Langsung ke konten utama

TRANSFORMASI PERAHU LAMBO KE PEDAGANG KIOS DI KAWASAN MELANESIA




Bagian 1

              
  Tobelo, negeri perompak yang paling ditakuti beberapa abad silam, bagi siapa saja di pesisir Laut Banda. Serangan mendadak yang selalu dilakukannya, membuat negeri Tobelo sebagai negeri yang menakutkan. Namun, karena negeri ini berada pada pusat rempah-rempah dunia, maka semua orang pun tetap menghampirinya.
Akhir abad ke 19 dan sampai menjelang akhir abad dua puluh, ratusan perahu lambo lalu lalang dalam pelayaran di Nusantara timur, menghubungkan Indonesia timur sebagai pusat rempah dan Indonesia barat sebagai pusat industri. Kelapa, cengkeh, pala menjadi komoditas utama yang menjadi target siapa pun. Magnet bisnis bagi siapapun, VOC, perahu lambo (Wakatobi-Buton), Bugis, Mandar, Jawa, Melayu, Arab, India, dan China semua mengarah ke pusat rempah-rempah ini.
Kini Tobelo bukan lagi, negeri perompak, tetapi negeri peradaban yang belajar dari gesekan sosial tahun awal tahun 2000-an yang mendapatkan dampak dari kasus Maluku. Mereka akhirnya menyadari lebih memilih hidup damai daripada hidup bermusuhan. Sampai pada akhir tahun, 1980-an, perahu-perahu lambo masih memenuhi pelabuhan Tobelo, mengumpulkan rempaah-rempah, kopra dari pulau-pulau dan kampung-kampung di Halmahera Utara. H. La Tara, sesepuh Buton (Tomia) yang sudah lama di Galela mengungkapkan kisah kedatangannya di daerah ini hampir seratus tahun silam. Kenangannya kepada perahu lambo yang lalu lalang di perairan Maluku Utara. Bisnis yang dibangun hanya karena kepercayaan para pemilik rempah (kopra) kepada penakluk samudra di perahu karoro atau lambo.
Menjelang tahun 1980-an akhir, terjadi pergeseran pemikiran dari generasi perahu lambo. Berlayar dengan angin, menaklukan samudra adalah pelayaran yang penuh resiko dan penderitaan, bermandikan badai, berselimutkan angin dan beratapkan langit, adalah suasana yang hampir menghiasi setiap jejak waktu yang ada. Generasi juragan melihat penderitaan itu, kemudian menyekolahkan anak-anak mereka. “Sekolahlah Nak, jangan lagi kau jadikan gelombang sebagai bantal, biarlah ayah yang menjadikan semua ini sebagai gurat nasib yang telah ayah lalu selama bertahun-tahun”, kata salah seorang juragan perahu karoro. “Dengan sekolah, kalian dapat menikmati bantal dan kehangatan kasur, makan bersama anak istri setiap waktu, dan gelombang kalian bisa pikirkan sebagai sumber energei yang tentunya bukan meniup layar.
Anak-anak juragan dan sawi kini sekolah, perahu karoro sekarat, mati. Namun, anak-anak juragan itu tetap kembali ke negeri rempah, yang kini telah menjadi negeri harapan, bukan lagi negeri perompak. Bahkan dalam salah satu tulisannya, Saleh Hanan mengatakannya bahwa, “Ketika datang ke Tobelo, di benak kita, masih terbenteng ketakutan sejarah. Karena kita datang ke negeri perompak, tetapi rupanya ketika kita tiba, kita justru menemukan negeri cinta.
bersambung.... 


Komentar

nusaantara mengatakan…
Bung Minta gambar perahu Lambo Wakatobi, layarnya masih berkembang.
Anonim mengatakan…
Boleh tanya berapa harganya perahu lambo

Postingan populer dari blog ini

MENGUNGKAP KETOKOHAN MUHAMMAD IDRUS

 Oleh Dr. La Niampe, M.Hum [2] 1.       Siapakah Muhammad Idrus itu? Muhammad Idrus adalah Putra Sultan Buton ke-27 bernama La Badaru (1799-1823). Ia diperkirakan lahir pada akhir abad ke-18. Dilihat dari silsilah keturunannya, Beliau termasuk keturunan ke-16 dari raja Sipanjonga; raja Liya dari tanah Melayu yang pernah berimigrasi ke negeri Buton (lihat silsilah pada lampiran). Dalam naskah ”SILSILAH RAJA-RAJA BUTON” Muhammad Idrus memiliki 33 orang istri dan dikaruniai anak berjumlah 97 orang, dua orang di antaranya terpilih menjadi Sultan Buton, yaitu Muhammad Isa sebagai Sultan Buton ke-31 (1851-1861) dan Muhammad Salih sebagai Sultan Buton ke-32 (1861-1886). 2. Nama dan Gelar             Muhammad Idrus adalah nama lengkapnya. Selain itu ia juga memiliki cukup banyak tambahan atau gelaran sebagai berikut: a.       La Ode La Ode adalah gelaran bangsaw...

Buku Tembaga dan Harta karun Wa Ode Wau dalam Pelayaran Tradisional Buton

Oleh: Sumiman Udu Dalam suatu diskusi dengan teman-teman di beberapa jejaring sosial, banyak yang membicarakan tentang harta karun Wa Ode Wau. Dimana sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa harta itu masih milyaran Gulden, dan ada yang mengatakan bahwa harta karun itu tersimpan di gua-gua, ada juga yang mengatakan bahwa harta itu tersimpan di dalam tanah dan ditimbun. Berbagai klaim itu memiliki dasar sendiri-sendiri. Namun, kalau kita melihat bagaimana Wa Ode Wau memberikan inspirasi pada generasinya dalam dunia pelayaran, maka harta itu menjadi sangat masuk akal. Banyak anak cucu Wa Ode Wau (cucu kultural) yang saat ini memiliki kekayaan milyaran rupiah. Mereka menguasai perdagangan antar pulau yang tentunya di dapatkan dari leluhur mereka di masa lalu. Dalam Makalah yang disampaikan yang disampaikan dalam seminal nasional Sejarah itu, beliau mengatakan bahwa sebutan sebagai etnik maritim yang ada di Buton, sangat pantas diberikan kepada pelayar-pelayar asal kepulauan t...

Harta Kekayaan Wa Ode Wau: Antara Misteri dan Inspirasi

 Oleh: Sumiman Udu Kisah Tentang Wa Ode Wau sejak lama telah menjadi memori kolektif masyarakat Buton. Kekayaannya, Kerajaan Binisnya hingga kemampuannya memimpin kerjaan itu. Semua itu telah menjadi sebuah misteri bagi generasi muda Buton dewasa ini. Dari satu generasi ke generasi berikutnya selalu berupaya untuk menemukan harta karun itu. Dan sampai saat ini belum pernah ada yang terinspirasi bagaimana Wa Ode Wau mengumpulkan harta sebanyak itu.