
Di Buton, bekerja bukan semata menggerakkan tangan dan tenaga. Ia adalah laku hidup. Ia bernama kangkilo—sebuah etos yang merangkum hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan alam. Kangkilo bukan sekadar tradisi kerja, melainkan pernyataan moral: bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, dan setiap kelalaian akan meminta balasnya sendiri.
Namun hari ini, nilai itu seperti terkikis perlahan, hanyut bersama tanah-tanah gundul di hulu sungai dan sampah-sampah plastik yang mengapung di selokan kota.
Musim hujan belum sepenuhnya tiba di Sulawesi. Tetapi tanda-tandanya sudah mengintip dari kejauhan—dari Sumatra yang lebih dulu dilanda banjir, dari berita-berita yang datang seperti peringatan dini yang sering diabaikan. Sejarah selalu berulang dengan cara yang sama: bencana datang bukan hanya karena hujan, tetapi karena lupa.
Jika musim penghujan mencapai Sulawesi tahun ini, ancaman banjir bukan sekadar kemungkinan. Ia adalah keniscayaan yang sedang dipersiapkan secara diam-diam oleh tangan manusia sendiri.
Sungai yang Tak Lagi Jujur
Kota Kendari berdiri di persimpangan aliran sungai. Dari hulu-hulu yang seharusnya menjadi daerah resapan, air kini datang membawa lumpur, pasir, dan sisa-sisa luka pembangunan. Tambang dan pembukaan lahan di wilayah atas telah mengubah karakter sungai: dari jalur kehidupan menjadi jalur ancaman.
Air tak lagi jernih, tak lagi jujur. Ia membawa cerita tentang hutan yang dibabat, bukit yang diratakan, dan tanah yang kehilangan akarnya. Sungai yang seharusnya menenangkan kini menjadi cermin kegagalan kolektif.
Ketika air itu memasuki kota, ia bertemu dengan persoalan lain: drainase yang sempit, tersumbat, dan tak terawat. Di sinilah ironi bekerja sempurna. Kota dibangun dengan beton, tetapi lupa memberi ruang bernapas bagi air.
Sampah dan Amnesia Budaya
Lebih sunyi dari suara mesin tambang adalah sikap masyarakat yang perlahan kehilangan ingatan budayanya. Sampah dibuang sembarangan—ke selokan, ke sungai, ke tanah kosong—seolah alam adalah ruang tanpa batas, tanpa balasan.
Padahal dalam kangkilo, kebersihan bukan urusan estetika, melainkan etika. Merawat lingkungan adalah bentuk ibadah sosial. Ketika nilai ini ditinggalkan, banjir bukanlah bencana alam, melainkan bencana budaya.
Kita lupa bahwa plastik yang dibuang hari ini akan kembali sebagai genangan esok hari. Kita lupa bahwa tanah yang diperlakukan semena-mena akan menolak menampung air. Kita lupa bahwa alam tidak pernah lalai mencatat.
Investigasi yang Mengarah ke Diri Sendiri
Jika ditanya siapa yang bertanggung jawab atas banjir yang mungkin datang, jawabannya tidak sederhana. Ia tersebar: pada kebijakan yang longgar, pada pembangunan yang tergesa, pada pengawasan yang abai. Tetapi lebih dalam dari itu, ia bersemayam dalam sikap kita sehari-hari.
Investigasi ini akhirnya tidak hanya menelusuri sungai dan tambang, tetapi juga menyusuri kesadaran kolektif masyarakat. Sejauh mana kita masih mempraktikkan kangkilo? Sejauh mana kita merasa terikat dengan alam sebagai sesama ciptaan, bukan sekadar objek eksploitasi?
Menjaga Kangkilo, Menjaga Masa Depan
Menjaga kangkilo berarti menjaga keseimbangan. Membersihkan saluran air bukan sekadar kerja bakti, melainkan pernyataan bahwa kita masih peduli. Menolak perusakan hulu sungai bukan sikap anti-pembangunan, tetapi upaya menjaga keberlanjutan.
Jika nilai kangkilo kembali dihidupkan—dalam kebijakan, dalam pendidikan, dan dalam perilaku sehari-hari—maka banjir tidak harus menjadi takdir. Ia bisa menjadi peringatan yang kita dengar tepat waktu.
Karena pada akhirnya, menjaga alam bukan kerja besar yang heroik. Ia dimulai dari hal kecil: tidak membuang sampah sembarangan, menghormati sungai, dan mengingat kembali bahwa tradisi bukan barang museum, melainkan kompas hidup.
Menjaga kangkilo berarti menjaga alam. Dan menjaga alam berarti menjaga kita sendiri.
Komentar