemboman dan pembiusan di beberapa wilayah konservasi. Saleh
Hanan (2008: 26) bahkan mengatakan bahwa “Ancaman kelestarian sumber daya di
wilayah ini adalah tingginya penggunaan bom ikan, potasium sianida, penambangan
batu karang dan penangkapan ikan berlebih (overfishing).
Dengan demikian, wilayah-wilayah konservasi ini akan rusak akibat tidak adanya
lagi kontrol masyarakat adat terhadap ruang konservasi dan memudarnya makna
mitos di dalam masyarakat.
Sementara
Polisi Kehutanan dan pihak Taman Nasional Wakatobi tidak cukup personil untuk
mengawal wilayah hutan Wakatobi yang begitu luas. Oleh karena itu, untuk melanjutkan
wilayah-wilayah konservasi adat, maka
pemerintah kabupaten Wakatobi, TNC WWF dan Taman Nasional Wakatobi
melakukan kerja sama untuk menzonasi laut sebagai wilayah konservasi. Mereka
menguatkan program konservasi yang selama ini dilakukan oleh masyarakat adat.
Namun dalam perjalanannya, masyarakat Wakatobi banyak yang melakukan perlawanan
dalam menentukan wilayah zonasi yang kembangkan oleh pemerintah, terutama pada
zona inti dan zona permanfaatan. Karena menurut masyarakat nelayan setempat
adalah tempat-tempat yang paling memungkinkan untuk melakukan pemancingan atau
penangkapan.
Untuk
itu, dalam rangka mendukung wilayah konservasi lingkungan di dalam masyarakat
Wakatobi. Maka perlunya rekulturasi nilai-nilai tradisional masyarakat Wakatobi
dalam melakukan konservasi lingkungan. Masyarakat Wakatobi harus kembali
menghidupkan mitos dengan penjelasan rasional, bahwa lelohur kita telah
memberikan kita suatu warisan berupa daerah-daerah konservasi yang sangat
penting untuk keberlanjutan kehidupan masyarakat Wakatobi saat ini dan di masa
yang akaan datang. Dengan penjelasan yang baik
mengenai mitos tersebut akan menyadarkan masyarakat tentang pentingnya
kehidupan yang berkelanjutan di Wakatobi. Dimana melalui kebijakan masyarakat
adat dalam melakukan konservasi hutan atau kaindea dan laut telah mampu menjaga
keseimbangan air serapan di Wakatobi yang merupakan satu-satunya sumbar air
minum di Wakatobi khususnya pulau Wangi-Wangi.
Di
samping itu, upaya penguatan lembaga sara
sebagai lembaga tradisional masyarakat adat Wakatobi harus digalakkan kembali.
Karena keterikatan masyarakat Wakatobi dengan lembaga sara sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus
masyarakat yang merusak hutan Mandati tidak diperkenankan untuk membayar zakat
fitra sebelum ia meninggalkan kebunnya di wilayah kawasan hutan sara. Kasus ini membuat seseorang
mendapatkan sanksi sosial yang luar biasa. Karena di samping zakatnya tidak
diterima, semua keperluannya yang berhubungan dengan adat juga tidak dilayani
oleh sara, baik yang berhubungan
dengan ritual kematian maupun yang berhubungan dengan ritual kehidupan dalam
lingkaran kehidupan masyarakrat Wakatobi.
Selain
itu, upaya untuk menghidupkan kembali sanksi sosial berupa pemberian gelar kepada
pelaku perlu dipertimbangkan karena dapat menjadi pelajaran bagi generasi
berikutnya. Pemberian gelar ini pernah diberikan oleh masyarakat adat Mandati kepada
mantan kepala desa Mandati, dimana ketika ia menjabat sebagai kepala desa, ia
membiarkan masyarakat untuk menebang pohon kenari di wilayah hutan adat Mandati
atau motika sara Mandati, maka
masyarakat adat Mandati menggelarnya dengan Yoaro
Kapala Desa Kanari atau mantan kepala desa Kanari. Sehinggga model-model
konservasi yang disertai model sanksi sepertti ini dapat menjadi ruang
alternatif dalam konservasi dan pengembangan lingkungan di Wakatobi pada masa
yang akan datang.
Selanjutnya,
dalam rangka melakukan konservasi lingkungan di wilayah konservasi adat di
Wakatobi hendaknya diusahakan agar nilai-nilai konservasi yang dilakukan
masyarakat adat, hendaknya diselaraskan dengan konsep-konsep konservasi yang
ditawarkan oleh pemerintah, mengingat ruang-ruang konservasi budaya melalui
tempat-tempat suci atau keramat dapat mendukung program konservasi global,
karena sering kali telah ada dan terlindungi dengan baik yaitu melalui
tradisi-tradisi yang kadang kala berlatar belakang ribuan tahun (Mangujaya,
2009: 39).
Ini
menunjukan bahwa konsep konservasi lingkungan yang dibangun melalui proses
pengkeramatan yang bangun mitos dapat menjadi salah satu bentuk konservasi
alternatif, di tengah hampir gagalnya wilayah-wilayah konservasi konvensional seperti
zonasi, taman nasional, dan cagar biosfer sebagaimana didapatkan Wakatobi tahun
2012 yang lalu, karena semua itu hanya akan membuat jarak antara wilayah
konservasi dengan masyarakat adat. Pada hal pengelolaan lingkungan semestinya
harus mampu melibatkan masyarakat adat sebagai bagian dari daerah konservasi.
C. Penutup
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat adat Wakatobi mampu
melakukan konservasi lingkungan melalui berbagai tradisi lisan yaang
dibangunnya. Namun perubahan masyarakat Wakatobi telah menggeser pemaknaan
terhadap berbagai mitos tersebut karena masyarakat semakin rasional dan tidak
percaya lagi pada mitos yang mendukung sebuah daerah konservasi. Hal ini
diperparah dengan hadirnya nelayan-nelayan dari daerah lain dan para turis
membuat masyarakat sadar bahwa kutukan yang selama ini mereka percayai ternyata
tidak terbukti. Akibatnya wilayah-wilayah konservasi semakin terdesak dan
banyak orang yang berusaha untuk tidak mengindahkan berbagai tuah yang
melindungi daerah konservasi tersebut.
Perlunya
rekulturasi nilai-nilai tradisional dalam masyarakat Wakatobi, terutama dalam
melakukan konservasi lingkungan di Wakatobi. Karena sistem zonasi yang dibangun
oleh lembaga pemerintah dan beberapa LSM yang ada di Wakatobi tidak cukup untuk
menyadarkan masyarakat atas pentingnya pembangunan berkelanjutan dan berusaha
untuk tetap menjarah wilayah-wilayah konsevasi, baik di laut maupun di darat. Keberadaan
tradisi lisan hendaknya dapat dikuatkan kembali sehingga wilayah-wilayah
konservasi adat ini dapat dilanjutkan karena lingkungan adalah milik generasi
di masa yang akan datang.
D. Daftar Pustaka
Carsten,
Janet (1995) ‘The Politics of Forgetting: Migration, kinship and memory on the
periphery of the Southeast Asian state.’ Journal of the Royal
Anthropological Institute 1 (2): 317-335.
Danandjaja, J.. 1994. Folklor
Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Finnegan,
R.. 1992. Oral Traditions and The Verbal Arts: A Guide to Research
Practices. London and New York:
Routledge.
Geertz,
Hildred & Clifford Geertz (1964) ‘Teknonymy in Bali: Parenthood,
age-grading and genealogical amnesia.’ Journal of the Royal Anthropological
Institute of Great Britain and Ireland 94 (2): 94-108.
Hanan, La Ode Muhammad Saleh. 2008. Penyelamatan
Keanekaragaman Hayati Kepulauan Wakatobi untuk Keberlanjutan Persediaan Sumber
Makanan: Satu Hati Untuk Wakatobi,
Memanfaatkan dan Menjaga. Wakatobi: Rencana
Kerja Staff
Program Kerjasama Tnc-Wwf Wakatobi
Meyers, K. J. M. 2003. The changing cultural and ecological roles
of Sirebut people in the management and concervation of their natural
resources. Unpublished thesis Royal Antwerp University, hlm. 54-78.
Roland
Barthes, (1972), Mythologies (Annette
Lavers, penerj.), New York, Farrar, Straus & Giroux: The Noonday Press.
Schefold, R. 1980. The sacrifices of
the Sakkudei (Mentawai Archipelago, Western Indonesia): An attempt to
classification, dalam: R. Schefold, J.W. Schoorl andJ. Tennekes (eds)., Man, meaning and history: essays in honour
of H.G Schulte Nordholt. Hague: Martinus Nijhoff. Hlm. 82-108.
Susanto, P.S.Harry, 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade.
Yogyakarta: Kanisius.
Tulius,
Juniator. 2012. Family stories : oral
tradition, memories of the past, and contemporary conflicts over land in Mentawai – Indonesia. Leiden:
Leiden University Disertation.
Tuloli, N. 1991. Tanggomo: Salah Satu Ragam Sastra Lisan
Gorontalo. Jakarta: Intermasa.
Soedjito, Herwasono dkk., 2009. Situs Keramat Alami: Peran Budaya dalam
Konservasi Keanekaragaman Hayati. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Komite
Nasional MAP – Indonesia, : LIPI dan Concervation International Indonesia.
Zuhud, Ervizal A.M. 2009. “Tri
Stimulus Amar (Alamiah Manfaat Religius) sebagai Pendorong Sikap Konservasi
Kasus Konservasi Kedawung di Taman Nasional Meru Betiri” dalam Situs Keramat Alami: Peran Budaya dalam Konservasi
Keanekaragaman Hayati (Ed). Soedjito). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
Komite Nasional MAP – Indonesia, : LIPI dan Concervation International
Indonesia.
Mangunwijaya, Fachruddin M., 2009.
“Keramat Alami dan Kontribusi Islam dalam Konservasi Alam” dalam Situs Keramat Alami: Peran Budaya dalam
Konservasi Keanekaragaman Hayati (Ed). Soedjito). Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, Komite Nasional MAP – Indonesia, : LIPI dan Concervation
International Indonesia.
Lampiran:
Peta kawasan TNW dan Kab. Wakatobi
Sumber: TNC/WWF Wakatobi
Gambar:
Salah Satu Karang Wilayah Konservasi Adat Wakatobi
Sumber: Anton Wijanarbo, TNC
[1] Diikutkan dalam
seleksi absrak pada International
Congress On Asia Folklore 2013 yang dilaksanakan pada tanggal 7-9 Juni 2013
di hotel Inna Garuda Yogyakarta.
[2]
Dosen tetap FKIP Universitas Haluoleo Kendari Sulawesi Tenggara email: sumiman_u@yahoo.co.id telpon :
081524813131
[3]
Sasa merupakan bentuk pembagian wilayah
dalam wilayah kesultanan Buton. Dalam konsep ini semua wilayah darat dan laut
sudah dibagi berdasarkan fungsi dan peruntukannya, dengan tetap memperhatikan
funsi sosial dan fungsi pembangunan berkelanjutan.
[4]
Sara merupakan lembaga adat
masyarakat adat Wakatobi
[5] Roland Barthes, (1972), Mythologies (Annette Lavers, penerj.), New York, Farrar, Straus
& Giroux: The Noonday Press.
[6]
Wawancara dengan Yusuf tanggal 23 April 2013