Bau-Bau Pos
06 Agustus 2012
Azam Balita yang lolos dari ancaman mati kelaparan di Kabupaten Wakatobi. Yuhandri Hardiman
TAK berdaya dan tak punya kemampuan untuk menyumbat mulut
Azam dengan coklat, astor, tanggo, atau jajanan bermerek seperti
anak-anak lainnya. Balita bernama Azam asal Topa yang baru belajar
merangkai kata dan baru lincah memanggil kata "mama" itu mengexpresikan
rasa lapar pada ibunya dengan menangis dan menteskan air mata.
Ibunya hanya bisa mengganjal perut putra bungsunya dengan air putih dan menyanyikan lagu-lagu indah agar Azam bisa terlelap dan melupakan rintihan laparnya. Tetapi tidak bisa, sebab lapar itu telah datang dan menusuk lambungnya, ia terjaga dan menangis lagi.
"Mam, mam, mam, mama," begitu kata ibunya mengisahkan Azam. Di bale bambu beratap rumbia di Desa Longa, Eni mengisahkan putranya saat aku menemuinya, Sabtu 4 Agustus 2012. Sementara ia tidak di Topa rumah ibunya. Ia menginap bersama adiknya di Desa Longa, Wangiwangi. Di sana Azam puas makan bubur, puas makan nasi. Aku melihat lincah anak itu dan lucu merangkak dan berdiri di bale-bale bambu, sore itu.
Suara rintihan yang berarti sangat lapar sudah jelas menembus pemukiman. Namun terlalu secret untuk diterjemahkan, butuh analisa mendalam untuk mengartikannya. Apalagi Wa Eni, ibu Azam tak punya keberanian untuk meminta sesuap nasi pada tetangga.
Ibu muda kelahiran 1990 itu berpikir anaknya akan tetap kuat jika mulutnya terus diisi air. Memang hanya air putih yang dipunyai ibu muda itu. Air itu bisa menggembungkan Azam namun tidak bisa memberi energi agar Azam tetap bertahan.
Di tengah rintihan putranya siang itu, Jumat 3 Agustus 2012, Eni mengingat kebun ibunya (koranga) yang di dalamnya tumbuh ubi. Ia segera membopong putranya menuju kebun dan bergegas mencabuti ubi yang diperkirakan bisa dimakan.
Eni berhasil mencabut biji ubi dan membawanya ke rumah untuk dimasak dan dipersembahkan pada putranya. Di tengah perjalanan Azam sudah tak bersuara, ia tenang tak meronta lagi, ia menjadi anak manis, keringat dingin membasahi tubuhnya. Barangkali juga malaikat maut sedang mengusap-usap kepala Azam dan siap untuk menggendong roh sucinya ke alam abadi yang lebih tenang.
Eni membaringkan anak bungsunya setibanya di rumah di Topa. Anaknya terkulai dan lemas, diusap dahinya, dipeluk dan dicium. Azam yang kecil itu terlalu lelap dan tak bisa dibangunkan. Lapar yang sangat itu telah membawanya ke alam mimpi sore itu.
Ibunya mulai khawatir, ia baru menduga telah terjadi sesuatu pada putranya. Bayangkan, terakhir Azam menyentuh makanan pada Kamis malam dan menangis kelaparan pada pukul 10.00 Wita, Jumat 3 Agustus 2012. Ibunya baru akan memasak ubi pukul 04.00 sore. Ia tidur, menangis, muntah, lemas, gemetar, pokoknya semua tanda-tanda lapar ada padanya.
Sudah sangat terlambat untuk balita seusia Azam. "Aku saja jika tak sarapan pagi pasti akan lapar dan gemetar pada siang harinya."
Ia bergegas, ia baru berani untuk meminta pertolongan tetangganya. Ketika itu tubuh mungil membiru, kejang-kejang dan kedua matanya menjadi putih. "Anakku...., anakku..., tolong,....tolong."
Tetangga berdatangan dan melihat balita berwarna biru itu teronggok di lantai ruangan yang tak berwajah. Ruangan tak berlemari bahkan rak, ruangan yang tak berisi, kosong-melontong, di rumah yang tak ada sebutir berasnya itu selama ini Azam mengukir bingkai hari-harinya bersama ibunya.
Azam lahir di Topa, April 2011. Sudah 7 bulan ayahnya merantau ke Kijang tanpa kabar, tanpa kiriman mainan, tanpa kiriman uang, tanpa segalanya. Sepertinya sang ayah sulit mencari sesuap nasi di sana, barangkali ia juga pasrah kepada yang maha kuasa dan siap menjamu malaikat maut jika anak bungsunya kelaparan lagi.
"Tidak ada makanan di rumah. Mamaku (Wambilu) berangkat ke Bacan bulan lalu. Bulan lalu aku diberi uang Rp 300 ribu, saya beli sekarung beras dan berbagi dua dengan adikku," katanya miris.
Beras yang selama ini dimakan campur garam dibasahi air putih itu telah habis. Eni yang tidak lulus SMP itu tidak mempunyai keterampilan untuk menghasilkan uang, juga tidak punya keberanian untuk mengungkapkan penderitaannya. Baginya hidup adalah takdir dan harus dijalani. Bingkai biru yang retak teronggok di dasar Surga Laut Wakatobi. Arti sebuah kekayaan yang melimpah dan Azam lapar di surga nya.
Di Puskesmas Wangiwangi, Azam masih tertidur lelap, terlalu indah dan tak sadar jika jarum impus menusuknya dan ia diberi cairan. Ibunya menunggu di balik dipan menatap wajah indah putra bungsunya yang masih tertidur dalam kelaparan, butiran-butiran beras belum menyentuh lambungnya sejak Jumat pagi.
Masih ada harapan, sebab meski terlambat, Azam mendapat energi dari impus itu. Ia membuka mata pada pukul 02.00 Wita dini hari. Berarti telah memasuki hari Sabtu 4 Agustus 2012. Eni sangat gembira dan menunggu pekikan suara putranya memanggil mama padanya.
"Mam....., mam..., mam," begitu panggil Azam kepada ibunya ketika sadarkan diri. "Dia minta makan pak," kata Eni kepadaku. "Saya langsung ambil bubur pemberian tetangga, kusuapi anakku." Azam makan dengan lahapnya di malam yang tenang itu dan terus mengunyah hingga pagi.
"Dokter bilang kalau terlambat sedikit, nyawanya tidak akan tertolong. Selama tidur nyenyak Azam, kakaknya bersama neneknya di Mandati."
"Tetanggaku bilang, minta saja jangan malu kalau tidak ada makanan," kata eni lugu.
Azam tidak kurus dan tidak gemuk. Ia lincah dan berwajah lucu, menggemaskan. "Perutnya ini buncit karena dia enak makan nasi," kata ibunya.
Eni memang miskin, ditinggal ibunya dan ditinggal suaminya merantau ke Kijang. Anak sulungnya Masrin (3 tahun) dititip pada ibu mertuanya. "Saya tidak akan membiarkannya lagi lapar," kata Eni di akhir perbincangan denganku.
Tetap kuat azam, berjuang untuk hidup jangan mati karena kemiskinan. Sebab meski kelihatannya kau tidak beruntung, sebetulnya masih beruntung sebab kau hidup di Bumi Surga Nyata Bawa Laut Wakatobi.(**)
Yuhandri Hardiman, Wangiwangi
-----------------------------
Ibunya hanya bisa mengganjal perut putra bungsunya dengan air putih dan menyanyikan lagu-lagu indah agar Azam bisa terlelap dan melupakan rintihan laparnya. Tetapi tidak bisa, sebab lapar itu telah datang dan menusuk lambungnya, ia terjaga dan menangis lagi.
"Mam, mam, mam, mama," begitu kata ibunya mengisahkan Azam. Di bale bambu beratap rumbia di Desa Longa, Eni mengisahkan putranya saat aku menemuinya, Sabtu 4 Agustus 2012. Sementara ia tidak di Topa rumah ibunya. Ia menginap bersama adiknya di Desa Longa, Wangiwangi. Di sana Azam puas makan bubur, puas makan nasi. Aku melihat lincah anak itu dan lucu merangkak dan berdiri di bale-bale bambu, sore itu.
Suara rintihan yang berarti sangat lapar sudah jelas menembus pemukiman. Namun terlalu secret untuk diterjemahkan, butuh analisa mendalam untuk mengartikannya. Apalagi Wa Eni, ibu Azam tak punya keberanian untuk meminta sesuap nasi pada tetangga.
Ibu muda kelahiran 1990 itu berpikir anaknya akan tetap kuat jika mulutnya terus diisi air. Memang hanya air putih yang dipunyai ibu muda itu. Air itu bisa menggembungkan Azam namun tidak bisa memberi energi agar Azam tetap bertahan.
Di tengah rintihan putranya siang itu, Jumat 3 Agustus 2012, Eni mengingat kebun ibunya (koranga) yang di dalamnya tumbuh ubi. Ia segera membopong putranya menuju kebun dan bergegas mencabuti ubi yang diperkirakan bisa dimakan.
Eni berhasil mencabut biji ubi dan membawanya ke rumah untuk dimasak dan dipersembahkan pada putranya. Di tengah perjalanan Azam sudah tak bersuara, ia tenang tak meronta lagi, ia menjadi anak manis, keringat dingin membasahi tubuhnya. Barangkali juga malaikat maut sedang mengusap-usap kepala Azam dan siap untuk menggendong roh sucinya ke alam abadi yang lebih tenang.
Eni membaringkan anak bungsunya setibanya di rumah di Topa. Anaknya terkulai dan lemas, diusap dahinya, dipeluk dan dicium. Azam yang kecil itu terlalu lelap dan tak bisa dibangunkan. Lapar yang sangat itu telah membawanya ke alam mimpi sore itu.
Ibunya mulai khawatir, ia baru menduga telah terjadi sesuatu pada putranya. Bayangkan, terakhir Azam menyentuh makanan pada Kamis malam dan menangis kelaparan pada pukul 10.00 Wita, Jumat 3 Agustus 2012. Ibunya baru akan memasak ubi pukul 04.00 sore. Ia tidur, menangis, muntah, lemas, gemetar, pokoknya semua tanda-tanda lapar ada padanya.
Sudah sangat terlambat untuk balita seusia Azam. "Aku saja jika tak sarapan pagi pasti akan lapar dan gemetar pada siang harinya."
Ia bergegas, ia baru berani untuk meminta pertolongan tetangganya. Ketika itu tubuh mungil membiru, kejang-kejang dan kedua matanya menjadi putih. "Anakku...., anakku..., tolong,....tolong."
Tetangga berdatangan dan melihat balita berwarna biru itu teronggok di lantai ruangan yang tak berwajah. Ruangan tak berlemari bahkan rak, ruangan yang tak berisi, kosong-melontong, di rumah yang tak ada sebutir berasnya itu selama ini Azam mengukir bingkai hari-harinya bersama ibunya.
Azam lahir di Topa, April 2011. Sudah 7 bulan ayahnya merantau ke Kijang tanpa kabar, tanpa kiriman mainan, tanpa kiriman uang, tanpa segalanya. Sepertinya sang ayah sulit mencari sesuap nasi di sana, barangkali ia juga pasrah kepada yang maha kuasa dan siap menjamu malaikat maut jika anak bungsunya kelaparan lagi.
"Tidak ada makanan di rumah. Mamaku (Wambilu) berangkat ke Bacan bulan lalu. Bulan lalu aku diberi uang Rp 300 ribu, saya beli sekarung beras dan berbagi dua dengan adikku," katanya miris.
Beras yang selama ini dimakan campur garam dibasahi air putih itu telah habis. Eni yang tidak lulus SMP itu tidak mempunyai keterampilan untuk menghasilkan uang, juga tidak punya keberanian untuk mengungkapkan penderitaannya. Baginya hidup adalah takdir dan harus dijalani. Bingkai biru yang retak teronggok di dasar Surga Laut Wakatobi. Arti sebuah kekayaan yang melimpah dan Azam lapar di surga nya.
Di Puskesmas Wangiwangi, Azam masih tertidur lelap, terlalu indah dan tak sadar jika jarum impus menusuknya dan ia diberi cairan. Ibunya menunggu di balik dipan menatap wajah indah putra bungsunya yang masih tertidur dalam kelaparan, butiran-butiran beras belum menyentuh lambungnya sejak Jumat pagi.
Masih ada harapan, sebab meski terlambat, Azam mendapat energi dari impus itu. Ia membuka mata pada pukul 02.00 Wita dini hari. Berarti telah memasuki hari Sabtu 4 Agustus 2012. Eni sangat gembira dan menunggu pekikan suara putranya memanggil mama padanya.
"Mam....., mam..., mam," begitu panggil Azam kepada ibunya ketika sadarkan diri. "Dia minta makan pak," kata Eni kepadaku. "Saya langsung ambil bubur pemberian tetangga, kusuapi anakku." Azam makan dengan lahapnya di malam yang tenang itu dan terus mengunyah hingga pagi.
"Dokter bilang kalau terlambat sedikit, nyawanya tidak akan tertolong. Selama tidur nyenyak Azam, kakaknya bersama neneknya di Mandati."
"Tetanggaku bilang, minta saja jangan malu kalau tidak ada makanan," kata eni lugu.
Azam tidak kurus dan tidak gemuk. Ia lincah dan berwajah lucu, menggemaskan. "Perutnya ini buncit karena dia enak makan nasi," kata ibunya.
Eni memang miskin, ditinggal ibunya dan ditinggal suaminya merantau ke Kijang. Anak sulungnya Masrin (3 tahun) dititip pada ibu mertuanya. "Saya tidak akan membiarkannya lagi lapar," kata Eni di akhir perbincangan denganku.
Tetap kuat azam, berjuang untuk hidup jangan mati karena kemiskinan. Sebab meski kelihatannya kau tidak beruntung, sebetulnya masih beruntung sebab kau hidup di Bumi Surga Nyata Bawa Laut Wakatobi.(**)
Yuhandri Hardiman, Wangiwangi
-----------------------------
1 komentar:
Merinding bulu-buluku, dan air mataku berlinang, kemiskinan menimpa rakyatku, masyarakatku, Ya Allah Ampunilah dosaku yang belum banyak berbuat untuk mereka. Kuteringat pada kemiskinan yang menjerat kehidupan masyarakat kampungnku. Longa, begitu kau menderita.
Posting Komentar