Langsung ke konten utama

Postingan

Waktu sebagai Amanah: Renungan Sastra dan Filsafat

  Renungan | Etika Hidup di Hadapan Detik yang Terbatas Waktu tidak pernah benar-benar menjadi milik manusia. Ia hanya singgah, lalu pergi. Dalam hampir semua kebudayaan dan keyakinan, waktu diperlakukan bukan sebagai benda bebas pakai, melainkan sebagai titipan—amanah yang kelak dipertanggungjawabkan. Maka menyia-nyiakan waktu bukan sekadar kelalaian, tetapi persoalan etika yang menyentuh inti kemanusiaan. Renungan ini lahir sebagai lanjutan dari kegelisahan bersama: mengapa manusia begitu mudah menghamburkan waktu, terutama waktu kebersamaan, seolah hidup menyediakan cadangan yang tak terbatas. Agama: Waktu yang Akan Dimintai Pertanggungjawaban Dalam tradisi agama, waktu hampir selalu disumpahkan. Ia disebut, diingatkan, bahkan dijadikan saksi. Pesannya seragam: manusia berada dalam kerugian jika tidak memaknai waktu dengan iman, kebaikan, dan kesabaran. Setiap detik dipandang sebagai kesempatan berbuat baik, atau sebaliknya, peluang kehilangan makna. Dalam renungan keagamaan, me...
Postingan terbaru

Menyia-nyiakan Waktu sebagai Persoalan Etika

  Opini | Ketika Waktu Tidak Lagi Dihormati Waktu bukan sekadar ukuran jam dan kalender. Ia adalah ruang hidup, tempat nilai-nilai kemanusiaan diuji. Cara seseorang memperlakukan waktu—miliknya sendiri maupun milik orang lain—sesungguhnya mencerminkan etika terdalam yang ia anut. Ketika waktu disia-siakan, yang rusak bukan hanya jadwal, melainkan martabat relasi manusia. Opini ini menempatkan menyia-nyiakan waktu bukan sebagai kelalaian kecil, tetapi sebagai persoalan etika. Sebab waktu adalah sesuatu yang tak pernah bisa dikembalikan, namun kerap diperlakukan seolah tak bernilai. Waktu dan Tanggung Jawab Moral Setiap manusia hidup dalam batas. Umur terbatas, tenaga terbatas, dan waktu adalah batas yang paling tegas. Karena itu, waktu sejatinya adalah amanah. Ia menuntut tanggung jawab moral dalam penggunaannya. Ketika seseorang berjanji hadir tetapi datang tanpa kehadiran batin, ketika kebersamaan dijalani tanpa tujuan dan kepedulian, di situlah etika waktu dilanggar. Menyia-nyiak...

Menjaga Kangkilo, Menjaga Alam

Di Buton, bekerja bukan semata menggerakkan tangan dan tenaga. Ia adalah laku hidup. Ia bernama kangkilo —sebuah etos yang merangkum hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan alam. Kangkilo bukan sekadar tradisi kerja, melainkan pernyataan moral: bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, dan setiap kelalaian akan meminta balasnya sendiri. Namun hari ini, nilai itu seperti terkikis perlahan, hanyut bersama tanah-tanah gundul di hulu sungai dan sampah-sampah plastik yang mengapung di selokan kota. Musim hujan belum sepenuhnya tiba di Sulawesi. Tetapi tanda-tandanya sudah mengintip dari kejauhan—dari Sumatra yang lebih dulu dilanda banjir, dari berita-berita yang datang seperti peringatan dini yang sering diabaikan. Sejarah selalu berulang dengan cara yang sama: bencana datang bukan hanya karena hujan, tetapi karena lupa. Jika musim penghujan mencapai Sulawesi tahun ini, ancaman banjir bukan sekadar kemungkinan. Ia adalah keniscayaan yang sedang dipersiap...

Talas Kaya Nutrisi, Peneliti Pangan Serukan Optimalisasi sebagai Sumber Karbohidrat Lokal Bernilai Tinggi

Talas atau keladi (Colocasia esculenta) kembali menarik perhatian kalangan peneliti pangan dan kesehatan setelah sejumlah kajian menunjukkan bahwa umbi ini memiliki kandungan gizi yang kompetitif dibanding sumber karbohidrat populer seperti beras dan kentang. Di tengah meningkatnya kampanye diversifikasi pangan lokal, talas dinilai memiliki peluang besar untuk dikembangkan sebagai komoditas strategis. Data komposisi pangan menunjukkan bahwa setiap 100 gram talas mengandung sekitar 112 kalori dengan 26,9 gram karbohidrat, menjadikannya sumber energi yang cukup tinggi. Selain itu, talas menyediakan 2,3 gram serat, 1,5 gram protein, serta hanya 0,2 gram lemak. Di sisi mikronutrien, talas memiliki kandungan vitamin C (4,5 mg), vitamin B6 (0,1 mg), kalium (591 mg), fosfor (84 mg), dan magnesium (43 mg). Menurut para ahli, tingginya serat dan karbohidrat kompleks pada talas membuatnya lebih lambat dicerna, sehingga dapat membantu menjaga kestabilan kadar gula darah. “Talas memiliki indeks ...

Talas Kaya Nutrisi, Peneliti Serukan Optimalisasi sebagai Pangan Lokal Bernilai Tinggi untuk Mendukung Pariwisata Wakatobi Berita:

Kambalu Talas atau keladi (Colocasia esculenta) kembali mendapat sorotan dari kalangan peneliti pangan setelah berbagai kajian menunjukkan bahwa umbi lokal ini memiliki nilai gizi tinggi dan potensi ekonomi yang besar. Di tengah upaya nasional mendorong diversifikasi pangan lokal, talas kini dipandang sebagai komoditas strategis yang layak dikembangkan, terutama di daerah wisata seperti Kabupaten Wakatobi. Data komposisi pangan menunjukkan bahwa setiap 100 gram talas mengandung 112 kalori, 26,9 gram karbohidrat, 2,3 gram serat, 1,5 gram protein, serta berbagai mikronutrien penting seperti vitamin C, vitamin B6, kalium, fosfor, dan magnesium. Kandungan serat dan karbohidrat kompleksnya dinilai mampu membantu menjaga kestabilan gula darah dan memberikan energi berkepanjangan, sementara antioksidan alami di dalamnya berpotensi melindungi tubuh dari stres oksidatif. Menurut sejumlah peneliti pangan, potensi talas bukan hanya terletak pada kandungan gizinya, tetapi juga pada peluang penge...

Sanggar Mustika Budaya Menari di Ruang Siar: Ketika Akulturasi Menemukan Panggungnya

 Langit Kendari sore itu berwarna tembaga, seolah ikut memanggil orang-orang untuk berkumpul di ruang siar RRI. Di sana, di sebuah studio yang biasanya dipenuhi suara penyiar dan gemerisik berita, hari itu yang terdengar adalah denting gamelan dan desir langkah para penari muda. Sanggar Mustika Budaya datang bukan sekadar untuk menari—mereka datang untuk bercerita. Di hadapan para tamu dan pendengar, Dr. Laxmi, Ketua Pengabdian Kepada Masyarakat, membuka diskusi dengan suara yang tenang namun tegas. Ia berbicara tentang kelompok-kelompok seni Jawa perantauan, tentang bagaimana mereka menjaga denyut budaya di tanah baru. “Seni ini bukan hanya milik satu etnis,” ujarnya sambil sesekali menatap para penari yang sedang bersiap. “Ini adalah ruang bagi siapa pun yang ingin merawat harmoni.” Di sampingnya, Dr. Sumiman Udu, tenaga ahli yang lama mengamati dinamika budaya di Sulawesi Tenggara, mengangguk pelan. Baginya, kebudayaan adalah sungai besar—dan para perantau adalah arus kecil ya...

Apa Nama Daun Itu? Benarkah Ada Petunjuk bagi Riset Akademis tentang Obat Tradisional Anti-Kanker Payudara?

Laporan Bergaya Sastra Etnografi dari Desa Wungka, Wakatobi Sore itu, cahaya matahari di Wungka merayap pelan di antara pepohonan kelapa, menyentuh tanah merah yang masih hangat. Dari kejauhan, tampak seorang perempuan muda melangkah tertatih keluar dari sebuah mobil sewaan. Ia baru beberapa minggu keluar dari rumah sakit di kota—rumah sakit yang akhirnya mengizinkannya pulang setelah terapi modern tak memberi harapan lebih. Wajahnya pucat, tubuhnya semakin kurus, namun matanya masih menyisakan secercah tekad untuk terus hidup. Di belakangnya, seorang lelaki paruh baya berjalan mengikuti. Ia keluarga dekat perempuan itu—penjaga, pengantar, sekaligus satu-satunya orang yang setia mencari jalan sembuh baginya. Mereka datang ke desa itu karena satu nama yang hanya disebutkan pelan oleh seorang perawat tua: “Cobalah ke Wungka… ada seorang nenek yang masih menyembuhkan dengan cara lama.” Nenek itu dikenal sebagai Sang Dukun , meski warga lebih sering memanggilnya dengan lembut, “Ina Maj...