Langsung ke konten utama

Surat Saleh Hanan Untuk Wakatobi


Dear All

Ini pertengahan tahun. Kita mengapresiasi gerakan dinas kehutanan yang mulai menumbuhkan banyak pohon di lahan-lahan savanna, terlepas dari persoalan seperti status lokasi (adat dan hutan lindung) atau fungsi savanna yang secara cultural adalah untuk tempat menanam tanaman jengka pendek bagi pendatang (emergency/tempat hidup sementara, misalnya orang yang terdampar, pengungsi dll) atau orang kampung pribumi yang tidak kebagian lahan kebun dari keluarga musim itu.

Tetapi melihat banyak fakta, kita tidak henti-henti harus berpikir kritis. Saya, anda (termasuk Bupati, kepala BTNW) harus ikhlas bercermin, “apa prestasi kita terhadap lingkungan?”. Daratan pulau Wangi-wangi sudah mau ‘botak’ dan ‘ bopeng’ karena penggalian tanah oleh perusahaan-perusahaan swasta dan tidak ada regulasi untuk ini. Pak Hajifu (kadis DKP) pernah cerita kalau beliau stress melihat galian di sekitar desa Pada Jambu sudah membahayakan pengguna jalan. Saya pikir ini contoh pejabat yang baik tetapi tidak cukup dengan stress karena sebagai pejabat anda-anda punya segalanya. Pesisir dan hamparan padang lamun tempat yang seharusnya menjadi ‘kulkas’ bagi nelayan, janda-janda, perempuan miskin yang tidak sanggup pergi ke karang untuk mendapatkan makanan dan sumber ekonomi, kini hampir habis tergali oleh penambang-penambang pasir (103 orang dari Bajo, 4 orang dari Liya Bahari dan 1 orang dari desa Numana). Ini juga didiamkan saja oleh pemerintah kita. Apakah karena alasan politik misalnya orang Bajo tidak akan lagi pilih PDIP kalau Pak Bupati melarang itu, alasan bisnis (perusakan tidak berada di lokasi dive perusahaan-perusahaan miliki para penguasa), entah? Faktanya itu. Spesial untuk penambangan pasir, lokasinya hanya sekitar 800 meter dari kantor Bupati, 300 meter dari kantor Seksi I TNW. 82 meter koma 99 centi meter dari rumah’ta Pak Nadar. Sempat terdengar isu-isu bahwa ada orang-orang TNW, polisi, orang Pemda yang mendapat saweran dari bisnis ini tapi anda semua jangan yakin kalau tidak ‘segelisah’ saya dalam mencari informasi karena informasi seperti itu tidak akan dibawakan orang ke atas meja anda atau disodorkan dari luar kaca jendela mobil dinas anda. Apa prestasi kita, ayo? Kita ‘stakeholders’ Wakatobi hanya sebatas menyusun kertas-kertas diskusi, workshop, lokakarya yang kita mulai dari bulan Januari sampai Desember. Bupati hanya mentok di pidato. Pak Bupati, sebagai kawan lama, sebagai rakyatmu saya minta mulai pikirkan fariasi menu selain pidato. Spanyol juara Eropa dan juara dunia itu saja sudah mulai jenuh public dengan ‘taka-tiki’ bolanya padahal sukses. TNC/WWF terlena bermain-main dengan Komanangi, Forkani, Komunto, Foneb (para kawan sejati yang kehilangan taji, kehilangan gigi, karena kebanyakan dilatih ‘mbikin’ proposal, diajak menghayal tentang peluang ekonomi ekowisata sama Saleh dan Manan, dll). BTNW? Hmm, hmm, hmmmMM, raksasa yang satu ini tidak memanfaatkan auranya. Mati. Jangan bilang tidak ada fasilitas, dana dan kurang personil. Semuanya sudah lebih. Lebih dan wah. Benar-benar wah. Sungguh. Uang lebih, fasilitas dari pesawat sampai speed boad sudah ada. Kantor, asrama dan pos? Fantastik. Lebih jika di bandingkan dengan kantor koramil dan polisi di Binongko yang amat kecil dan sederhana atau dibandingkan dengan kantor polsek Wangi-Wangi selatan di jantung ibukota Wakatobi yang ‘kos-kosan’. Tapi coba lihat kerja mereka, dibidangnya mereka lebih maju dari kita semua. “Apa yang kamu tunggu Ahyar. Itu lihat, Ibu Siti di seksi III Tomia, lugas, luwes, berani.”

Sebenarnya untuk soal-soal lingkungan ini (laut terutama) kita masih memiliki kawan ‘habitat’ yakni para dive operator. Tapi kawan yang satu ini lupakan saja. Dimana-mana pedagang hanya cari untung kerjanya. Sepanjang tokonya tidak terganggu, Ling Ling merasa ‘persetan’ dengan keributan atau kebakaran di tetangga, di kampung. Ada Patuno Dive, ada Mawadah, tapi stop jangan kita bahas mereka, ini bulan puasa.

(Teman kuliahku di Unhalu dulu bercerita tentang dongeng sekawan kecoa membahas manusia saat makan malam. Satu ekor diantara mereka buru-buru mencela “Husst, jangan bicarakan manusia ah, kita sedang makan”).

Baiklah, apa prestasi kita? Jangan katakan “kita sudah menerima penghargaan cagar biosfer, kita diakui UNESCO, terbukti di dunia, kita..bla..bla..bla”. Saya yakin waktu itu para penilainya kecapean di pesawat atau mabuk laut ketika di Wakatobi. Ini menurut saya lho! Loh, lihat saja, dalam soal lingkungan : BTNW tidak konsisten, pemda Wakatobi tidak komitmen.

Sekarang mari kita focus, Pak Hugua, Pak Manan, Pak Martana, Pak Eris, Pak Sugi, apa prestasi kita (mu)? Desember akan tiba beberapa hari lagi.

Mungkin ini tepat menemanimu, sebuah puisi (saya lihat di buku pada gedung PKM kampus kemaraya Unhalu, 30 menit setelah Pak Manan menjadi moderator untuk kuliah perdana dari seorang professor UGM atau apa begitu, malam hari di tahun 1990). Bunyinya : …. Setengah lingkaran bumi kusilang arah membusur, ternyata aku hanya mengembara…,

Hi, Anto ‘kandidat doctor sastra UI’ Ibrahim, silahkan kasi tahu kami apa artinya.

Selamat berpuasa, selamat hari raya Idul Fitri, ini momentum kita untuk serius.

“kulya, katakanlah” Ini kalimat pertama Pak Manan ketika membuka kuliah pertama kami di universitas waktu itu dari atas mimbar pak.



Saleh

Komentar

Anonim mengatakan…
saya juga sebagai pemuda asal wakatobi malu dengan sentilan bang SH dengan prestasi sy scara pribadi untuk wakatobi...

Postingan populer dari blog ini

MENGUNGKAP KETOKOHAN MUHAMMAD IDRUS

 Oleh Dr. La Niampe, M.Hum [2] 1.       Siapakah Muhammad Idrus itu? Muhammad Idrus adalah Putra Sultan Buton ke-27 bernama La Badaru (1799-1823). Ia diperkirakan lahir pada akhir abad ke-18. Dilihat dari silsilah keturunannya, Beliau termasuk keturunan ke-16 dari raja Sipanjonga; raja Liya dari tanah Melayu yang pernah berimigrasi ke negeri Buton (lihat silsilah pada lampiran). Dalam naskah ”SILSILAH RAJA-RAJA BUTON” Muhammad Idrus memiliki 33 orang istri dan dikaruniai anak berjumlah 97 orang, dua orang di antaranya terpilih menjadi Sultan Buton, yaitu Muhammad Isa sebagai Sultan Buton ke-31 (1851-1861) dan Muhammad Salih sebagai Sultan Buton ke-32 (1861-1886). 2. Nama dan Gelar             Muhammad Idrus adalah nama lengkapnya. Selain itu ia juga memiliki cukup banyak tambahan atau gelaran sebagai berikut: a.       La Ode La Ode adalah gelaran bangsaw...

Buku Tembaga dan Harta karun Wa Ode Wau dalam Pelayaran Tradisional Buton

Oleh: Sumiman Udu Dalam suatu diskusi dengan teman-teman di beberapa jejaring sosial, banyak yang membicarakan tentang harta karun Wa Ode Wau. Dimana sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa harta itu masih milyaran Gulden, dan ada yang mengatakan bahwa harta karun itu tersimpan di gua-gua, ada juga yang mengatakan bahwa harta itu tersimpan di dalam tanah dan ditimbun. Berbagai klaim itu memiliki dasar sendiri-sendiri. Namun, kalau kita melihat bagaimana Wa Ode Wau memberikan inspirasi pada generasinya dalam dunia pelayaran, maka harta itu menjadi sangat masuk akal. Banyak anak cucu Wa Ode Wau (cucu kultural) yang saat ini memiliki kekayaan milyaran rupiah. Mereka menguasai perdagangan antar pulau yang tentunya di dapatkan dari leluhur mereka di masa lalu. Dalam Makalah yang disampaikan yang disampaikan dalam seminal nasional Sejarah itu, beliau mengatakan bahwa sebutan sebagai etnik maritim yang ada di Buton, sangat pantas diberikan kepada pelayar-pelayar asal kepulauan t...

Harta Kekayaan Wa Ode Wau: Antara Misteri dan Inspirasi

 Oleh: Sumiman Udu Kisah Tentang Wa Ode Wau sejak lama telah menjadi memori kolektif masyarakat Buton. Kekayaannya, Kerajaan Binisnya hingga kemampuannya memimpin kerjaan itu. Semua itu telah menjadi sebuah misteri bagi generasi muda Buton dewasa ini. Dari satu generasi ke generasi berikutnya selalu berupaya untuk menemukan harta karun itu. Dan sampai saat ini belum pernah ada yang terinspirasi bagaimana Wa Ode Wau mengumpulkan harta sebanyak itu.