Sumiman Udu[2]
A. Pengantar
Sejak masa bergulirnya sistem pemilu langsung, khususnya pemilu untuk kepala daerah dan DPRD, politik lokal di Indonesia memperlihatkan satu fenomena politik yang tampak bertolak belakang: para elit politik saling bersaing sengit, namun sekaligus bekerjasama. Akibatnya, tidak pernah ada oposisi di panggung politik lokal. Ini terjadi karena persaingan dalam pemilu telah menjelma menjadi kerjasama dalam pelaksanaan pemerintahan. Dengan demikian, persaingan antarelit politik lokal dapat dimaknai sebagai situasi yang menegaskan berbagai perbedaan politik mereka demi mengartikulasikan kepentingan kolektif kelompok sosial yang coba diwakili. Perbedaan itu bisa bersifat ideologis atau kebijakan (Kuskridho Ambardi, 2009: 19), khususnya kebijakan yang hanya menguntungkan seseorang atau sekelompok orang saja. Kebijakan seperti ini merupakan konsekuensi perburuan rente yang dilakukan politisi. Di sini perlu ditegaskan, sekali politisi terikat dalam perburuan rente, ia terikat dalam kelompok kartel. Dengan demikian, nasib politik dan ekonominya bergantung pada terpeliharanya kartel itu. Para politisi melihat jabatan-jabatan di eksekutif dan parlemen kerap diprioritaskan sebagai gerbang untuk menjalankan perburuan rente, bukan untuk mewujudkan tujuan politik yang bersifat substantif yakni perjuangan akan kebenaran dan keadilan yang berpihak masyarakat.
Sehubungan dengan itu, Wakatobi yang merupakan wilayah eks-Kesulatanan Buton memiliki dinamika politik local yang sangat kompleks. Karena sejak lama, kultur politik Wakatobi telah terbentuk sejak di zaman Kesultanan Buton. Dalam hubungannya dengan dinamika politik local Wakatobi – Buton pada umumnya telah memiliki system demokratis dalam rangka pemilihan sultannya. Dimana pada masa lalu Kesultanan Buton telah mampu melahirkan pemimpin-pemimpin besar di Nusantara dan bahkan dalam dunia Islam, misalnya Muhamad Idrus Kaimuddin[3] dimana kepemimpinan beliau membawa Buton kepada masa keemasan.
Namun berbicara mengenai dinamika politik local, sejak dulu Buton telah dikuasai oleh actor-aktor politik tradisional yang berbasis golongan bangsawan. kaboru-mboru tolu palena (kumbewaha, tapi-tapi, tanailandu) menjadi tiga kelompok besar dalam memainkan politik local di daerah ekskesultanan Buton, dan sekaligus tiga kelompok inilah yang membuat bangsa Buton jatuh, karena dinamika politik yang begitu kuat diantara elit itu, yang menyebabkan bangsa Buton tidak dapat memilih dan melantik sultannya sampai sekarang.
Di samping itu, Buton sebagai sebuah bangsa dan Negara, juga mengalami dinamika politik yang sengaja dimainkan oleh pemerintah pusat di Wolio, dimana pembagian kekuasaan menjadi dasar bagi terbangunnya dinamika politik yang pada akhirnya tidak dapat diselesaikan lagi oleh bangsa Buton sampai dengan hari ini. Tentunya pemikiran ini, tidak hanya berpikir untuk mereflekasi perjalanan sejarah dinamika politik di negeri ini, melainkan untuk dapat dijadikan pelajaran dalam membangun dinamika politik di Wakatobi saat ini.
Oleh karena itu, dinamika politik di Wakatobi saat ini, tidak akan terlepas dari elit-elit politik (pemerintah, pengusaha, agamawan dan adat). Untuk itu, tulisan ini akan membahas dinamika politik local dan pemilu kepala daerah langsung sebagai ruang pertautan elit politik di Wakatobi. Dengan demikian, tulisan ini menyajikan dinamika politik, pemilu kepala daerah langsung dan keterlibatan elit politik dalam dinamika politik daerah.
B. Dinamika Politik Lokal
Berbicara mengenai dinamika politik local, maka tidak akan terlepas dari beberapa factor, yaitu (1) Mengkaji proses demokratisasi dan perkembangan civil society di tingkat local; (2) Membangun paradigma baru otonomi daerah; dan (3) merumuskan model resolusi konflik di tingkat lokal secara damai. Oleh karena itu, beberapa pertanyaan yang harus dijawab adalah (a) Paradigma baru seperti apa dalam melihat hubungan pusat-daerah?; (b) bagaimana Pola dan kecenderungan konflik di tingkat local?; (c) bagaimana kelembagaan dan hubungan antara lembaga politik di tingkat local?; (d) bagaimana melihat Perkembangan kelompok marjinal di tingkat local?
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dinamika politik local di Wakatobi dapat tinjau secara jernih dengan melihat bagaimana proses demokratisasi dan perkembangan sivil society di Wakatobi? Saya kira, beberapa pemilu kada pasca reformasi, telah terlihat bahwa demokratisasi di Wakatobi masih banyak dinodai, tekanan dan intimidasi oleh actor-aktor politik kita yang tidak bertanggung jawab, politik uang dan penyelewengan lainnya masih saja kita jumpai, terlebih pada pilkada 2004 dan pemilu legislative tahun 2009 yang lalu, masih terlihat banyaknya penodaaan demokrasi. Oleh karena itu, pembangunan demokratisasi di Wakatobi masih perlu dipertanyakan dan ini membutuhkan kesadaran politik dari berbagai pihak, termasuk partai politik.
Kemudian, bagaimana pembangunan civil society di dalam masyarakat Wakatobi, saya kira ini sangat penting dalam pembangunan demokrasi. Sebab pembangunan Wakatobi harus dibangun di atas civil society yang kuat, yang mampu menyampaikan hak-hak politik mereka, terutama ketika partai politik tidak mampu lagi menjalankan amanat masyarakat konstituennya. Apalagi beberapa tahun terakhir, partai politik tinggal menjadi kendaraan kepentingan beberapa kelompok elit dan bahkan dijadikan sebagai tameng bagi para elit politik yang korup. Untuk itu, civil society diperlukan di Wakatobi untuk membangun dinamika politik yang baik di Wakatobi hal ini sebagaimana kekhawatiran Antony Giddens (2002) atas peran-peran partai politik, dan harapan Giddens lahirnya kelompok-kelompok social atau civil society yang mandiri di dalam masyarakat lokal.
Selanjutnya untuk melihat dinamika politik lokal, diperlukan paradigm baru terhadap otonomi daerah. Karena tampa kita membenahi paradigma otonomi daerah, maka politik local kita akan tetap terjebak pada desentralisasi kekuasaan dari elit politik pusat ke tingkat elit politik local. Di sini, politik local akan banyak dipengaruhi oleh kontrak-kontrak politik atau istilahnya Yusuf Solihan sebagai katrelisasi politik di tingkat local. Akhirnya para elit politik local hanya berpikir untuk memperkaya diri dan melupakan tanggung jawabnya dalam mengemban amanat rakyat. Di sini perlunya merumuskan paradigm baru otonomi daerah sesuai dengan konteks hubungan pusat dan daerah.
Belajar dari berbagai hasil pilkada di berbagai daerah, termasuk Wakatobi tahun 2004, konflik local merupakan potensi yang sangat berbahaya jika dibiarkan. Untuk itu, pemikiran untuk meminimalisir atau resolusi konflik harus dipikirkan dengan baik. Sebab tidak menutup kemungkinan dinamika politik local kita akan berdampak pada terjadinya konflik horizontal di dalam masyarakat bawah. Untuk itu, diperlukan kesadaran bagi actor-aktor politik untuk memahami dan meminimalisir isu-isu sara yang dapat menciptakan konflik terbuka di dalam masyarakat.
Melihat realitas dalam sejarah Buton, kamboru-mboru tolupalena[4] tidak dapat melakukan rekonsilasi konflik elit politik Buton, sehingga Buton tidak dapat bangkit sebagai sebuah tatanan yang baik sebagaimana di masa lalu. Dan ini jika tidak diantisipasi oleh, elit-elit politik yang ada di Wakatobi, maka tidak menutup kemungkinan Wakatobi akan gagal mencegah terjadinya konflik di dalam dinamika politik kita. Oleh karena itu, meminimalisr dan rekonsiliasi konflik dalam membangun dinamika politik local di Wakatobi harus menjadi tanggung jawab actor-aktor politik dan terutama partai politik. Karena jika terjadi konflik terbuka, maka Wakatobi akan mengalami kerugian yang sangat besar. Dan tujuan pembangunan Wakatobi sangat susah untuk dicapai.
Dengan demikian, actor-aktor politik (pemerintah dan partai politik, elit ekonomi) sebaiknya sudah saatnya untuk mempelajari pola dan kecenderungan konflik yang akan terjadi di dalam masyarakat Wakatobi. Karena dengan menemukan pola dan kecenderungan konflik tersebut akan memudahkan kita untuk menemukan pola resolusinya di masa yang akan datang. Misalnya saja istilah labu wana labu rope[5] yang menjadi strategi Buton dalam menyelesaikan politik eksternalnya di masa lalu. Itu diambil karena Buton mengenal pola dan kecenderungan serangan yang mengikuti musim angin.
Perkembangan dinamika politik kita juga akan banyak ditentukan oleh factor kelembagaan di dalam masyarakat Wakatobi, misalnya lembaga-lembaga legislative, eksekutif dan yudikatif, serta, agama, adat, dan kelompok-kelompok professional, pengusaha, akademisi, wartawan, mahasiswa dan lain-lainnya. Jika lembaga-lembaga tersebut bekerja dengan maksimal, atau dapat berjalan dengan semestinya, maka kemudian yang perlu lagi dipertanyakan adalah bagaimana gubungan antarlembaga tersebut dalam pembangunan dinamika politik di Wakatobi? Kita khawatirkan ada fungsi-fungsi kelembagaan yang tidak berjalan dengan sebenarnya, misalnya saja legislative dan eksekutif, legislative dan yudikatif, eksekutif dengan yudikatif. Karena jika hubungan lembaga-lembaga ini tidak berjalan dengan semestinya, maka dinamika politik local di daerah ini akan tersendat-sendat, dan dapat sangat berbahaya karena akan terjadi kong kali kong antarlembaga, sehingga akan terjadi banyak hal yang merugikan masyarakat.
Dalam konteks itu baik aspek kelembagaan maupun aspek hubungan antarlembaga tersebut, Wakatobi diharapkan memiliki kelembagaan yang kuat dan memiliki hubungan antarlembaga yang “baik” dalam arti sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Di sini diperlukan ruang kerja sama yang baik, sehingga terbangun dinamika politik local yang diharapkan bersama.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya dalam melihat dinamika politik local adalah perkembangan kelompok marjinal di tingkat local. Dalam hubungannya dengan Wakatobi, apakah kelompok-kelompok marjinal di tingkat local sudah dilibatkan dalam ruang dinamika politik atau belum. Apakah suara mereka sudah masuk dalam agenda pengambilan kebijakan, apakah hak-hak mereka sudah diperhatikan. Jika kelompok-kelompok marjinal dalam suatu kawasan belum tersentuh (hak-hak politik mereka) dalam dinamika politik Wakatobi, maka akan terlihat bagaimana dinamika politik local kita telah gagal. Pertanyaannya adalah Apakah kelompok-kelompok marjinal di Wakatobi sudah diperhatikan atau belum? Jawabannya adalah tergantung cara anda memandang mereka. Namun beberapa hal yang dapat membantu kita untuk memandang keterlibatan kelompok-kelompok marjinal tersebut adalah apakah mereka sudah mendapatkan pelayanan public yang baik? Apakah mereka sudah dapat berdaya? Apakah hak-hak mereka sudah dilindungi oleh pemerintah? Semua ini akan membantu kita dalam memahami keterlibatan kelompok-kelompok marjinal di Wakatobi.
C. Pemilu Kepala Daerah Langsung
Berbicara mengenai pemilu kepala daerah langsung, maka banyak pendapat yang berhubungan dengan itu. Ada yang menganggap bahwa itu adalah ruang yang paling demokratis dalam memilih pemimpin di daerah, karena semua orang berhak untuk memilihi pemimpinnya. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa pemilukada langsung memiliki banyak kerugian bagi pembangunan masyarakat. Hal senada dikatakan oleh Mahfud MD bahwa, “Pemilukada langsung telah merusak moral masyarakat secara massif”. Kemudian ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD meminta pemerintah dan DPR mengkaji lagi sistem pemilihan kepala daerah (Pemilukada) secara langsung. Argumen Mahfud tersebut dilontarkan berdasarkan pada fakta banyaknya sengketa hasil pilkada yang masuk di Mahkamah Konstitusi. “Saya yang punya data di sini, di MK, tampaknya pemilu kepala daerah langsung banyak merusak moral masyarakat,” kata Mahfud MD, di Jakarta, (Maiwanew, Senin 2 Agustus 2010). Menurutnya, dalam sidang sengketa hasil pilkada tersebut, justru terungkap sejumlah kebohongan-kebohongan, teror, kolusi antar pejabat dan calon, serta kolusi antara KPU dan calon.
Meski tidak lebih baik, Mahfud mengusulkan kembali ke sistem lama, dipilih oleh DPRD. “Pemilihan langsung merusak jutaan orang. tapi kalau dipilih lewat DPRD, mungkin kurang. yang rusak hanya 40 orang, DPRD-nya (saja),” jelas Mahfud. Namun kedua model pemilihan tersebut lanjut Mahfud, punya kesamaan, yakni sama-sama tidak melahirkan pemimpin yang baik, karena baik Pemilu kepala daerah langsung maupun dipilih lewat DPRD, sama-sama kolusi.
Mahfud melanjutkan, temuan seperti itu berdasarkan data persidangan, terjadi baik dalam pemilihan gubernur maupun bupati/walikota. “Skala merusaknya sama saja,” kata Mahfud yakin. Karena itu, momentum pembahasan revisi Undang-Undang tentang Politik dinilai Mahfud, sebaiknya membicarakan sistem Pemilukada alternatif pengganti sistem Pemilukada langsung.
Di samping itu, pemilu kepala daerah langsung, telah membuat jejaring social tradisional (potuhan-ntuha) terputus, sepupu satu, dua kali terputus hanya karena beda pilihan. Pada hal itu adalah potensi social kita yang memiliki nilai yang tinggi. Kerja bakti dan gotong royong habis, karena semuanya dinilai dengan uang. Di samping itu, pemilu kada langsung juga adalah ruang pertautan para elit-elit politik, (pemerintah, pengusaha, lembaga adat) untuk melakukan relasi-relasi baru untuk mempertahankan kekuasaanya. Maka lahirlah tawar menawar politik, yang terjadi antarelit politik (pengusaha, tokoh adat, kepada-kepada desa dan calon bupati dan wakil bupati). Jika tetap seperti ini, maka pemilukada bukannya akan menghasilkan pemimpin yang baik, tetapi justru akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang memiliki karakter renter yang bukannya bekerja membangun kesejahteraan masyarakat, tetapi justru pemimpin-pemimpin yang hanya memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompok, dan bahkan banyak mempergunakan keuangan daerah untuk kepentingan pribadi dan politiknya.
Di samping itu, pemilu kada langsung juga memiliki dampak pada upaya-upaya pencitraan dari calon-calon bupati dan wakil bupati, sehingga mereka hanya akan berbicara pada tataran pencitraan dan meninggalkan esensinya tanggung jawab dan pekerjaan mereka sebagai pemimpin. Akibatnya, masyarakat akan selalu dibohongi dan dibohongi. Karena sekali kebohongan, maka akan ditutupi oleh kebohongan yang lain untuk menutup kebohongan itu. Di sinilah, letak untuk kita mempertanyakan dinamika politik local kita dan pemilu kepala daerah langsung.
Persekutuan atau persengkokolan antarelit di dalam pilkada langsung juga akan berdampak pada adanya kong kali kong dalam pembangunan daerah, baik antarlembaga maupun antarpribadi yang merasa berjasa dalam proses pilkada. Contoh kasus, penerimaan CPNS di Kabupaten Muna, berebut hanya karena adanya orang yang merasa berjasa dan jadi tim bupati terpilih, dan itu tidak tertutup kemungkinan terjadi di Wakatobi di masa depan.
Dewasa ini, beberapa daerah termasuk di Wakatobi, kasus pemilu kepada daerah langsung telah melahirkan kondisi sosial politik yang tidak menguntungkan untuk pembangunan Wakatobi, baik bagi pemerintah Wakatobi terlebih bagi masyarakat kebanyakan. Bagi pemenang pemilu kepala daerah langsung di Wakatobi, kepemimpinan pasca pemilukada seakan disandra oleh para tim sukses yang merasa berjasa dan berhak untuk melakukan maneuver atau dendam politik untuk menyengsarakan masyarakat terutama yang tidak sehaluan politik dengan mereka. Beberapa contoh kemudian, guru-guru digoyang dengan dilakukannya rencana roling tempat kerja, yang dilakukan dengan alasan penyegaran, tetapi dikedalaman niatan itu adalah motiv dendam dan sakit hati, akibatnya muncul 400 orang lebih PNS yang akan di pindahkan dari tim sukses.
Jika ini tidak disadari oleh pihak pemenang pemilu kada, maka tidak menutup kemungkinan pemerintah kabupaten Wakatobi akan membawa perahu Wakatobi berada dalam pelayaran yang tersadra oleh tim suksesnya sendiri. Apa artinya ini? Tentunya pemerintahan akan mengalami ketidakpercayaan masyarakat, karena rupanya mereka tidak mampu membebaskan diri dari pengaruh pemilukada yang beberapa bulan telah berlalu.
Pertanyaannya adalah, mungkinkan pilot Wakatobi bisa bebas membawa perahu yang bernama Wakatobi ini kepada suatu tatanan yang dapat mensejahterakan masyarakat Wakatobi? Ataukah para Juragan ini hanya akan menorehkan tinta hitam dalam sejarah Wakatobi? yang jelas anak-anak Wakatobi akan menulis sejarahnya sendiri, bahwa pada tahun tahun pertama perjalanan Wakatobi sebagai sebuah kabupaten pernah lahir sebuah kepemimpinan yang tersadra oleh kepentingan kartel, tim sukses, yang membawanya kepada perwujudan hawa nafsu dan kepentingan kelompok dan bukan pada kepentingan masyarakat Wakatobi secara umum?
Di samping kasusu-kasus yang terjadi di atas, pemilukada juga banyak menghabiskan keuangan Negara. Pada hal kalau uang itu, digunakan untuk kepentingan pembangunan, dana pilkada dapat menyekolahkan ribuan pemuda-pemudi Indonesia ke level S2 dan S3 sehingga Indonesia dapat sejajar dengan Korea Selatan yang angka partisipasinya diperguruan tinggi adalah 90% dari Angka Partisipasi Kasar kelompok usia hanya 18,7%[6]. Dan dapat dibayangkan, kalau dana pemilu kada Wakatobi beberapa tahun yang lalu sebanyak 7 milyar itu dapat digunakan untuk S2 dan S3 bagi sarjana-sarjana Wakatobi ke luar negeri. Pertanyaannya kira-kira berapa kalau dibagi lima puluh juta perorang S2 dan seratus juta untuk S3? Maka kita dapat menyekolahkan 100 master dan 20 orang doctor, baru untuk dana pilkada Wakatobi. Bagaimana dengan pilkada di seluruh Indonesia.
D. Penutup
Untuk meningkatkan dinamika politik local diperlukan beberapa factor yang harus diperhatikan yaitu (1) proses demokratisasi dan perkembangan civil society di tingkat local; (2) Membangun paradigma baru otonomi daerah; dan (3) model resolusi konflik di tingkat lokal secara damai.
Selanjutnya, pemilu kepala daerah langsung, merupakan hal yang ditinjau ulang, karena memiliki banyak dampak negative dalam perkembangan masyarakat, hal ini masih kurang efektifnya beberapa actor politik dan lembaga-lembaga social sebagai suatu kekuatan politik baru di masa yang akan datang.
F. Daftar Bacaan
Giddens, Anthony. 2002. Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakata: PT Gramedia Pustaka Utama.
Zuhdi, Susanto. 1999. Labu Wana Labu Rope: Sejarah Buton Abad XVII-XVIII. Jakarta: Disertasi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Zaenu, La Ode. 1984. Buton dalam Sejarah Kebudayaan. Surabaya: Suradipa.
Zahari, Abdul Mulku. 1977/1978. Sejarah dan Adat Wil Darul Butuni. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Depdiknas.
R Siti Zuhro (editor), 2009. Peran Aktor Dalam Demokratisasi. Yogjakarta: Ombak,.T.B. Bottomore. 2006. Elite dan Masyarakat, Jakarta: Akbar Tandjung Institute,
[1] Disampaikan dalam seminar Regional dan Musyawarah Daerah Se-Sultra Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik se-Indonesia di Aula Hotel Wakatobi tanggal 26 Februari 2011
[2] Dosen FKIP Unhalu – mahasiswa Program S3 FIB UGM 2010 sampai sekarang
[3] Dalam buku Sastra dan Budaya karya Ajib Rosidi dijelaskan bahwa salah satu pujangga besar abad ke 19 adalah Muhamad Idrus Kaimuddin dari Makasar dalam bahasa Wolio (Hlm. 135).
[4] Kamboru-mboru tolupalena merupakan tiga elit buton yang silih berganti merebut kekuasaan (Zahari, 1977/1978)
[5] Bentuk sastra tegi bangsa buton dalam menghadapi pola serangan Goa dan Ternate (Zuhdi, (1999)
[6] Pernyataan Mentri Pendidikan Muh. Nuh di Kompas tanggal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar