Oleh: La Ode Yusri
Langit
udara kota Bau-Bau tampak berawan. Sebentar-sebentar hujan, sebentar-sebentar
berangin. Hawa waktu itu bukan main dingin sejuknya padahal siang telah jelang,
waktu menunjuk pukul 11.00. Matahari tak tampak terlihat dihalang awan hitam
yang bergelantungan memenuhi seluruh udara kota. Mendekati waktu berjumat,
tiba-tiba hujan turun dalam gerimis. Orang-orang berlarian melindungkan diri,
masuk ke masjid atau ke baruga. Tapi seorang yang lain malah berlari keluar dan
menari berjingkrak-jingkrak membiarkan badan tubuhnya dikenai air yang ditumpah
dari langit itu. Dalam menari berjingkrak itu mulutnya berkomat-kamit dan
sesekali tampak seperti meniup sesuatu ke udara. Tak berapa lama air itu
seperti surut, naik kembali ke langit. Hujan reda. Seorang yang berlari keluar itu
adalah perempuan dalam pakaian adat Buton, tak terlalu tua usia umurnya. Dia
adalah pawang penjinak hujan.
Para Bonto dan Lakina bersama Siolimbona |
Jumat
lalu itu, orang-orang tampak ramai berlalu lalang memakai pakaian yang tidak
biasanya. Pakaian adat dengan kain penutup
kepala khas Buton yang dililitkan melingkari seluruh kepala. Orang-orang di
kampung menyebut kain yang dililit di kepala itu sebagai Kampurui. Beberapa orang berpakaian putih panjang menjuntai hingga
ke kaki, orang kini menyebut pakaian itu jubah. Pada kepala mereka ditutup
songkok yang dibaluti sorban, juga berwarna putih. Belakangan tahulah saya
bahwa mereka yang berjubah dan bersorban itu adalah perangkat Masjid Agung Keraton
Buton yang dalam aturan jabatan kesultanan disebut sebagai Sara Kidina. Juga kemudian menyusul berdatangan orang-orang dalam
pakaian bermanik-manik mengilap dalam warna yang terang mencolok. Pada tangan
mereka menyandang tongkat. Dari informasi beberapa teman mereka ini rupanya
adalah para Bonto dan Lakina yang datang dari 72 kadie. Kadie
dalam perspektif kesultanan adalah semacam desa yang tunduk dalam kuasa
kesultanan. Kadie dikepalai oleh seorang bangsawan dari Walaka, klan lapis kedua di bawah Kaomu dalam susunan bangsawan Buton. Ini saya di Masjid Agung
Keraton Buton pada Jumat seminggu yang lalu. Suasana seperti sedang ditarik
mundur kembali ke masa lalu, masa ketika kesultanan masih kukuh berdiri. Sebuah
prosesi akan dilakukan di sini, Ritual Sokaiyana Pau, atau Bulilingiyana Pau, pengukuhan
sultan Buton terpilih dan pengumuman bangkit berdirinya kembali kesultanan
Buton
Perangkat Masjid Agung Keraton Buton atau Sara Kidina |
Jumat
25 Mei sebuah prosesi ritual Bulilingiyana Pau diadakan. Upacara pengukuhan ini
telah tak kita lihat lebih 52 tahun lamanya, kita hanya membacanya dinaskah dan
pada buku-buku sejarah lokal yang diarsipkan. Kesultanan Buton bangkit berdiri
lagi setelah 52 tahun lamanya terlelap diam dalam kevakuman. Seperti
dibalik-balik, dalam 52 tahun bungkam diamnya, dan kini hidup bernapas lagi
dihari ke-25 bulan Mei 2012.
bersama Sara Kidina di pintu masuk Masjid Agung Keraton Buton |
Saya beruntung sekali bisa
melihat prosesi sakral itu dari dekat sekali. Ada perasaan haru dan seperti
terkesiap bahwa tak lagi bisa dibantah begitu kaya beradabnya negeri ini.
Ritual pemutaran payung dimulai usai salat Jumat. Sultan diarak keluar dari
Masjid Agung Keraton Buton menuju Batu Popaua, diapit Bontona Peropa dan
Baaluwu di kiri kanan nya. Di muka dua kapitalao dengan parang terhunus tanpa
sarung berjalan tegak dalam siaga membukakan jalan. Dengan kata-kata yang
begitu sangat menyentuh payung kemuliaan diputarkan di atas kepala sultan. Prosesi
pemutaran pertama dimulai dengan memasukan kaki kiri sultan di lubang Batu
Popaua, muka sultan dihadapkan ke barat. Sebelum kemudian atas perintah Bontona
Baaluwu payung kemuliaan diputarkan delapan kali banyaknya.
Bontona Baaluwu dan Peropa mengawal sultan terpilih |
Prosesi pemutaran kedua Bontona Peropa
melanjutkan tugas Bontona Baaluwu, membimbing sultan meletakkan kaki kanan nya
di lubang Batu Popaua. Muka sultan beralih dihadapkan ke timur, lalu
diputarkanlah payung kemuliaan Sembilan kali banyaknya. Pemutaran payung
kemuliaan itu disertai kata-kata peneguhan dalam Wolio: “Ise, Jua, Talu, Yapa, Lima, Ana, Pitu, Walu Yulagi, Sio Manuru,
Sapuluaka ingkoomo Laode. Rango, rango, rango Laode dangipo miningko imondo
mondoakana, isasanguakana mangaamamu, mangaopuamu. Bontona Wolio bari-baria te
manga andimu, mangaakamu bobato bari-baria tee manga andimu, mangaakamu pangka
bari-baria tee manga opuamu tapa ruo tapana. Tee manga opua Baaluwu Peropa.
Dangiapomini ingko mokantu-ntuakea, mokambena-mbenaakea, mokawara-warakea. I
sarana Wolio otana siy Laode. Inunca isambali tee batu-batuna, tee kau-kauna.
Boli pomatakea ruambali, boli upoandea-ndeakea. Boli upebulakea otana siy
Laode. Boli alakea kanciana bhiya yitangamu, Boli yulakea kanciana sala
yitangamu, Boli yualakea kampurui ibaamu. Susubagamu Laode. Utuntu yulagi
yutuwu manuwu-nuwu yudadi malumba-lumba. Boli amapipi baamu, boli amagari-gari
bulumu, onamu-namu tee tana Baaluwu Peropa. Opuamu-opuamu tee opuana Baaluwu
Peropa, oingko tee yaku”.
“Rango
Laode, rango Laode, rango Laode. Yuncuramikimea opulangamu tee pusakamu yi
sarana Wolio. Daangiapomini yumembali yana-yana mangura yi majelisina sarana.
Wolio. Yatanduakako kayurae, asipoko kaupokanga-nga. Atandoakako waa indamo
umangau soa mangau motandakako. Yasipoko racuindamo umalango soa malango
mosipoko. Osipoko buku yindamo yatongkoko sooyatongko mosipoko. Ingko somo
tangi tee potawa yimataumu yi tana sii Laode”.
Usai
itu, tiba-tiba yang hadir dihentakkan oleh gemerincing dan suara keras
menantang dari dua Kapitalao yang
berdiri sigap dengan parang terhunus telanjang keluar dari sarungnya
diayun-ayunkan ke udara:
“Rango! Rango! Rango!
Somba! Somba! Somba!.
Dua Kapitalao menghunus parang berjalan paling muka |
Malape anana Kaomu, oanana Walaka, oanana Papara
Yincema-yincema yinda mosombana, pesuaikanau siy beku
lae-laea, beku weta-weta kea hancu siy”
“Dengar! Dengar! Dengar!
Sembah! Sembah! Sembah!
Baik anaknya Kaomu, anaknya Walaka, anaknya Papara.
Siapa-siapa yang tidak tunduk menyembah masuk datanglah di hadapan saya ini agar
saya potong-potong, agar saya tebas dengan parang ini!
Sontak semua yang hadir mengucap “Somba! Somba! Somba!” seraya kedua
tangan dinaikan melihatkan telapak seperti gerak takbir dalam sembahyang, badan
dan kepala mengikut ditundukan sebagai penghormatan. Sejak itu resmilah kesultanan
ini hidup bernapas lagi, terlepas dari kontroversi selama prosesi penaikan,
kita selayaknya bersyukur bahwa paling tidak telah memulai sesuatu yang dalam
52 tahun ini kita tergagap-gagap tak ada gerak dan upaya memulainya, dan
memulai tentu pastilah akan selalu ada kurang, akan selalu ada lemah.
Berlanjut..
dikutip dari : http://layusriemendogu.blogspot.com/2012/06/bangkit-berdirinya-kembali-kesultanan.html?spref=fb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar