Jumat, 03 Februari 2012

Wanianse Bagian 13


 


Oleh: 
Sumiman Udu
Senja itu, suasana pantai di bagian timur pulau wangi-wangi memberikan warna kelam yang pelan-pelan merambat muncul dari tepian laut di arah timur. Angin timur seakan malas bergerak, sementara ombak sangat malas menciumi bibir pantai. Wanianse menatap peristiwa itu, tersenyum, suasana yang indah. Pesisir pantai Wakatobi yang kini dijadikan sebagai daerah tujuan wisata.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri, beberapa anak-anak laki dan perempuan mengisi karung mereka dengan pasir. Mereka berlomba, memngisi karung mereka. Setelah penuh, seorang anak lelaki langsung menuju perbukitan yang tingginya sekitar 10 sampai 15 meter dari permukaan itu. Di benaknya, sudah terbayang enaknya minum es ketika di sekolah besoknya. Ia membayangkan betapa senangnya adiknya Ria menyambutnya di pintu rumah, ketika ia pulang dari sekolah. Ia juga membayangkan temannya Wa Siti yang berdiri menatapnya ketika bibirnya basah dengan es krim itu. Lalu La Udin juga membayangkan, bagaimana ia bisa mengambil selembar uang di sakunya dan memberikanke tangan Wa Siti yang lembut. Ia juga membayangkan, betapa indahnya bibir siti yang manis membalasnya dengan senyum, senyum yang tidak pernah didapatkannya.
“Ini,” sambil tangan La Udin menyentuh tangan siti yang lembut. Imaji La Udin membuatnya ia sudah sampai di pinggir jalan poros tempat pasir itu di timbun. Ia langsung melamparkan karungnya dan berteriak seribu lagi. Ia tersenyum menatap seorang gadis yang mengawasi pasir itu, wakil dari makelar pasir yang ada di Wanci.
La Udin kembali lari ke pantai, masih tetap didapatinya Wanianse berdiri mematung melihat-lihat anak-anak itu. Ia tersenyum, sebab dengan adanya pembeli pasir itu, pisang gorengnya besok akan laris. La Udin akan membeli dua biji, satu untuk dia dan satunya lagi untuk adiknya.
“Betapa tuhan memberikan ini pada orang-orang kampung”, rezki yang perlu disyukuri karena rizki itu telah memberikan harapan untuk anak-anak SD di kampungnya. Juga pada beberapa kepala keluarga yang tidak punya pekerjaan. Atau bahan bangunan gratis bagi guru-guru honorer yang tidak punya jaminan pekerjaan untuk PNS.
“Syukur ya Tuhan, atas segala kemurahanMu ini,” syukur Wanianse dalam hati. Ia juga bergegas untuk membantu anaknya la Ijo yang membutuhkan uang jajan besok, ketika La Udin belanja besok pagi di sekolah. Wanianse juga tidak tega kalau La Ijo tidak menikmati makanan ringan atau minuman di sekolah ketika anak-anak berpesta. Tidak mungkin La Ijo tetap menjadi beban La Udin.
Memang, La Udin anak Sembilan tahun kelas V SD itu sangat baik hati. Atau memang La Udin memahami bahwa uang yang didapatkannya itu merupakan hasil kerja kerasnya tetapi rezki yang disiapkan oleh Tuhan, Pasir yang memang sudah disiapkan Tuhan. Kerikil yang disiapkan tuhan. La Udin, memang baik hati. Selalu membagi-bagikan makanannya, dan terkadang ia tidak mendapatkan bagian.
Wanianse kemudian mengisi Karung itu sampai penuh dan mengangkatnya ke atas kepalanya dan menuju ke atas perbukitan. Di belakangnya la Ijo hanya memikul karuang yang tentunya isinya hanya sekitar empat liter pasir. Kekuatan La Ijo yang selama ini belum mampu untuk mendapatkan uang jajan dari hasil meramu dari alam seperti itu.
Setelah tiba di kampung, Wanianse melaporkan pasirnya dan mendapatkan uang sebanyak Rp.1250 dan La Ijo hanya mendapatkan Rp.200.
“Ini nak”, ia memberikan uang itu pada anaknya setelah melihat mata la Ijo tertuju pada uang La Udin yang sebanyak Rp.10.000, yang terdiri dari enam lembar uang pecahan seribu dan dua lembar pecahan dua ribu.
La Ijo langsung mengambil uang dari tangan ibunya.
“Terima kasih ibu”, ucap La Ijo kepada ibunya.
Berhari-hari situasi itu terjadi dan menjadi bagian dari kehidupan anak-anak kampung di bagian timur pulau wangi-wangi itu. Keesokkan harinya, seperti biasa La Udin menjadi perhatian seluruh penjaja makan di sekolah itu. Di belakangnya selalu diikuti oleh anak buahnya, karena memang La Udin, selain uang jajan hasil keringatnya, ayahnya pegawai kantor desa juga masih memberikan uang jajan kepada La Udin. La Udin menjadi anak yang sangat disenangi oleh teman-temannya, karena suka memberi.
Beberapa minggu kemudian, La Ijo meminta uang jajan kepada ibunya Wanianse.
“Mama, saya mau beli pisang sebentar.”
“Tidak ada uang Nak, jawab ibunya. La Ijo menangis kemudian Wa leja juga ikut meminta uang jajan untuk jajannya di TK.
Wanianse sangat panic, karena ia tidak punya uang untuk jajan anak-anaknya. Untuk uang makan, kiriman suaminya bulan lalu, hanya untuk bayar sekolah dan persiapan makannya sampai satu atau dua bulan ke depan. Wanianse harus menyiapkan betapa gawatnya kalau suaminya yang kerja di Malaysia tidak sempat mengirim.
“Mau utang pada dana Perak yang pernah di dengarnya saat rapat desa, karena syarat-syaratnya tidak mungkin. Ia juga berpikir bahwa, tidak mungkin diberikan oleh pemerintah karena ia tidak peduli dengan calon sewaktu pemilu dulu. Jadi tidak mungkin mendapatkan itu.
Di saat Wanianse pusing memikirkan tentang sumber uang untuk jajan anak-anaknya, tiba-tiba La Udin dengan beberapa orang temannya naik dari pantai dengan karung di tangan. Tubuh mereka penuh dengan pasir, mata mereka sesekali menoleh ke belakang, terus mereka mau lari. La Udin menangis.
Melihat itu, Waniase bertanya pada La Udin, “mengapa kau menangis Udin?” tanya Wanianse.
“Kami di kejar”, jawab La Udin panic. Diikuti oleh teman-temannya. Mata mereka menoleh lagi ke belakang, ke arah pantai. Wanianse mengikuti arah mata anak-anak itu, tiba-tiba ada dua orang berbadan tegap yang tidak berani lagi mengejar La Udin dan teman-temannya karena La udin lari ke kampung. Dua polisi PP itu tinggal mengancam dari jauh.
“Awas ko, jangan lagi mengambil pasir,” teriak salah seorang berbadan tegap itu.
La Udin tambah panic, Karena ia baru saja ditampeleng di kepalanya ketika ia mempertahankan karungnya, ketika pasir yang sudah setengah karung itu mau ditumpahkan oleh salah seroang dari byang berbadan tegap itu.
“Mengapa kami di larang mengambil pasir? Tanya La Udin pada lelaki itu.
“Ini sudah dibeli, kemarin sudah dibayar sama bos, jadi kalian mulai sekarang tidak dapat lagi mengambil pasir di sini, jawab salah seorang suruhan Bos itu. Itu ‘kan kaluku sara kata bapakku. Siapa yang jual? Tanya La Udin, kritik.
“Jangan banyak bicara,” ancam lelaki itu lagi, dengan matanya dan seketika tangannya melayang ke kepala La Udin.
“Iya, tapi siapa yang beli?” jawab dulu pertanyaannku.
“Bos,” kau tidak tahukah, ko mau dibeli dengan badanmu itu bisa, karena ia itu penguasa di sini. Bapakmu juga bisa pindahkan ke Binongko, Mau? Ancam lelaki yang lain.
“Ingat ya, mulai sekarang kalian tidak boleh lagi mengambil tanah di sini, sudah akan dijadikan sebagai Resort. Kalau sudah dijadikan Resort, maka pantai ini akan dipagar.
“Heh, jadi kami mau main-main dimana?” tanya La Udin sambil menatap teman-temannya.
“itu urusanmu,” jawab lelaku itu. “Kami juga hanya digaji untuk menjaga pantai ini.
“Udin, jadi kita mau mencari uang dimana, kalau pantai sudah dibeli bos, kebun tempat kerikil dan batu sudah dibeli Bos, bagaimanami itu Kak Udin, tanya Roy yang baru kelas III SD.
“Bagaimana, Bagaimana? Seolah ulang pembelian tanah itu menghilangkan uang jajan, tempat bermain, kepala muda, semuanya telah hilang. Roy teringat pada perahu-perahunya yang disimpannya di Gua di pantai. Tidak bisa lagi kita bermain? Hebat sekali orang yang mampu membeli pantai.
“Ngomong-ngomong, berapa harganya dibelikah pak? Tanya Udin sama dua orang lelaki itu. Sementara Wanianse hanya tertegun, dan dibenaknya, kasian anak-anaknya, Udin dan teman-temannya.
“Hehehehe, berani sekali ini kau Nak, siapa namamu? Tanya seorang lelaki itu.
“La Udin, memangnya kenapa? Mau melaporkan saya sama Bosmu? Hehehe, jangan-jangan saya tidak diberi kesempatan untuk sekolah. Hehehe, paling-paling saya tidak sekolah, pikir La Udin.
Wanianse tertegun, mendengarkan bahwa pantai di depan kampungnya sudah dibeli oleh salah seorang pejabat sekaligus pengusaha itu. “Hebat sekali orang ini, kebun-kebun sudah habis dibelinya, hutan dibelinya, pantai dibelinya. Semua, hebat sekali penguasa itu”, pikir Wanianse.\
Saat hening itu, dua lelaki itu pergi menuju mobil berplat merah. Mereka menuju ke mobil, sementara mata Wanianse, Udin dan kawan-kawan mengikut dua punggung yang tegap itu. “Mereka telah mengambil masa depan kita, tempat kia bermain. Dimana kita mau simpan sampan kita? Dimana kita mau lewat kalau mencari lei, kawu atau kawoi-woi, La udin juga membayangkankan betapa senyum Wa Siti yang akan sirna besok di sekolah, Karena Udin tidak mampu memberikan hasil ramuannya di pantai yang disediakan oleh Tuhan.
Besok paginya, La Udin ke sekolah. Mereka bertemu dengan teman-temannya, dan La Udin bertanya, bagaimana kalau kita mengambil pasir pada malam hari?” tanya La Udin pada teman-temannya. Malamnya, La udin dan teman-temannya memanfaatkan bulan purnama untuk mengangkat pasir dari pantai. Setiap malam La Udin dan kawan-kawannya selalu mengangkat pasir, juga beberapa orang tua yagn tidak punya uang ikut bersama rombongannya La Udin. Dan suatu malam, datanglah mobil dengan diikuti oleh beberapa orang utusan Bos datang, dan langsung menanhan beberapa anak-anak itu. Mereka langsung tertangkap bersama orang-orang tua ini.
“Kau Lagi, mengapa kau mencuri pasir?” tanya salah seorang polisi yang menahan La Udin, Roy dan teman-temannya.
“Saya tidak mencuri, inikan pantai kami, tempat kami dilahirkan”, jawab La Udin.
Polisi itu langsung mengangkat La Udin dan diseretnya ke kampung menuju mobil. Lelaki tegap itu teringat pesan Bosnya, “Kalian harus memberikan pelajaran pada masyarakat kampung itu,” mereka harus tahan, agar menjadi pelajaran. Tuduhannya adalah “KASUS PENCURIAN PASIR”, tangkap semua, ibu-ibu, anak-anak ataupun bapak-bapak. Tahan, saya sudah beli pantai itu dengan harga dua ratus Juta rupiah. Dan itu sah.
Tersiarlah bahwa La Udin dan teman-temannya yang mengambil pasir malam itu di kantor polisi. Seluruh kampung panic dan kasihan pada anak-anak itu. Orang-orang tua berkumpul, kita harus bagaimana? Tanya beberapa orang tua.
“Udin, Udin, anak yang sebaik itu harus di tahan, belum cukup umur.” Ucap salah seorang ibu dari belakang.
“Begini, kita harus tanyakan pada sara siapa yang menjual tanah ini. Mereka harus bertanggung jawab atas penjualan tanah ini. Maka rapatlah, dengan dipimpin oleh kepada Desa.
Di Kantor Polisi, Udin di siksa, bapak-bapak itu, dipukul, anak-anak menangis, sementara orang tua dilarang untuk menjenguk malam itu. Udin menangis, temannya Roy juga menangis. Dalam sedihnya Udin, termenung, mengutuk perilaku Bos yang membeli pantai tempat tumbuhnya ubi, pantai tempat mereka bermain, dan sumbur uang untuk membeli pisang goring untuk Wa Siti dan Adiknnya. Kurang Ajar Bos itu, mengapa orang-orang kampung tidak bisa melawan? Udin juga teringat pada mahasiswa yang berasal dari kampungnya, yang pernah bercerita berapi-api? Udin, kemudian berpikir, saya sudah injak penjara, maka saya sudah harus memperjuangkan pantai milik umum itu untuk dikembalikan pada anak-anak kampung itu. Itu tempat bermain kita.
Di rumah, Wanianse bersama dengan seorang ibu tetangganya membicarakan soal penangkapan La udin, anak yang baik, anak yang rajin dan anak yang menyayangi adik-adiknya, kasihan orang itu. Di Pos Bapak-Bapak di kampung itu, duduk memikirkan tentang kasus itu. Begini saja, besok malam kita semua laki dan perempuan harus turun ke pantai untuk mengangkat pasir, agar kita dapat memberi uang sogok sehingga Udin dan teman-temannya dapat dibebaskan.
“Eh, bos akan memenjarakan mereka,” jawab yang lain.
Mendengar itu, salah seorang anak muda mendukung pemikiran kepala pemuda itu. Dan besok malamnya, laki perempuan, tua dan muda mengangkat pasir dari pantai yang sudah dibeli Bos tersbut. Dibenak mereka, semoga datang anak buahnya bos, agar kita ditahan semua. Saya kira lebih baik kita ditahan daripada mati secara pelan-pelan, tanah-tanah kebun kita sudah dibelinya, pantai sudah dibeli lagi.
Kita membutuhkan kebersamaan dan persatuan untuk mengmbil kembali tanah-tanah kita, kita harus melawan bentuk penjajahan seperti ini. Sebab kalau ini dibairkan terus, maka tanah di kampung kita ini akan habis di beli oleh Bos. Kita harus mempertahankan tanah-tanah ini, karena ini adalah harga diri kita, ikatan kekeluargaan kita, sara kita. Kita harus merebut kembali, walaupun itu darah, karena kalau seluruh lahan kita sudah dibeli, kita tidak punya pekerjaan, berarti kita suatu waktu akan lapar dan menjual lagi laahan kita, akhirnya kita harus berangkat dan tidak usah lagi berpikir untuk pulang ke tanah tumpah darah ini, karena semuanya sudah dibeli.
“Lawan!” teriak salah seorang anak muda. Kita harus mengajak di kampung sebelah agar mereka juga merebut kembali tanah-tanah sara dan keluarag yang telah dibeli oleh Bos dan orang-orang yang menginginkan kemiskinan kita ini.
Di Sel Tahanan, Udin sangat dingin, namun di tengah dinginnya itu, ia mengucapkan bakar, bakar, bakar, bakar. Dan berterik Bakar, sehingga penjaga sel datang dan menatap La Udin.
Bersambung…….


1 komentar:

Dahlan Dahi mengatakan...

Tambahan info dan foto soal Wakatobi.

http://www.dahlandahi.com/search/label/Wakatobi