Oleh
Sumiman Udu[2]
A. Pengantar
Kebudayaan Wakatobi – Buton dibangun
di atas konsep keseimbangan, walaupun di dalam kehidupan sehari-hari perempuan
sering kali tidak beruntung. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Pim Schoorl
bahwa Budaya masyarakat Wakatobi –
Buton pada umumnya selama ini telah memposisikan perempuan dalam ketegangan.
Di satu sisi, budaya Wakatobi
– Buton menghargai dan menghormati perempuan, tetapi di sisi
lain, budaya Wakatobi –
Buton pada umumnya banyak membelenggu perempuan, terutama untuk menduduki
posisi-posisi tertentu dalam kehidupan bermasyarakat (Schoorl, 2003: 211).
Namun jika kita menelusuri lebih jauh
mengenai kebudayaan Buton, maka kita akan menemukan begitu besarnya pengaruh
perempuan dalam kebudayaan Buton. Mengingat dalam kedalaman kebudayaan Buton,
terdapat paham yang disebut dengan paham kebutonan. Berangkat dari pondasi
dasar kebudayaan Buton yang disebut konsep kangkilo
atau kesucian, maka masyarakat Buton memiliki relasi gender yang adil.
Dimana hubungan manusia tidak lagi dibedakan berdasarkan jenis kelamin,
melainkan dibedakan atas kinerja atau karya yang dihasilkannya. Dengan demikian, masalah relasi gender dalam
masyarakat Wakatobi – Buton merupakan kekuatan mutlak yang harus dirampungkan
dalam tatanan budaya dan pembangunan Wakatobi dan Buton di masa depan. Hal ini
sebagaimana pernah dipraktekan oleh leluhur bangsa Buton selama berabad-abad
dalam berbagai kehidupan sosial, budaya, politik dan pemerintahan.
Di
sisi yang lain, masyarakat Wakatobi memiliki pandangan bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki ruang yang sama untuk bekerja. Tetapi yang berhak mengelola
keuangan keluarga berada di tangan perempuan[3]. Namun dalam keadaan
tertentu, perempuan Wakatobi memiliki peran yang besar dalam melangsungkan
kehidupan keluarganya, hal ini dapat dilihat dari tanggung jawab perempuan yang
ditinggalkan oleh suami mereka selama bertahun-tahun ke rantau orang. Dalam
konteks ini, perempuan Wakatobi berperan sebagai istri, ibu dan kepala keluarga
yang sekaligus bertanggung jawab atas keselamatan dan ekonomi keluarga. Mereka
bekerja di kebun, nelayan dan bahkan pedagang yang harus menghidupi anak-anak
dan keluarganya selama suaminya masih berada di negeri orang (Udu, 2010: 145).
Dengan
demikian, relasi gender dalam masyarakat dan pembambangunan Wakatobi – Buton
merupakan isu yang paling strategis mengingat isu ini merupakan kekuatan yang
perlu disinergikan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Wakatobi. Karena
laki-laki dan perempuan merupakan dua sisi mata uang, yang masing-masig hadir
untuk melengkapi yang lainnya. Bukan dalam konteks yang satu hadir untuk
membantu, melayani, tetapi keduanya hadir untuk saling melengkapi dalam konteks
menemukan eksistensi keduannya di dunia dan akhirat. Bahwa relasi gender yang
saling membutuhkan, saling melengkapi dan saling menghargai itulah yang
kira-kira akan menjadi manusia-manusia yang mengisi dunia Wakatobi yang oleh
Bupati Ir. Hugua dipopulerkan dengan sebutan “Bumi Surga nyata Bawah Laut di
jantung segi tiga karang dunia ini”.
B. Relasi
Gender dalam Tradisi Lisan Masyarakat Wakatobi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KKBI, 2007: 577) jender adalah jenis kelamin. Sedangkan menurut Salman (2005:
59) jender adalah suatu bangunan kontruksi sosial yang mengatur hubungan
laki-laki dan perempuan dalam keluarga/masyarakat yang terbentuk melalui proses
sosialisasi. Sedangkan menurut Kementerian UPW (1994) jender adalah hubungan
dalam bentuk pembagian kerja serta alokasi peranan, kedudukan dan tanggung
jawab serta kewajiban, dan pola hubungan yang berubah dari waktu ke waktu dan berbeda
antarbudaya[4].
Irwan Abdullah (2001: 23) mengatakan
bahwa jender lebih menunjuk pada relasi dimana laki-laki dan perempuan
berinteraksi. Dengan cara ini, focus kajian tidak hanya tertuju pada perempuan,
tetapi juga pada laki-laki yang secara langsung berpengaruh di dalam
pembentukan realitas hidup perempuan maupun laki-laki.
Pembicaraan
mengenai jender dalam masyarakat dan pembangunan Wakatobi berarti kita akan
membicarakan berbagai ingatan kolektif mereka. Di dalam Masyarakat Wakatobi mempunyai berbagai kekayaan folklor, yang menyimpan
berbagai ingatan kolektif mereka, misalnya tula-tula (cerita rakyat yang
meliputi legenda, mitos dan dongeng), puisi (kaбanti: бanti-бanti,
ande-ande, бae-бae[5],)
ungkapan tradisional (pepatah dan peribahasa seperti ungkapan homali), teka-teki
(tangke-tengkeku), permainan rakyat (ada-ada, tima-tima, iye-iye)
dan lain-lain.
Dalam berbagai ingatan kolektif tersebut, terlihat
bahwa relasi gender dalam masyarakat Wakatobi memiliki dinamika yang sangat
beragam. Misalnya dalam cerita rakyat Wakatobi kita akan menemukan tokoh
Wakinamboro dalam cerita rakyat Wa Ode Iriwondu, yang memiliki peran
dalam kepemilikan harta yang banyak, serta kekuasaan yang besar dan memiliki akses
ke mana-mana. Walaupun di dalam cerita rakyat Wa Ndiu-Ndiu perempuan
sama sekali tidak berdaya, menderita kemiskinan dalam keluarga, sehingga harus
dipukul oleh suaminya hingga ia lari ke laut.
Dalam
cerita rakyat Wa ode Iriwondu misalnya,
dapat dilihat relasi gender pada peran public dan peran domestic tokoh-tokoh
dala tradisi lisan Wakatobi. Peran publik dalam cerita Wa Ode-Ode Iriwondu ditemukan pada tokoh laki-laki dan tokoh
perempuan. Tokoh laki-laki yang memiliki peran publik adalah La Ode Kansira
Loe-Loe yang bekerja di luar rumah memperbaiki sampannya di pantai. Sementara
Wa Ode Iriwondu dengan ibunya membuat lapa-lapa[6]
atau memasak di dalam rumah. Peran ini dapat kita lihat dalam kutipan berikut
ini.
“Sementara suaminya
La Ode Kansira Loe-Loe, sesudah berangkat ke pantai, dia memperbaiki sampan
untuk tempat mereka naiki. Semuanya diperiksa, layarnya, dayungnya, tongkatnya
dan timba airnya. Semuanya diperiksa. Setelah semuanya selesai diperiksa, La
Ode pulang ke rumah. Ia memberitahu mertuanya bahwa sampan telah selesai
diperiksa dan sudah siap.
Setelah malam, papa[7] Wa Ode Iriwondu telah
membuat ketupat dengan lapa-lapa untuk bekal orang yang akan berlayar besok.
Dia membuat ketupat dari beras ketan hitam, membuat lapa-lapa dari beras ketan
merah. Dan dipotongkan ayam untuk lauk-pauknya.”
Kutipan
di atas menunjukkan bahwa La Ode Kansira Loe-Loe melakukan peran publik di luar
rumah. Pekerjaan membuat sampan dan memeriksa seluruh perlengkapannya
menandakan bahwa laki-laki memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk bekerja
di luar rumah. Tugas tersebut merupakan salah satu konstruksi sosial yang
disampaikan lewat cerita Wa Ode Iriwondu yang memaksa perempuan untuk
tetap berada di dalam ruang domestik, sementara laki-laki melakukan pekerjaan
yang berada di luar rumah. Pekerjaan La Ode Kansira Loe-Loe dalam memperbaiki
perahu atau sampan di pantai hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki. Hal ini
disebabkan oleh adanya konstruksi sosial yang mengarahkan perempuan ke daerah
domestik yang hanya mampu memasak, mencuci, hamil, merawat anak dan melayani
suami. Sementara laki-laki di arahkan untuk memiliki keterampilan bekerja di
luar rumah sebagai pencari rezeki (Udu, dkk, 2006: 28).
Kalau
dilihat dari nama yang diberikan kepada tokoh-tokoh di dalam cerita Wa Ode
Iriwondu, gelar bangsawan dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Sehubungan
dengan hal tersebut Pim Schoorl (2003: 211) mengatakan
bahwa kedudukan perempuan dalam masyarakat Buton dihormati, tetapi bersamaan
dengan itu semua orang lebih suka dititiskan sebagai laki-laki. Karena dalam
kebudayaan Buton ada ketegangan antara adat yang memberi perempuan kedudukan
terhormat dan adat yang tidak memberi mereka kesempatan untuk menduduki
posisi-posisi tertentu jika dibandingkan dengan laki-laki.
Gelar ‘ode’ yang diberikan kepada Wa
Ode Iriwondu merupakan bukti pemberian gelar kehormatan terhadap perempuan,
tetapi peran domestik yang digambarkan dalam kutipan di atas, merupakan bukti
bahwa ada ketegangan yang diberikan kepada perempuan, kedudukan terhormat dan
perlakuan untuk mendapatkan eksistensi dirinya yang selalu terkungkung oleh
adat dan budaya Buton yang selalu mengekang perempuan. Padahal kata ‘wa ode’
merupakan gelar bangsawan Buton yang diberikan untuk orang-orang yang berjasa
pada kesultanan Buton. Dengan demikian,
gelar bangsawan ‘ode’ diberikan kepada orang Buton sebagai suatu penghargaan
bagi mereka yang telah berjasa pada kesultanan Buton. Berdasarkan hal tersebut,
Wa Ode Iriwondu semestinya seorang perempuan yang memiliki peran publik yang
sama dengan laki-laki. Hanya saja di dalam cerita rakyat Wa Ode Iriwondu tidak
dijelaskan mengapa Wa Ode Iriwondu dianugerahi dengan gelar ‘ode’, demikian
juga gelar ‘ode’ yang diberikan pada La Ode Kansira Loe-Loe dan La Ode
Randansitagi?
Masyarakat
Buton tidak mengenal apa yang disebut dengan darah biru. Di dalam masyarakat
Buton hanya mengenal adanya Ana bangule[8].
Dengan demikian, anak bangule merupakan
anak yang mendapatkan darah biru tanpa melalui perjuangan terlebih dahulu,
melainkan diberikan atas kepercayaan dewan siolibona
atas kebaikan dan kejujuran Sultan Muhamad Idrus Kaimuddin yang diharapkan
dapat dititiskan kepada kedua anaknya, yaitu Kaimuddin II dan III. Tanpa
dipesan oleh siolimbona, seorang
permaisuri tidak diperkenankan untuk melahirkan selama suaminya menjabat Sultan
Buton.
Gelar
yang digunakan oleh tokoh-tokoh dalam cerita Wa Ode Iriwondu, yaitu Wa Ode Iriwondu, La Ode Randansitagi dan La Ode Kansira Loe-Loe bila
didasarkan kepada kepemilikan gelar kebangsawanan di dalam realitas masyarakat
Buton, maka mereka memiliki peran publik yang sama. Tetapi, dalam cerita Wa
Ode Iriwondu peran-peran publik sebagai ‘ode’ tidak sesuai dengan peran
‘ode’ dalam masyarakat Buton yang harus berjasa kepada kesultanan. Sementara di
dalam cerita Wa Ode Iriwondu peran publik ‘ode’ tidak tampak di dalam
alur cerita. Bahkan sebaliknya, yang memiliki peran publik dilihat dari setting atau latar cerita adalah
Wakinamboro, perempuan yang berasal dari rakyat biasa, tetapi mampu bekerja di
kebun yang dapat dikategorikan sebagai ruang publik atau berada di luar rumah.
Hal
ini terbukti bahwa yang tinggal di dalam kamali[9]
adalah Wakinamboro. Tokoh perempuan Wakinamboro memiliki peran sebagai ratu. Ia
memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga ia mampu merebut suami orang, yaitu
suami Wa Ode Iriwondu. Kemampuan merebut suami orang menunjukkan bahwa
Wakinamboro telah keluar dari ruang domestik perempuan yang hanya dapat
bersolek, hamil, melahirkan dan memelihara anak. Wakinamboro telah berubah
menjadi perempuan yang mampu melakukan
apa saja sesuai dengan apa yang ia inginkan, Wakinamboro menjadi
perempuan yang bebas. Karena Wakinamboro memiliki kekuatan, baik secara fisik
maupu secara material.
Dengan
jimatnya, Wakinamboro memiliki kekuatan yang luar biasa, sehingga mempunyai
kesempatan untuk melakukan apa saja. Ia mampu berubah wujud ketika mendapatkan
darah seorang perempuan yang masih muda. Ia mengisap darah Wa Ode Iriwondu
sehingga Wakinamboro berubah menjadi
perempuan cantik.
Selanjutnya,
peran publik yang lain di dalam cerita Wa Ode Iriwondu dilakukan anak
Wakinamboro, yang mengadakan perayaan sabung ayam di depan kamali milik
ibunya. Peran sebagai penyelenggara sabung ayam merupakan peran publik yang
dilakukan oleh anak Wakinamboro. Ia melakukan acara sabung ayam dan diumumkan
kepada seluruh rakyat. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.
“Ia mendengar kabar
bahwa di istana ada acara sabung ayam yang diadakan oleh anaknya Wakinamboro.
Ia teringat dengan cerita ibunya bahwa matanya itu dicungkil oleh Wakinamboro.
Sedangkan ayahnya kawin dengan Wakinamboro. Akhirnya La Ode Randansitagi
berniat untuk mengikuti acara sabung ayam di istana tersebut.”
Sebagai
penyelenggara sayembara sabung ayam, anak Wakinamboro telah melakukan peran
publik, ia mampu mempengaruhi seluruh masyarakat untuk ikut acara sabung ayam,
termasuk La Ode Randansitagi saudara tirinya. Peran publik kemudian dilakukan
oleh La Ode Randansitagi, ia mengikuti acara sabung ayam walaupun dilarang oleh
ibunya.
Perjalanan
La Ode Randansitagi seorang diri ke luar rumah merupakan konstruksi jender
dalam cerita Wa Ode Iriwondu bahwa laki-laki memiliki kebebasan untuk
beraktivitas di luar rumah. Berbeda dengan ibunya, Wa Ode Iriwondu walaupun
hanya untuk pergi berkunjung ke saudara sepupunya di kampung sebelah, ia harus
ditemani oleh suaminya. Perjalanan mereka ke kampung sebelah merupakan bagian
yang mengarah kepada peran publik, pelarangan Wa Ode Iriwondu untuk pergi ke
rumah keluarganya merupakan salah satu ekspresi budaya yang membelenggu
perempuan di ruang domestik. Jika dibandingkan dengan anaknya La Ode Kansira
Loe-Loe walaupun dilarang, tetapi dalam cerita ia tetap berangkat menyabung
ayamnya. Dengan demikian, terlihat dengan jelas konstruksi sosial yang mengarahkan
perempuan ke ruang domestik dan laki-laki ke ruang publik. Selanjutnya,
peran publik juga dilakukan oleh Wakinamboro, tokoh perempuan yang berasal dari
keturunan rakyat biasa. Ia memiliki peran publik dan bekerja di luar rumah.
Dengan demikian, Wakinamboro memiliki kemampuan untuk melakukan apa saja dan
tidak perlu minta izin pada laki-laki.
Sedangkan di dalam sejarah masyarakat Wakatobi dan
Buton pada umumnya, pernah juga dikenal perempuan Buton yang paling kaya yaitu
Wa Ode Wau. Perempuan yang memiliki sumbangan terbesar dalam pembangunan
benteng Wolio – Buton tersebut, dan kekayaannya sampai sekarang masih milyaran
Gulden[10].
Wa Ode Wau merupakan tokoh legendaris Buton yang memiliki kekayaan yang sangat
banyak, dan di dalam masyarakat Buton sampai sekarang masih tetap menjadi
legenda. Sedangkan dalam kehidupan masyarakat Wakatobi dewasa ini, terlihat
dengan jelas, bahwa rata-rata pelaku usaha yang sukses di Wakatobi didukung
oleh adanya kerja sama yang baik antara laki-laki dan perempuan. Bahkan dalam urusan
bisnis, perempuan Wakatobi lebih memiliki ruang dibandingkan dengan laki-laki.
Hal ini dapat dilihat dalam beberapa aktivitas pedagang di dua pasar di
Wakatobi, maka pelaku bisnis tersebut rata-rata adalah perempuan, baik pada
waktu belanja di Makassar atau Surabaya, karena menurut para pedagang
perempuan, laki-laki memiliki beberapa kelemahan dalam melakukan tugas belanja
di Makassar dan Surabaya yaitu (1) boros, yaitu selalu memiliki dana-dana lain
yang kurang jelas; (2) lemah dalam menghadapi penjaga toko di Makassar dan
Surabaya yang banyak dilakukan oleh perempuan cantik.
Dengan demikian, para pedagang Wakatobi percaya
bahwa perempuan memiliki peran yang sangat strategis dalam kehidupan bisnis
dewasa ini. Bahkan kalau kita melihat lebih jauh ke dalam tatanan kesultanan
Buton, maka calon sultan Buton sangat di tentukan oleh layak atau tidaknya
istrinya dalam menduduki posisi permaisuri.
Selanjutnya
pembicaraan mengenai relasi jender dalam tradisi lisan kaбanti, maka dapat ditemukan dalam teks maupun di dalam performansi
tradisi lisan kaбanti. Di dalam teks kaбanti banyak sekali teks kaбanti yang menggambarkan tentang
adanya relasi gender yang seimbang di dalam masyarakat Wakatobi, misalnya direpresentasikan
dalam teks kaбanti berikut.
Wa Ina kubiru Wajomo
Ke mawino ke ngkorangano
Ibu, saya sudah hitam seperti Bajo
Karena saya bekerja di laut dan di kebun
Teks
di atas, menunjukkan bahwa perempuan dalam masyarakat Wakatobi memiliki ruang
yang sama dengan laki-laki dimana dia terlibat langsung dalam ruang-ruang kerja
yang sejajar dengan laki-laki. Hal ini jika dilihat dalam masyarakat Wakatobi,
teks kaбanti di atas merupakan
refleksi atas realitas kehidupan masyarakat Wakatobi yang hidup di laut
(nelayan) dan bekerja di kebun. Walaupun di sisi yang lain, terlihat adanya
suatu kekhawatiran pada diri penyair atau pelantun bahwa betapa kulitnya
menjadi hitam hanya karena pekerjaannya, di laut dan di darat.
Dalam
feminis-Marxis menyoroti masalah penindasan perempuan terjadi melalui produk
politik, sosial dan struktur ekonomi yang berkaitan erat dengan sistem yang
disebut kapitalisme (Arivia, 2003: 111). Perempuan yang berasal dari kelas
ekonomi menengah ke atas lebih kurang mendapatkan perlakukan yang lebih jelek
dibandingkan dengan kelas proletar, sehingga penguasaan aspek-aspek ekonomi
menjadi suatu solusi untuk mengeluarkan perempuan dari ketergantungan dan penindasan
dari kaum laki-laki (Abdullah, 2001: 111-112).
Di dalam teks kaбanti, penyair menggambarkan kemiskinannya. /E kuбumanti-бanti ma’asi/ ‘aku akan bernyanyi-nyanyi kasihan’, /E nomoni’asi na inasu/, ‘karena ibuku orang miskin’, /E te moni’asi
nuinasu/ ‘miskinnya ibuku’, /E
wa kusakanemo nteiaku/ ‘wa, aku sudah menerimanya’, /E
mina ði wa ompu kusaka/ ‘dari
nenek aku sudah terima’, /E
te ombatu ngke ntamba howu/ ‘ambatu[11] dan howu[12]’.
Gambaran kemiskinan si aku lirik dalam beberapa bait teks kaбanti di atas memperlihatkan kemiskinan sebagai suatu produk
kultural, dimana si aku lirik telah mewarisi kemiskinan dari orang tuanya.
Kemiskinan kultural itulah yang membuatnya tidak berdaya khususnya dalam
kehidupan keluarga.
Pencitraan mengenai citra perempuan
dalam teks kaбanti di atas merupakan
refleksi dari kemiskinan masyarakat Wangi-Wangi khususnya masyarakat desa
Longa. Kemiskinan yang diwariskan secara turun-temurun. Kemiskinan kultural,
mereka tidak mendapatkan pekerjaan disebabkan mereka tidak memiliki
keterampilan yang dapat menunjang masa depannya. Ini juga disebabkan oleh
pendidikan mereka yang rata-rata hanya tamat SD atau bahkan ada yang buta huruf
(bdk. dengan Sasono, 1995: 40).
Rendahnya pendidikan dan kurangnya
keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat desa Longa, telah melahirkan
kemiskinan kultural yang berderet panjang dalam kehidupan masyarakat. Perempuan
sebagai bagian dari masyarakat desa Longa menjadi lebih menderita, karena
ketika suami mereka merantau, maka perempuan bukan saja menjaga dan merawat
anak-anaknya, tetapi melakukan pekerjaan untuk menutupi kebutuhan keluarga
mereka. Selain itu, ternyata perempuan juga memiliki ketabahan dan kesabaran
ketika laki-laki mengalami putus asa karena mendapatkan pekerjaran yang layak
untuk menghidupi keluarga mereka.
Tingginya kemiskinan yang ada dalam
masyarakat desa Longa terlihat dari data statistik yang menunjukkan bahwa
hampir seluruh penduduk masyarakat desa Longa mendapatkan Bantuan Langsung
Tunai (BLT) dari pemerintah. Data menunjukkan bahwa hanya beberapa keluarga
saja yang tidak mendapatkan bantuan itu. Kemiskinan di desa Longa telah
diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke genarasi berikutnya.
Kemiskinan di desa Longa adalah kemiskinan kultural, etos kerja rendah, keahlian
dan keterampilan tidak ada. Salah satu simbol kemiskinan yang ada pada
masyarakat desa Longa adalah makanan ‘ombatu[13]’.
Fenomena kemiskinan masyarakat
tersebut di atas, digambarkan dalam teks kaбanti
berikut. /E aluru wa ompu aluru/ ‘bersabarlah nenek!’, /E
kuðaði maka ngkubolosi/ ‘nanti
aku subur baru aku membalas’, /E kumeta’o
te ðaðia‘u/ ‘bila
aku menunggu masa suburmu’, /E ðahani ngkua kumatemo/ ‘mungkin aku sudah meninggal’ (T.I: 64-65). Ada harapan yang dimiliki oleh perempuan
dalam dua bait kaбanti di atas. Ia memiliki harapan untuk mengubah
kehidupannya, mengubah kemiskinannya. Perempuan dan laki-laki memiliki
cita-cita untuk memperbaiki masa depannya. Si aku lirik menantang rasa pesimis
tokoh nenek atas ketidakberdayaannya melawan takdir dan menjanjikan sesuatu
kepada neneknya kalau kelak ia akan berhasil.
Dalam
bait yang lain, citra perempuan digambarkan sebagai perempuan yang dapat
bekerja. /E bue-bue nonteparodo/ ‘(ku)ayun-ayun nanti ia tertidur’, /E
maka towila toherobu/ ‘baru
kita pergi mencari tunas bambu’ (T.II: 5). Keterlibatan perempuan dalam dunia
kerja merupakan salah satu potensi perempuan untuk bisa hidup mandiri. Pada
T.II: 31 memperlihatkan perempuan yang mampu bekerja di kebun. Ini merupakan
refleksi dari banyaknya perempuan yang bekerja di kebun sebagai pendukung utama
kehidupan keluarganya. Hal tersebut dapat ditemukan khususnya di desa Longa dan
desa Tindoi kecamatan Wangi-Wangi.
Kondisi
lahan pertanian yang tidak mendukung memaksa penduduk Wakatobi menjadi masyarakat
migran ke berbagai daerah di Indonesia
termasuk sampai ke manca negara. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa
pelaut-pelaut Buton telah sampai ke Philipina, Australia, Kepulauan Pasifik,
Madagaskar dan bahkan sampai ke Cina (Munaafi, 2001: 85; Zuhdi, 1994; Djarudju,
1995). Aktifitas pelayaran orang Wakatobi di atas merupakan sarana mobilisasi
ekonomi yang mendukung berlangsungnya kehidupan di kepulauan itu.
Mengikut
leluhur mereka, masyarakat Wakatobi khususnya masyarakat desa Longa dan desa
Tindoi banyak yang bekerja di kepulauan Maluku, Malaysia, Singapura, Jepang dan sebagian Indonesia
bagian barat. Di perantauan, mereka berprofesi sebagai petani, nelayan, buruh
dan bahkan ada yang bekerja sebagai penyeludup. Khusus sebagai penyeludup
masyarakat Mandati menganggapnya sebagai suatu kekuatan utama perekonomian di
daerah itu. Mereka menyeludupkan rotan dan hasil hutan lainnya ke Singapura dan
Malaysia
selanjutnya mereka membawa pakaian bekas dan elektronik ke Wakatobi.
Saat
suami mereka merantau rata-rata perempuan Wakatobi bertanggung jawab atas
keselamatan dan kesejahteraan keluarga (Rabani, 1997: 27). Banyak ibu-ibu yang
bekerja melebihi batas kerja laki-laki (bdk. Mosse, 2003: 37-38). Mereka
membangun rumah, membesarkan anak-anak, berkebun dan pergi melaut. Mereka
bekerja tak mengenal lelah. Wa Bahalimu (40 tahun), misalnya pernah jatuh sakit
dan semua tetangganya mengatakan bahwa ia terlalu keras bekerja. Di sinilah
ruang relasi gender di dalam masyarakat Wakatobi, dimana laki-laki dan
perempuan saling mendukung dalam mempertahankan eksistensi keluarganya,
perempuan membantu suaminya dan laki-laki berjuang keras dalam mempertahankan
keluarganya di luar rumah (dirantau orang) sementara perempuan tetap
mempertahankan keluarganya dengan cara membanting tulang agar anak-anaknya
tetap makan.
Dalam
aktivitas sebagai pedagang, keterlibatan perempuan dalam aspek ekonomi,
khususnya jual beli, perempuan mendominasi beberapa pasar di Wakatobi.
Perempuan mempunyai keunggulan dalam proses tawar-menawar pada proses jual
beli. Beberapa keunggulan tersebut adalah sabar, teliti, ulet, dan mampu
memberikan pelayanan yang menarik pembeli. Berdasarkan beberapa keunggulan
perempuan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kunci perekonomian masyarakat
Wakatobi berada di tangan kaum perempuan.
Sebagai
bukti dominasi keterlibatan perempuan di dalam dunia bisnis adalah peran mereka
sewaktu berbelanja ke Makassar atau Surabaya.
Mereka meninggalkan rumah, membiarkan suami menunggu toko dan merawat
anak-anak. Ini tidak terlepas dari kejelian perempuan dalam menghadapi
teman-teman bisnisnya di Surabaya dan Makassar. Hal lain yang mendorong masyarakat Wangi-Wangi
mengutus perempuan turun berbelanja ke Surabaya
atau Makassar karena laki-laki cenderung
melakukan pemborosan keuangan ketika mereka (laki-laki) yang turun berbelanja[14].
Keterlibatan
perempuan dalam dunia bisnis atau dunia kerja membuat perempuan Wakatobi dewasa
ini bukan saja mengakibatkan mereka terbebas tetapi juga menciptakan suatu
kondisi dimana laki-laki dapat merasakan bagaimana merawat anak dan menjaga
toko yang ditinggalkan perempuan. Kondisi ini membantu pemahaman dan kesadaran
kedua belah pihak dalam menghadapi hari-hari mereka dalam kehidupan keluarga.
Laki-laki akan memahami tanggung jawab sebagai perawat anak, dan perempuan akan
memahami dunia luar. Mereka akan saling memahami atas peranan mereka
masing-masing. Lebih jauh perempuan akan memiliki akses dalam pengambilan
keputusan ekonomi keluarga.
Membongkar
ideologi yang membentuk teks-teks kaбanti,
tidak terlepas dari pembicaraan mengenai falsafah hidup masyarakatnya.
Berbicara tentang falsafah hidup masyarakat Wakatobi tidak terlepas dari
falsafah hidup yang ada dalam kehidupan masyarakat kesultanan Buton, karena
Wakatobi merupakan salah satu wilayah Kesultanan Buton.
Sehubungan
dengan itu, kita dapat menelusuri keterlibatan perempuan dalam kesultanan
Buton. Hal ini dapat dilihat dari tugas permaisuri dalam mendampingi sultan
Buton. Salah satu tugas permairusi dalam sistem kesultanan Buton adalah
bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan kesultanan (Schoorl, 2003:
217). Dalam kehidupan masyarakat Buton, perempuan bertanggung jawab atas
beberapa hal, yaitu (1) merawat anak, (2) membantu suami dalam mencari rezeki,
(3) mendidik anak, dan (melakukan amalan, amala untuk melindungi
keselamatan suami disaat berada di luar rumah (Schoorl, 2003: 218-220). Lebih
jauh dijelaskan bahwa permaisuri dalam kesultanan Buton bertugas untuk: (1)
menjadi kepala Sarana Bawina, (Kepala Dewan Wanita Negara Wolio), (2)
menjaga kesejahteraan dan kesehatan sultan[15], dan (3) mendidik
perempuan-perempuan di lingkungan kesultanan. Sehingga citra perempuan yang
bekerja dalam teks kaбanti merupakan ekspresi tanggung jawab perempuan
dalam menjaga kesejahteraan keluarga yang ada dalam budaya masyarakat Buton.
Selain
itu, masyarakat Buton memiliki falsafah ketatanegaraan yang termaktub dalam
Kitab Martabat Tujuh Buton, dalam bab VII mengemukakan konsep ‘yinda-yindamo
arataa sumanamo karo’ ‘biar tiadanya harta demi selamatnya diri’, yinda-yindamo
karo somanamo lipu, ‘biar tiadanya diri demi selamatnya negeri[16]’, ‘yinda-yindamo lipu
somanamo syara’ ‘biar tiadanya negeri demi selamatnya syara[17]’, ‘yinda-yindamo syara
somanamo agama sadaa-daa’, ‘biar tiadanya syara asalkan agama tegak abadi’
(Putra, 2000: 143-144).
Pandangan
hidup masyarakat Buton tersebut mengilhami kepada masyarakatnya baik laki-laki
mapun perempuan untuk tetap giat bekerja. Walaupun di dalam kehidupan
masyarakat Buton yang lain, yang berorientasi pada sufisme menjadikan alasan peniadaan
itu untuk meninggalkan kehidupan dunia dan mengejar kehidupan akhirat semata.
Itulah yang menyebabkan kemiskinan di Buton menjadi marajalela selama
berpuluh-puluh tahun. Mereka meninggalkan aspek dunia dan memikirkan tentang
akhirat semata.
Konsep
harta di dalam falsafah tersebut, berhubungan dengan masalah pekerjaan.
Perempuan sebagai anggota keluarga dan masyarakat berkewajiban untuk
kesejahteraan. Tidak mengherankan kalau perempuan telah mendominasi aspek
pertanian dan pemasaran di kabupaten Wakatobi. Banyak perempuan yang terlibat
dalam aktivitas bisnis, dan bahkan laki-laki (suami) mereka tinggal di rumah
untuk menjaga anak-anak. Sesuatu yang diinginkan oleh Ruthven (1984), bahwa
laki-laki mesti memahami kondisi domestik sebagaimana perempuan yang selama ini
terdomestik di rumah, merawat anak, memasak dan mencuci, sehingga kesadaran
atas peran perempuan dan laki-laki dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan
sekaligus.
Ingatan
kolektif masyarakat Wakatobi dan Buton pada umumnya mengenal seorang perempuan
hartawan, yaitu Wa Ode Wau[18]. Ia menguasai perdagangan
di Kepulauan Tukang Besi yang kini menjadi wilayah Wakatobi. Dialah yang
membantu membiayai pembangunan benteng keraton Buton yang sampai kini masih
berdiri kokoh. Semua warga kesultanan Buton sampai hari ini masih berpikir
untuk mencari jejak harta karun Wa Ode Wau.
Dari
sini dapat dicari jejak mengapa dalam teks-teks kaбanti, penyair menggambarkan masalah keterlibatan perempuan pada
bidang ekonomi. Hal ini disebabkan karena di samping terjadinya kemiskinan
dalam masyarakat Buton, juga karena adanya ingatan-ingatan kolektif masyarakat
tentang besarnya peran perempuan (Wa Ode Wau) dalam pembangunan kesultanan
Buton.
Selain
itu, banyak cerita rakyat yang mengungkapkan tentang kepemilikaan perempuan
dalam hal harta, misalnya cerita Wa
Kinamboro. Dalam cerita tersebut digambarkan bahwa seorang perempuan
mempunyai tujuh buah istana (Udu, dkk. 2005: 65). Dengan demikian, keterlibatan
perempuan dalam bidang ekonomi bagi masyarakat Wakatobi khususnya Wangi-Wangi
cukup dominan. Pasar pakaian bekas yang menjamur di kepulauan Maluku dan Papua
lebih banyak di isi oleh perempuan-perempuan dari Wakatobi.
Namun
perlu ditegaskan di sini bahwa tidak semua sektor ekonomi melibatkan perempuan
dalam proses pengerjaannya. Pemekaran kabupaten Wakatobi pada tahun 2003 yang
lalu berdampak pada hadirnya proyek-proyek pemerintah di kawasan itu.
Sehubungan dengan keterlibatan perempuan pemerintah, keterlibatan perempuan
dapat dibedakan menjadi dua yakni (1) keterlibatan perempuan pada proyek padat
karya. Pada proyek padat karya,
perempuan masih dilibatkan, misalnya pada proyek jalan kampung dengan kontruksi
rabat beton di sekitar kecamatan Wangi-Wangi, dan (2) keterlibatan perempuan
pada proyek pembangunan gedung-gedung pemerintah. Akan tetapi, pada beberapa
proyek besar seperti pembangunan beberapa gedung pemerintah, perempuan tidak
lagi tampak sebagai karyawan. Hal ini sudah membutuhkan tenaga dan keahlian,
sedangkan pada rabat beton tidak membutuhkan keahlian dan proyek diarahkan pada
padat karya yang dapat menggairahkan ekonomi masyarakat.
Keterlibatan
perempuan dalam bidang ekonomi dapat dikategorikan dalam dua aspek yaitu (1)
ekonomi nonformal dan (2) ekonomi formal. Pada ekonomi nonformal, perempuan
menguasai pasaran, tetapi pada bidang ekonomi yang dikelola oleh pemerintah,
perempuan tidak dilibatkan. Oleh karena itu, untuk melibatkan perempuan dalam
berbagai bidang ekonomi formal (proyek-proyek pemerintah), perempuan dituntut
untuk memiliki keahlian dan perempuan juga harus mempunyai akses pada bidang
politik sehingga dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
Dengan
demikian, di balik kelembutan tubuhnya, perempuan mempunyai potensi ekonomi
yang besar. Banyak laki-laki yang memiliki pandangan ekonomi yang baik tetapi
jika tidak ditunjang oleh perempuan (istrinya), maka laki-laki akan jatuh dan
hidup dalam kemiskinan. Demikian juga perempuan banyak yang memiliki potensi
bisnis tetapi jika tidak ditunjang oleh suami, tetap juga tidak mampu
memperbaiki ekonomi keluarganya ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, dalam
rangka menciptakan suatu kondisi yang dinamis, perlu adanya keadaan yang
sinergis antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang termasuk bidang
ekonomi.
C. Relasi
Gender sebagai Kekuatan Pembangunan Wakatobi
Kabupaten
Wakatobi memiliki impian besar yaitu terwujudnya masyarakat Wakatobi yang
sejahtera, damai, adil dan makmur serta menunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan dan ketuhanan. Impian besar itu kemudian diwujudkan dalam visi dan
misi kabupaten Wakatobi lima tahun pertama pembangunannya yaitu terwujudnya
surga nyata bawah laut di pusat segi tiga karang dunia. Tentunya, masalah
relasi gender (laki dan perempuan) sebagai dua mahkluk yang menjadi subjek
dalam pembangunan Wakatobi tidak dapat diabaikan lagi. Karena masyarakat
Wakatobi yang sejahtera, damai, adil dan makmur serta menunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan tersebut haruslah diisi oleh dua jiwa
yang saling bersatu dan menyatu dalam konteks saling mencintai dan menyayangi
dalam berbagai konteks kehidupan mereka.
Oleh
karena itu, dalam pembangunan Wakatobi di masa depan keterlibatan laki-laki dan
perempuan atau dalam konteks yang lebih luas, diperlukan suatu kondisi
keharmonisan, suatu sinergi yang terjadi antara elemen-elemen yang ada di
kabupaten Wakatobi baik laki-laki dan perempuan. Tentunya diperlukan suatu
konsep yang dapat mensinergikan dua hal yang berbeda tersebut, agar dapat hidup
berdampingan dalam mewujudkan cita-cita dan impian masyarakat Wakatobi
tersebut. Untuk itu, kita perlu menoleh pada konsepsi leluhur masyarakat
Wakatobi yang lebih mendasar yaitu faham kangkilo
terutama dalam konteks sosialnya.
Berdasarkan
konteks sosialnya, faham kangkilo
mengenal dua konsep kesucian, yaitu faham konsep kangkilo awalu dan faham kangkilo
akhiri. Dalam konsep kangkilo awalu tersebut,
hendaknya dalam menjalin hubungan kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan
hendaknya di dasarkan atas nilai-nilai kesucian. Di mana dalam kangkilo awalu ini, segala hal yang akan
masuk ke dalam tubuh laki-laki dan perempuan hendaknya dapat dipertimbangkan
dari aspek kesuciannya, misalnya minuman, makanan, apa yang kita tatap, yang
kita dengar, yang kita rasa, apakah semua yang akan masuk ke dalam pikiran dan
jiwa kita itu masih dalam kategori yang suci atau sudah tidak suci. Jika semua
yang hal yang akan masuk ke dalam tubuh laki-laki dan perempuan itu dapat
dipertahankan kesuciannya, maka segala apa yang ada di fisik, pikiran dan rasa
manusia Wakatobi, baik laki-laki dan perempuan itu akan berada dalam konteks
kesucian.
Jika
faham ini, dimiliki oleh laki-laki dan perempuan Wakatobi, maka surga nyata
bawah laut Wakatobi akan menjadi kenyataan di daratnya, karena seluruh elemen
Wakatobi akan searah dalam pembangunan Wakatobi, tidak akan ada lagi
orang-orang yang berpikir untuk merampok Wakatobi, merusak terumbu karang,
merusak dan menyakiti rasa kemanusiaan masyarakat Wakatobi, termasuk merusak
sistem demokrasi dan kepemimpinan di Wakatobi. Semua akan berusaha untuk
memberikan yang terbaik untuk pembangunan Wakatobi di masa yang akan datang.
Selanjutnya,
kangkilo akhiri merupakan konsep masyarakat Wakatobi – Buton yang
mensyaratkan agar seluruh yang keluar dari tubuh manusia (laki-laki dan
perempuan) dalam menjalin hubungan itu, hendaknya tidak mengotori fisik, pikiran
dan perasaan orang lain. Misalnya segala bentuk kotoran fisik, hendaknya jangan
mengotori alam/lingkungan, manusia dan nilai-nilai ketuhanan kita, seperti
membuang sampah sembarangan, membuang istinja sembarangan, menebang hutan
sembarangan, merusak tatanan sosial sembarangan, dan lain sebagainya yang
sifatnya mengotori. Pekerjaan kita tidak pernah merusak sistem dan tatanan,
perkataan kita tidak pernah merusak, lebih-lebih menyakiti rasa kemanusiaan.
Dengan
demikian, pembangunan Wakatobi di masa yang akan datang berjalan di atas
nilai-nilai kebudayaan Wakatobi yang dijunjung tinggi oleh laki-laki dan
perempuan karena relasi mereka dibangun di atas tatanan budaya yang tinggi
yaitu tatanan yang suci sebagaimana fitrah kemanusiaan manusia. Karena manusia
di negeri “surga nyata bawah laut Wakatobi ini”, hanya dapat diwujudkan jika
masyarakat Wakatobi memiliki komitmen untuk mewujudkannya secara bersama-sama,
baik pemerintah, LSM dan masyarakat secara umum. Bahwa nilai-nilai dasar kangkilo atau fitrah kemunusiaan
tersebut dapat diwujudkan dalam setiap individu yang ada di Wakatobi. Hal ini
sebagaimana di katakan dalam kaбanti Bula
Malino oleh Muhamad Idrus Kaimuddin bahwa “Belumlah dikatakan suci kalau
baru mandi tujuh kali satu hari satu malam, belumlah dikatakan suci kalau baru
mandi pakai sabun, yang dikatakan suci itu adalah ketika fisik, pikiran dan
perasaan kita sudah suci”.
D. Penutup
Sejak
dulu, kebudayaan Wakatobi – Buton memiliki berbagai memory kolektif tentang
relasi gender dalam masyarakatnya, baik dalam tradisi lisan maupun dalam
realitas hidupnya. Untuk itu, dibutuhkan suatu bentuk relasi gender yang saling
menghargai dan melengkapi dalam mewujudkan masyarakat Wakatobi yang kuat di
masa depan. Dimana laki-laki dan perempuan harus hidup berdampingan dalam
konteks saling menghargai sehingga melahirkan suatu sinergi yang maksimal.
Masyarakat Wakatobi membutuhkan cetak biru
kebudayaan yang tumbuh di atas faham kangkilo
sebagai fondasi kebudayaan masyarakat Wakatobi jika mau mewujudkan impian
mereka “negeri surge nyata bawah laut Wakatobi” yang dapat dinikmati oleh
seluruh masyarakat Wakatobi dan dunia. Dan cetak biru kebudayaan Wakatobi
tersebut harus mampu diimplementasikan dalam setiap individu Wakatobi, baik
birokrat, teknokrat, LSM, politisi, akademisi, pengusaha, aktivis dan
masyarakat secara umum. Dengan cetak biru kebudayaan Wakatobi tersebut, maka
akan terwujud masyarakat Wakatobi yang sejahtera, damai, adil dan makmur serta
menunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan sebagaimana yang kita
idam-idamkan bersama.
F.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender dan Reproduksi
Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang Press.
|
Arivia, Gadis. 2003. Filsafat
Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan (YJP).
|
Djarudju, La Ode Sirajuddin. 1995.
Buton dalam Kilasan Sejarah. Kendari: Fisip Unhalu.
|
Mosse, Julia
Cleves. 2003. Gender dan Pembangunan Diterjemahkan
oleh Hartian Silawati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Putra, Maia Papara. 2000. Membangun
dan Menghidupkan Kembali Falsafah Buton Hakiki dalam Lembaga Kitabullah. Buton:
yayasan AUA Menyingsing Pagi.
|
Munafi,
La Ode Abdul. 2001. Langke dalam
Kehidupan Orang Buton di Sulawesi Tenggara (Kajian Strukturalisme tentang
Pranata Migrasi. Bandung : Tesis Program Pascasarjana Universitas
Padjajaran
|
Rabani, La
Ode. 1997. Migrasi dan Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Kepulauan
Tukang Besi Kabupaten Buton 1961-1987. Yogyakarta: Skripsi Fakultas
Sastra Universitas Gajah Mada.
|
Ruthven, K.K. 1984. Feminist Literary Studies. Cambridge:
Cambridge University Press.
|
Salman, Ismah. 2005. Keluarga
Sakinah dalam Aisyiah: Diskursus Jender di Organisasi Perempuan Muhammadiyah.
Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah.
|
Udu, Sumiman, dkk. 2005. Cerita Rakyat Buton dalam Prespektif
Gender. Kendari: Proyek Penulisan Cerita Rakyat Buton Kantor Bahasa
Provinsi Sulawesi Tenggara.
|
Udu, Sumiman. 2009. Perempuan dalam Kaбanti: Tinjauan
Sosiofeminis; Yogyakarta: Penerbit Diandra
|
Zaenu, La Ode. 1984. Buton dalam Sejarah Kebudayaan. Surabaya:
Suradipa.
|
Zahari, Abdul Mulku.
1977/1978. Sejarah dan Adat Wil Darul
Butuni. Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Depdiknas.
|
[1] Disampaikan dalam seminar Nasional yang dilaksanakan
oleh Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin dengan Kelompok PKK Kabupaten
Wakatobi di Hotel Wakatobi (sesuaikan) tanggal 14 Juni 2011 di Gedung Wanita
Kabupaten Wakatobi.
[2] Dosen FKIP Univertitas Haluoloe, dan sekaligus menjadi
Direktur Eksekutif Pusat Studi Wakatobi Yayasan Udu Kolaborasi Global yang saat
ini masih menjadi mahasiswa S3 di Universitas Gadjah Maga Yogyakarta.
[3] Masyarakat Wakatobi –Buton memandang bahwa laki-laki
yang memegang hasil jerih payahnya atau
penghasilannya dianggap sebagai laki-laki yang tidak punya etika atau pake da’o. Sehingga hubungan laki-laki
dan perempuan dalam suatu keluarga memiliki dinamika yang menarik, dimana
perempuan mempunyai kontrol pada pengelolaan keuangan keluarga. Dan laki-laki
Wakatobi harus meminta kepada istrinya, dan memiliki kewajiban untuk menyetor
uang pada istrinya, jika tidak mau disebut
sebagai mia pumake da’o (orang yang
berahlak jelek), wawancara, tanggal 21 Jenuari 2010 dengan La Dama).
[4] Arif Budiman, Pembagian Kerja Seksual. Jakarta: PT.
Gramedia, 1985), hlm. 56.
[5] Бae-бae merupakan
jenis kaбanti untuk menenagkan
pendengar, misalnya pada bayi, orang yang susah mendapatkan masalah dalam
hidup. Бae-бae artinya belum bisa
diberikan nyanyian yang memiliki kata penyeling ‘e’ yang dinyanyikan secara
panjang (La Ode Kamaluddin, 2 Februari 2011).
[6] Makanan rakyat Buton yang terbuat dari beras dibungkus
dengan janur
[7] Panggilan seorang ibu dalam keluarga bangsawan,
misalnya ibu yang namanya ada gelar ‘ode’
[9] Nama istana dalam kesultanan Buton.
[10] Dalam salah satu postingan yang diberikan oleh Yusran
Darmawan, ia mengatakan bahwa kekayaan Wa Ode Wau masih sangat besar dan saat
ini dihibahkan kepada salah satu bank yang ada di Eropa.
[11] isi biji mangga yang kering (pada musim mangga biji
mangga ini dibuang-buang), tapi pada musim paceklik isi biji mangga ini diambil
untuk dimakan
[12] sejenis umbi hutan yang jarang dimakan orang karena
beracun dan bila tidak direndam di laut beberapa hari racunnya tidak akan
hilang
[13] Yang dimaksud dengan ombatu makanan tradisional masyarakat Wakatobi yang diolah dari
biji mangga yang direndam dilaut atau di air dengan tujuan untuk menghilangkan
rasa pekat pada biji mangga tersebut. Pemanfaatan ombatu sebagai bahan makanan jika terjadi musim paceklik.
Masyarakat yang tidak mempunyai makanan akan mengumpulkan biji mangga dan
mengolahnya sebagai makanan.
[14] Hasil wawancara di kapal Kelimutu dengan babarapa
ibu-ibu yang datang belanja di Makassar, tanggal 27-28 Mei 2006.
[15] salah satu pertimbangan dalam pemilihan sultan adalah
kelayakan seorang istri untuk menjadi permaisuri. Hal ini disebabkan oleh
pandangan bahwa kesejahteraan dan kesehatan sultan dan seluruh warga masyarakat
berada di tanggung jawab permaisuri. Salah satu syarat permaisuri adalah harus
berpendidikan dan menguasai ilmu kebatianan, amala
[16] Kata negeri menurut La Niampe dalam Undang-Undang
Martabat Tujuh Buton mengacu pada perempuan dan anak-anak di samping bermakna
pada letak georafis.
[17] yang dimaksud dengan syara dalam kalimat di sini
adalah lembaga pemerintah, atau kesultanan. Maksudnya adalah biarkan lembaga
pemerintahan itu hancur asalkan iman tetap teguh.
[18] Harta Wa Ode Wau sampai dengan hari ini masih menjadi
legenda dalam masyarakat Buton. Orang-orang Buton masih percaya bahwa harta
karun Wa Ode Wau masih ada dalam beberapa tempat
BACAAN TERKAIT
Buton dan Epistemologi: Sebuah Pandangan
Wakatobi: Tapa Wa Ina Nteadari, Te sinta Teaka Sinea
BACAAN TERKAIT
Buton dan Epistemologi: Sebuah Pandangan
Wakatobi: Tapa Wa Ina Nteadari, Te sinta Teaka Sinea