Cari Blog Ini
Beranda
Budaya
(10)
Cerpen
(2)
Drama
(1)
Ekonomi
(5)
Kajian Sastra
(1)
Kelautan dan Perikanan
(1)
Kesehatan
(1)
Lingkungan
(1)
Novel
(3)
Pariwisata
(3)
Pendidikan
(1)
Pendidkan
(2)
Politik
(2)
Puisi
(1)
Sastra Puisi
(1)
Tradisi Kabanti Wakatobi
(1)
Traveling
(2)
Senin, 25 Juli 2011
Rabu, 13 Juli 2011
Ketika Hutan Lagiampa: Bukan Lagi Dewa
Oleh: Sumiman Udu
Ketika saya masih kecil, dimusim paceklik orang-orang kampungku, (Sousu, Longa, Topanuanda, dan Melai one (Bontu dan Topa)) masih memiliki ruang terakhir untuk mencari sumber karbohidrat dan protein, mereka mengenal manga wiita sebagai bahan karbohidrat dan gorau koso atau telur maleo sebagai sumber protein. Itulah sumber makanan mereka ketika musim kemarau di saat saya masih kecil dulu. Bahkan menurut mereka, “Hutan ini merupakan dewa yang selalu memberi mereka karbohidrat dan protein. Mereka juga menyadari bahwa hutan Lagiampa merupakan sumber air yang ada di sekitar. Mereka membuat mitos tentang air di sekitar hutan itu, air Ehu’u yang tawar dan menjadi sumber mata air di daerah timur pulau Wangi-Wangi. Untuk itu, bagi mereka hutan Lagiampa itu adalah Dewa yang selalu datang menolong dan menyediakan air minum, dimana hutan Lagiampa mampu menahan rembesan air laut ke darat.
Dalam kehidupan masyarakat Matahora dan Longa, hutan Lagiampa disamping menyediakan sumber karbohidrat dan protein, juga menyediakan berbagai bentuk sayuran, emba, lamabo, dan olapi atau jamur hutan dan berbagai sumber makana lainnya. Di samping itu, hutan Lagiampa juga meyediakan kayu untuk bahan bangunan. kalau anak-anak mereka mau menikah, dan mau membuat rumah, maka mereka tinggal datang ke hutan untuk mencari kayu lalu masyarakat bergotong royong membantu membuat rumah tersebut. Tidak perlu membeli.
Di samping itu, ketika anak-anak muda desa Matahora (Sousu) mempunyai hajatan dan mereka kekurangan uang, maka laki perempuan masuk hutan untuk membelah kayu bakar, kemudian mereka menjualnya. dari sumber itulah mereka memenuhi kebutuhan kelompok mereka. Hutan Lagiampa waktu itu masih menjadi Dewa.
Suatu waktu, keluarga melakukan pesta di Sousu, saya dan keluarga berkunjung ke sana, waktu itu, saya langsung minum air sumur dan itu belum terlalu asin. Tetapi ketika musim kemarau, maka mereka harus datang mengambil air Topanuanda berjarak sekitar satu setengah kilo meter. Saya bertanya "Mengapa airnya asin?" lalu mereka menjawab tidak tahu padahal dulu tidak pernah begini. Lalu salah seorang diantara mereka berkata, "Itu karena motika masih banyak".
Namun, beberapa tahun terakhir, saya mendengar pemerintah Wakatobi akan membangun Bandara Matahora, maka saya mendengar masyarakat Matahora (saudara-saudara) saya telah melakukan transaksi jual beli tanah. Mereka mau tidak mau harus menjual tanah untuk wilayah Bandara Matahora, padahal tanah-tanha itu adalah tempat mereka menenam ubi kayu, penyanggah hidup mereka. Dan karena terpaksa, masyarakat di daerah sekitar Bandara meminta kepada tim Amdal Bandara Matahora agar pemerintah Kabupetan Wakatobi untuk memberikan konpensasi kepada maasyarakat Matahora dan Longa yaitu (1) memberikan ganti rugi tanah sebagai konpensasi jangka pendek, (2) memberikan lapangan pekerjaan, kompensasi jangka menengah dan (3) memberikan pendidikan (beasiswa) serta mengakomodasi anak-anak longa dan matahora dalam pengangkatan Pegawai Negeri Sipil sebagai konpensasi jangka panjang.
Dan setelah Bandara Matahora terbangun, tanah-tanah di sekitarnya sudah berharga, maka datanglah orang-orang kaya (dari Kota, bahkan pendatang dari luar Wakatobi) untuk membeli tanah di sekitar pertanian masyarakat. Masyarakat menjual tanah dengan tidak memikirkan masa depan kehidupan mereka, dan anehnya pemerintah daerah membiarkan kelemahan masyarakat tersebut. Sejak saat itulah lahan-lahan pertanian di sekitar Longa dan Matahora terus-menerus dijual. Sementara konpensasi lapangan kerja dan pendidikan gratis bagi anak-anak mereka tidak pernah dipikirkan oleh pemerintah. Malah terakhir, pemerintah kabupaten Wakatobi bekerja sama dengan Lembaga-lembaga Internasional berusaha untuk menjadikan hutan Lagiampa yang merupakan dewa bagi masyarakat sekitarnya untuk menjadi lokasi pendirian Sekolah Internasional itu.
Maka mulailah bertanya masyarakat itu pada kompensasi kedua dan ketiga dari amdal, mana lapangan kerja yang dijanjikan di Amdal? Mana beasiswa dan mana lowongan pegawai negeri bagi anak-anak Longa dan Matahora yang disetujui pemda dalam Amdal Bandara Matahora. Dimana semua itu? Belakangan, hutan Lagiampa tempat mereka meramu mau dihancurkan lagi, lalu dimana mereka mau meramu disaat tanah pertanian mereka sudah dijual, dan dimana mereka mau minum dikala air minum mereka sudah mulai asin?
Memang mereka membutuhkan sekolah kelautan bertaraf Internasional, tetapi kepentingan masyarakat lokal juga harus didengarkan, hidup mereka harus dihargai, dan nilai-nilai adat dan budaya mereka juga harus dihormati. Jangan karena uang, jangan karena sebuah cita-cita besar melupakan nasib rakyat kecil, merusak hutan dan merusak cadangan air minum masyarakat sekitar hutan Lagiampa. Merusak rumah dewa penyelamat mereka, hutan Lagiampa yang kini suatu saat akan menjadi kenangan, dan saat itu hutan Lagiampa bukan lagi dewa.
Saya kira, saatnya masyarakat Matahora dan Longa untuk menyadari betapa mereka saat ini berada diambang bahaya, mereka akan kehilangan air minum yang tawar dan sumber karbohidarat dan protein yang tinggi. Mereka tidak dapat lagi meramu umbi-umbian di hutan, mencari telur maleo seperti dulu. Mereka juga akan kehilangan hutan Lagiampa, kerena hutan Lagiampa bukan lagi dewa bagi mereka, tetapi telah disulap menjadi lokasi sekolah internasional, yang tentunya bukan untuk mereka, karena mereka tidak memiliki kekuatan untuk kuliah di situ. Mengapa tidak dibangun di pandangkuku atau padang alang-alang, masih luasnya lahan kritis itu, mengapa harus merusak hutan?
Di sinilah, ruang kesadaran baru, bahwa hutan Lagiampa suatu saat nanti bukan lagi menjadi penyelamat laksana dewa bagi masyarakat Longa dan Matahora. Ini mungkin, bukan apa-apa, tetapi nasib dan masa depan masyarakat di sekitar hutan Lagiampa yang sedikirt banyak menggantungkan hidup pada sumber karbohidrat dan protein serta penyangga air minum mereka.
Untuk itu, kami meminta kepada pemerintah Wakatobi untuk mempertimbangkan kembali pengrusakan atau pengalihfungsian hutan Lagiampa, karena hutan Lagiampa merupakan dewa bagi masyarakat sekitarnya, sumber karbohidrat dikala musim paceklik (ubi kayu habis) dan uang tidak ada, serta penyangga air minum di masa depan. Dan ketika pengalihfungsian hutan itu terjadi, maka pasti masyarakat Longa dan Matahora tidak akan lagi memiliki dewa penolong di saat mereka lapar, disaat mereka mau minum dan mau mendirikan rumah. Mengapa? jawabannya, adalah karena hutan Lagiampa bukan lagi Dewa.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
Oleh Dr. La Niampe, M.Hum [2] 1. Siapakah Muhammad Idrus itu? Muhammad Idrus adalah Putra Sultan Buton ke-27 bernama...
-
Oleh: Sumiman Udu Kisah Tentang Wa Ode Wau sejak lama telah menjadi memori kolektif masyarakat Buton. Kekayaannya, Kerajaan Binisnya hin...
-
Bagian 1 Tobelo, negeri perompak yang paling ditakuti beberapa abad silam, bagi siapa saja di pesisir Laut B...