(Suara Keprihatinan dari Negeri Kincir Angin)
Oleh: Sumiman Udu
Memasuki bulan September-Oktober di Negeri Belanda berarti memasuki musim gugur. Sepanjang jalan-jalan Kota Leiden kelihatan menguning. Semua tumbuhan secara alamiah akan mengapdatasi dirinya karena sudah memasuki awal musim dingin. Seluruh negeri kincir angin ini seolah memasuki masa kematian, daun-daun berguguran, tumbuhan-tumbuhan mulai meranggas dengan batang yang dingin seperti es. Kanal-kanal dan jalan-jalan penuh dengan daun yang gugur pula. Namun pemandangan itu, hanya sebentar karena petugas pembersihan akan terusik dengan suasana ini. Mereka datang melenyapkan itu semua dalam sekejap.
Hampir semua pinggir-pinggir kanal dipenuhi oleh orang-orang yang berjemur, menikmati sinar matahari walau suhu sudah mulai dingin, dimana di siang hari di bawah sepuluh derajat Celsius dan di malam hari suhu sudah hampir mendekati nol derajat. Sinar matahari yang kelak akan susah didapatkan ketika musim salju nanti. Suasana yang tidak akan mungkin kita saksikan di kota-kota di Indonesia. Mereka duduk menikmati minuman dan makanan ringan di bawah terik matahari tepat di siang atau sore hari.
Di tengah hawa dingin, yang memaksa tumbuhan menggugurkan daunnya tersebut, tidak demikian dengan budaya mereka. Masyarakat Belanda tetap berupaya untuk mempertahankan bahasa mereka sebagai identitas budaya mereka di tengah serbuan bahasa-bahasa global, terutama Bahasa Inggris. Walaupun kebanyakan masyarakat Belanda memahami atau dapat menggunakan bahasa Inggris, tetapi ketika Anda berjalan-jalan di sepanjang jalan di negeri kincir angin ini, terutama di Kota Leiden, maka Anda akan menyaksikan berbagai tulisan di sepanjang jalan dan toko-toko kota Leiden tulisan yang berbahasa Belanda. Tidak satu pun yang berbahasa Inggiris
Musim gugur yang datang silih berganti pada setiap tahunnya, tidak menggugurkan identitas masyarakat Belanda yaitu bahasa mereka. Ini akan berbeda dengan jika Anda berjalan-jalan di kota-kota di Sulawesi Tenggara dan Indonesia pada umumnya. Di tengah musim hujan yang memungkinkan tumbuhan tumbuh subur, tetapi Identitas budaya kita berguguran melalui bahasa-bahasa Iklan, nama-nama hotel dan nama-nama lembaga yang tidak cukup percaya diri kalau hanya ditulis dengan bahasa Indonesia. Mata anda akan banyak menyaksikan berbagai iklan dan nama hotel yang bertuliskan bahasa Inggris. Seolah kita tidak percaya diri dan modern kalau kita masih menggunakan bahasa Indonesia.
Dan anehnya, tidak satupun dari masyarakat Indonesia yang merasa kehilangan atas bencana kebudayaan tersebut. Bencana kebudayaan yang masuk melalui rasa tidak percaya diri di setiap pemikiran generasi, yang dipancarkan pada nama-nama toko, iklan dan lembaga, serta berbagai brosur yang menggunakan bahasa Inggris. Bencana kebudayaan yang menggerogoti mentalitas kita sebagai seorang Indonesia yang memiliki kekuatan dan identitas sebagai sebuah bangsa. Sebuah bangsa yang memiliki identitas yang sejak awal berdirinya negara ini telah diikrarkan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara.
Ini, tentunya sangat berbeda dengan masyarakat Belanda yang tetap percaya diri mempertahankan bahasa Belanda sebagai identitas dan bahasa Negara. Walaupun hanya berjarak puluhan kilo meter dengan pusat Kerajaan Inggris, tetapi Identitas mereka tidaklah gugur bersama daun-daun yang tumbuh di atas tanah negeri kincir angin ini. Identitas mereka tetap dipertahankan dalam berbagai tulisan yang ada di kota Leiden. Jangan anda berpikir bahwa anda akan menemukan satu nama toko dan iklan serta brosur-brosur yang ditulis dalam bahasa Inggiris, tetapi semuanya dalam bahasa Belanda, suatu rasa percaya diri yang harus ditiru oleh bangsa kita.
Selanjutnya, kalau perjalanan Anda dilanjutkan memasuki toko-toko buku yang sangat banyak di negeri Belanda, di situ juga akan mengherankan Anda, karena mencari buku berbahasa Inggris pun sangat susah. Karena ternyata negara mereka memiliki kainginan untuk menerjemahkan seluruh buku-buku dalam bahasa-bahasa asing (Inggris) ke dalam bahasa Belanda. Semua buku baru diterjemahkan kedalam bahasa Belanda. Saya membayangkan, andaikan kantor bahasa di Indonesia itu memiliki tugas untuk menjaga ketahanan bahasa itu dengan program penerjemahan buku-buku bertaraf internasional, ke dalam bahasa Indonesia, sehingga pelajar-pelajar kita, mahasiswa kita, guru-guru kita memiliki kesempatan untuk menikmati informasi yang berkualitas dalam bahasa Indonesia.
Andaikan saja, semua buku-buku berkualitas itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka masyarakat Indonesia akan bangga dengan bahasa mereka, identitas mereka. Guru-guru akan mengajar dengan informasi muktahir yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengtehuan di negeri lain. Mahasiswa akan berdiskusi dengan memahami teori-teori mutahir dalam membuat tugas-tugas dan laporan-laporan penelitian mereka. Mahasiwa tidak akan disibukkan dengan uang terjemahan yang tingginya selangit, dan hasil terjemahan pun belum tentu dapat menjangkau substansi isi buku, karena penerjemah hanya pintar berbahasa inggiris, tetapi tidak memiliki keahlian di bidang ilmu tertuntu. Saya pikir, bangsa kita mesti merancang agar idnetitas kebangsaan dan kenegaraan kita tetap bertahan di dalam berbagai musim, sebagai mana kebudayaan (identitas) bangsa Belanda yang tetap bertahan walau di musim gugur atau bahkan di musin salju sekali pun.
Suatu yang ironi, negara kita dengan kekuatan Sumber daya alam dan sumber daya budaya yang begitu kuat dan besar, tetapi memiliki mentalitas seperti pohon-pohon yang menghadapi musim dingin di negeri kincir angin ini. Rasa percaya bangsa kita, berguguran ketika berhadapan dengan hasil-hasil teknologi canggih yang menggunakan bahasa Inggiris, bangsa (pemerintah) kita tidak cukup memiliki filter yang memaksa seluruh produsen untuk menerjemahkan buku petunjuk produk mereka ke dalam bahasa Indonesia sebagaimana kita temukan di negeri Belanda. Di negeri kincir angin ini, tidak satupun buku petunjuk teknologi yang beredar di negeri Belanda yang menggunakan bahasa Inggris, tetapi mereka menggantinya dengan bahasa Belanda. Seolah ada kebijakan dari pemerintahan mereka terhadap buku petunjuk dari setiap teknologi.
Mungkinkan kita masih punya ruang untuk mempertahankan kebudayaan kita, walaupun itu hanya dalam bentuk doa, yang dalam keyakinan orang timur, doa merupakan upaya terlemah dari setiap upaya untuk mencegah kekalahan budaya. Berdoalah, dan berharaplah semoga musim gugur itu, tidaklah terjadi di Indonesia, sebab jika musim itu terjadi, maka musim gugur itu akan membawa malapetaka dalam kebudayaan kita, terutama identitas kebangsaan dan kenegaraaan kita sebagaimana yang diamanatkan oleh Sumpah Pemuda dan UUD 1945. Identitas kita mungkin saja akan gugur bersama daun-daun itu, tanpa musim gugur saja, identitas kebangsaan kita sudah tidak terlihat sebagai kebanggaan, ketika menulis iklan dan brosur dengan menggunakan bahasa Inggris. Semoga di masa depan, kebudayaan bangsa kita tetaplah tegar di tengah silih bergantinya musim. Dan kebudayaan kita tak gugur bersama musim gugur, sebagai bangsa Belanda yang tetap mempertahankan bahasa mereka walaupun di tengah musim gugur sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar