Oleh: Sumiman Udu
Berbicara mengenai kabanti, masyarakat Wakatobi akan teringat dengan nama La Ode Kamaluddin. Siapapun masayarakat Wakatobi, pasti mengetahui La Ode Kamaluddin (La Kamalu) sebagai penyanyi kabanti. Oleh karena itu, untuk melengkapi tulisan tentang kabanti tersebut, maka perlu satu bagian dalam penelitian ini yang mesti membahas La ode Kamaluddin.
Masa Kecil
Sejak kecil, La Ode Kamaluddin tumbuh dalam keluarga yang miskin. Ayahnya yang buta, menjadi salah satu aspek yang membuat keluarga ini menjadi miskin. Mereka tidak mengenyam pendidikan pendidikan yang tinggi. Ia bersaudara beberapa orang, dan semuanya tinggal di rumah gantung yang kecil, beratapkan daun kelapa dan berdindingkan daun kelapa pula.
Lahir di keluarga yang miskin tersebut, membuat La Ode Kamaluddin tidak kehilangan bakatnya sebagai seseorang yang mencintai kabanti. Ia dapat memainkan berbagai jenis musik yang dapat mengiringi kabanti. Kondisi fisik ayah La Ode Kamaluddin (La Ode Mbari) yang buta tidak menghalanginya untuk menjadi pemain gambus. Fisik ayahnya inilah yang memberikan kesempatan yang begitu besar untuk berhubungan dengan alat musik. Hampir setiap hari ayahnya memainkan alat musik gambus dan biola.
Bakat genetic inilah yang melatari kemampuan La Ode Kamaluddin sehingga ia pada akhirnya identik dengan kabanti. Perjalanan hidupnya selalu bersama dengan kabanti. Bahkan menurut La Ode Taufik, ayah La Ode Kamaluddin memiliki kemampuan supranatural untuk mengajarkan kabanti. Dengan meniup tangan muridnya, maka murid yang tidak tahu bermain gambus, dengan cepat akan mampu memainkan alat musik[1].
Memasuki masa-masa remaja, La Ode Kamaluddin mengalami banyak kendala dalam memperoleh alat-alat musiknya. Namun kegemarannya untuk memainkan musik membuatnya nekat untuk mencuri kayu rita dari kebun salah serang tetangganya. Ceritanya begini, “Suatu waktu saya pergi ke kebun untuk mencari kayu untuk gambus, tetapi karena di kebun tidak ada kayu yang cocok, maka aku melihat sebuah pohon rita di kebun orang, maka saya pun langsung menebang kayu tersebut, lalu akan memotongnya kemudian aku memikulnya ke tempat tukang kayu untuk diolah menjadi gambus.
Beberapa hari kemudian, La Ode Kamaluddin ditemui tetangganya perihal kayu yang ditebangnya di kebunnya tersebut. Tetapi setelah tetangga tersebut mendengarkan musik gambus yang dimainkan oleh La Ode Kamaluddin, maka tetangga itupun sudah mengikhlaskan kayu yang diambil oleh La Ode Kamaluddin, ia mengatakan bahwa, “Seandainya kayu itu kau gunakan untuk hal lain, maka saya akan marah padamu, tetapi karena untuk alat musik ini, maka saya tidak perlu marah karena saya juga senang mendengarkan musik gambusmu[2].
Maka sejak La Ode Kamaluddin memiliki alat musik itu, ia pun sudah mulai rajin memainkan alat musik itu. Maka mulailah La Ode Kamaluddin ke mana-mana di panggil oleh masyarakat. Mulailah ia dipanggil untuk menghibur orang-orang yang sedang minum arak. Dengan upah, satu cergen lima liter arak ia mendapatkan uang sebesar lima ribu rupiah. Maka mulailah La Ode Kamaluddin terkenal di seputaran Wanci.
Sehubungan dengan jasa La Ode Kamaluddin yang selalu dipakai oleh orang-orang yang minum atau sedang bersilaturahmi, salah seorang tokoh masyarakat Wakatobi yang juga senang terhadap kabanti mengatakan bahwa, “Saya dan teman-temanku dulu selalu memanggil La Ode Kamaluddin untuk menyanyi ketika kami bertemu dengan teman-teman”[3]. Dengan demikian, La Ode Kamaluddin sejak dulu telah hidup dan menghidupkan dengan kabanti di dalam masyarakat pendukungnya.
Sejak ia selalu dipanggil untuk menghibur orang-orang, maka lama-kelamaan tersebarlah informasi ke beberapa desa tentangga akan keahlian La Ode Kamaluddin dalam memainkan musik dan menyanyikan kabanti. Maka mulai saat itulah didirikan group musik yang dipimpin oleh La Damali yang mampu bertahan beberapa tahun.
Jatuh bangunnya groop musik yang dibangun oleh La Ode Kamaluddin sedikit banyak dipengaruhi oleh tuntutan kebutuhan hidup. Kehidupan yang miskin membuatnya harus meninggalkan profesinya sebagai seniman dan ia harus meninggalkan kampung halaman ke rantau. La Ode Kamaluddin harus berangkat ke pulau Seram di Kepulauan Maluku untuk mencari pekerjaan di sana. Maka untuk sementara ia tidak dapat aktif di group bennya.
Sesampai di pulau seram, kesepian membuatnya tidak dapat berdaya. Kerinduan pada teman-temannya, kampung halamannya, group bennya, memaksa La Ode Kamaluddin untuk membuat gambus lagi dari kayu. Karena tanpa gambus, ia tidak akan sempurna menyanyikan teks-teks kabanti. Beberapa hari ia harus membuat gambus itu. Dan setelah ia membuat gambus, maka mulailah ia melantunkan teks-teks kabanti di rantau. Karena ditunjang oleh bakat seni yang tinggi dan penampilan serta wajah yang begitu gagah, maka ketika ia memainkan musik gambus untuk menghibur dirinya dari kegetiran hidup di rantau orang. Pada saat yang bersamaan pun ia sekaligus mendapatkan cinta dari seorang perempuan yang memang jatuh cinta atas suara musik kabantinya yang indah.
Masa-Masa Berkarya
Sebagai seorang seniman, La Ode Kamaluddin mengalami pasang surut perkembangan dalam hidupnya. Ketidakmampuan secara ekonomi, menyebabkan La Ode Kamaluddin menjalani profesi sebagai musik panggilan. Ia akan selalu dipanggil untuk menyanyi di setiap teman-temannya minum arak[4]. Di samping menghibur di tempat itu, La Ode Kamaluddin juga biasa dipanggil oleh masyarakat untuk menghibur masyarakat di tempat pesta. Satu malam menyanyi biasanya dihargai dengan uang lima puluh ribu sampai dengan seratus lima puluh ribu rupiah[5].
Perkembangan berkaryanya mulai dari penyanyi panggilan tersebut, kemudian mereka membantuk grop musik di bawah pimpinan La Damali. Beberapa tahun berkarya di dalam grom musik itu, akhirnya La Ode Kamaluddin merantau ke mana-mana, di tempat perantuan ia juga tetap berkarya dan juga membuat group-goup musik baru di perantauan.
Menjalani hidupnya sebagai seniman di tengah masyarakat yang belum mapan secara ekonomi memang sangat sulit. Mengharapkan panggilan teman-temannya yang minum dan panggilan masyarakat yang membutuhkan hiburan di tempat pesta juga tidak menjamin untuk kehidupan seorang seniman seperti La Ode Kamaluddin. Akibatnya, ia menjalani kehidupan petani dan belakangan setelah motor menjadi alternatif hidup yaitu hiduplah La Ode Kamaluddin sebagai tukang ojek. Dalam kehidupannya sebagai tukang ojek inilah, ia banyak berkarya, karena sepuluh tahun terkahir ini, ia menjalani hidup sebagai pemain orjen. Ia pindah-pindah orjen atau tidak menetap pada satu orjen, tetapi dia dipanggil sebagai penyanyi maupun sebagai pemain orjen.
Dapat dikatakan bahwa ia menjalani bakat dan keahliannya sebagai seniman ini dalam kondisi yang sulit. Lama kelamaan, maka La Ode Kamaluddin berkenalan dengan Kausiri seorang pengusaha asal Wanci yang bertempat tinggal di Surabaya. Maka sejak itulah, La Ode Kamaluddin banyak melakukan penggubahan lagu-lagu yang berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Wakatobi. Sehingga nyaris saja ia dituntut oleh produsen kaset yang arasemen musiknya dibajak.
Tidak berhenti di situ, ia mulai menggubah lagu-lagu Wanci (Wakatobi) dengan arasemen sendiri[6]. Maka beberapa tahun yang lalu kaset-kaset tape La Ode Kamaluddin meledak di kalangan orang Wakatobi, baik yang ada di Wakatobi maupun yang berada di luar Wakatobi, seperti di kepualaun Maluku, Papua dan bahwa masyarakat Wakatobi di sebalah barat Indonesia yaitu mereka yang menetap di daerah Jawa, Tanjung Pinang serta beberapa daerah komunitas masyarakat Wakatobi di luar negeri, yaitu Malaysia dan Sinagapure.
Di samping membuat arasemen musik kabanti dalam bentuk musik dangdut, ia juga melakukan arasemen musik kabanti dengan menggunakan alat musik biola dan gambus. Karya-karyanya yang berhubungan dengan musik kabanti ini yang pada akhirnya pada festival Asosiasi Tradisi Lisan menyelenggarakan kegiatan di Jakarta tahun Desembar 2007 yang lalu, atas bantuan pemerintah kabupaten Wakatobi, ia dan kakaknya mampu mementaskan kabanti dengan irama musik gambus di dalam acara internasional tersebut.
Akibatnya, La Ode Kamaluddin semakin di kenal oleh pemerintah daerah. Maka sejak tahun yang lalu, ia sudah dipekerjakan di kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wakatobi. Dulunya La Ode Kamaluddin bekerja sebagai tukang ojek di Wakatobi.
La Ode Kamaluddin dan Tradisi Lisan Kabanti
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa “Dialah seorang pahlawan” dalam menghidupkan kembali tradisi lisan Wakatobi. Betapa tidak, di tengah serbuan berbagai musik modern yang kemas dalam berbagai media. Tetapi berkat gambus dan biolanya, generasi muda Wakatobi masih tetap menikmati kabanti sebagai warisan leluhurnya. Memang, di dalam masyarakat masih tetap ada masyarakat yang melantunkan kabanti sebagai pengantar tidur, tetapi itu akan mulai tergeser oleh hadirnya musik-musik baru. Musik impor bagi masyarakat Wakatobi.
Sebelum terlalu jauh kita membahas keberadaan La Ode Kamaluddin, perlu kita mengenal orang-orang Wakatobi yang memiliki jasa dalam mempopulerkan kabanti, antara lain La Ode Umuri Bolu, La ode Adili (Album apa? Tahun berapa?), La Huudu, La Pedu, La Mbongo dan lain-lain. Sementara di dalam tradisi bue-bue[7] mereka yang masih tetap bertahan dalam melantunkan kabanti adalah Wa Bedja, Wa Yai, Wa Radi, Wa Ina Nii, Wa Sule, Wa Siti, dan beberapa ibu-ibu usia tua.
Dalam karyanya Hune dan Wa Nianse La Ode Umuri Bolu mengisahkan kisah cintanya di masa kecil. Kisah cinta itu digubahnya dalam bentuk kabanti dengan arasemen musik kabanti modifikasi. Kemudian La Ode Adili, juga meluncurkan albumnya dengan mencampurkan arasemen musiknya yakni sebagian lagunya berlirikan kabanti dan sebagain lagi menggunakan arasemen musik dangdut modern.
Sementara La Huudu, La Pedu dan La Mbongo yang sampai hari ini juga masih tetap aktif sebagai penyanyi kabanti mereka belum mengeluarkan satu album pun, walaupun musik-musik mereka hampir memenuhi nada dering telepon genggam masyarakat Wakatobi. Banyak rekaman-rekaman melalui hand phone ketika La Mbongo dan La Huudu melantunkan kabanti. Mereka juga tetap memiliki andil dalam rangka menjaga kelestarian kabanti di dalam masyarakat Wakatobi.
Keterlibatan masyarakat Wakatobi dalam mempertahankan tradisi lisan kabanti untuk tetap eksis di dalam masyarakat sangat besar, tetapi ke hadiran tokoh-tokoh tradisi lisan kabanti tersebut tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan La Ode Kamaluddin sebagai penyanyi kabanti. Karena di tengah-tengah serbuan musik modern, ia tetap konsentrasi dalam mengembangkan musik-musik kabanti. Terkadang juga La Ode Kamaluddin berperan sebagai penggubah musik-musik yang berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Wakatobi atau bahasa Kepulauan Tukang Besi.
Dalam kehadirannya sebagai pewaris dan penyelamat tradisi lisan kabanti, La Ode Kamaluddin telah berjasa dalam mempopulerkan kabanti kepada generasi baru Wakatobi dan dunia internasional. Ia telah menyanyikan kabanti dari satu pesta ke tempat pesta yang lain, dari tempat paradaka ke tempat paradaka yang lain. Ia melantunkan kabanti dari waktu ke waktu.
Puncak karyanya dalam mempopulerkan kabanti, adalah ketika menyanyikan kabanti dalam Vestifal Tradisi Lisan Nusantara yang diselenggarakan oleh Asosiasi Tradisi Lisan di Taman Ismail Marzuki tahun 2007 yang lalu. Kemudian ia kembali sosialisasikan tradisi lisan kabanti di acara yang sama pada tanggal 1 – 3 Desember 2008 di Kabupetan Wakatobi.
Kehadiran La Ode Kamaluddin di kancah vestifal tradisi lisan internasional ini, memungkinkan kabanti dapat masuk sebagai salah satu kesenian teradisional yang ada di dunia. Oleh karena itu, La Ode Kamaluddin sebagai pewaris dan penyelemat musik tradisional kabanti perlu mendapatkan apresiasi yang baik dari pemerintah. Karena beliaulah yang menjadi salah satu pewaris dan penyelamat musik tradisi di tengah serbuan budaya global.
Menyikapi prestasi La Ode Kamaluddin tersebut, Pemerintah Kabupaten Wakatobi melalui Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata kabupaten Wakatobi, mengangkat La Ode Kamaluddin dan kakaknya sebagai tenaga harian di dinas tersebut. Dengan demikian, pemerintah kabupaten Wakatobi memiliki perhatian positif dalam rangka pengembangan kabanti sebagai salah satu roh kesenian yang ada di dalam masyarakat Wakatobi.
Tentunya, apresiasi itu belum cukup untuk seorang La Ode Kamaluddin, karena prestasi beliu harus diapresiasi oleh dunia inernasional dengan memberikan kepada beliau gelar Maestro Kabanti, yang tentunya akan setara perhatian dunia terhadap kabanti sebagai bagian dari kesenian dunia yang tidak kalah dengan kesenian yang lain yang ada di dunia.
Bahkan sejak tahun 2008 yang lalu, pemerintah kabupaten Wakatobi telah merencanakan pembangunan gedung kesenian yang rencananya akan dilatih oleh mereka yang berbakat seperti La Ode Kamaluddin. Ini semua perlu mendapatkan apresiasi dari masyarakat Wakatobi, karena pemerintah daerah kabupaten Wakatobi telah mengeluarkan dana miliyaran rupiah untuk pengembangan kesenian di dalam masyarakat Wakatobi yang menjadikan Dinas Kebudayan dan Pariwisata sebagai salah satu leading sector pembangunannya di masa yang akan datang.
Bacaan Terkait:
BETENA TOMBULA: JEJAK TIONGHOA DALAM TRADISI LISAN BUTON
Bacaan Terkait:
BETENA TOMBULA: JEJAK TIONGHOA DALAM TRADISI LISAN BUTON
[1] Wawancara dengan La Ode Taufik taggal 20 September 2009
[3] Wawancara dengan Yusuf Hazim, 29 November 2009
[4] Hitungan upah La Ode Kamaluddin saat itu adalah lima ribu rupiah satu cergen arak atau konau.
[5] Dewasa ini tarif panggilan untuk La Ode Kamaluddin sebesar seratus sampai dua ratus ribu rupiah.
[6] Arasemen lagu-lagu Wakatobi yang digubah oleh La Ode Kamaluddin sangat dipengaruhi oleh arasemen musik kabanti tradisional. Terakhir pada tahun 2007 yang lalu mereka meluncurkan album mereka yang beriramakan gambus dan biola. Semuanya berbahasa Wakatobi.
[7] Pengantar tidur anak-anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar