Renungan | Etika Hidup di Hadapan Detik yang Terbatas Waktu tidak pernah benar-benar menjadi milik manusia. Ia hanya singgah, lalu pergi. Dalam hampir semua kebudayaan dan keyakinan, waktu diperlakukan bukan sebagai benda bebas pakai, melainkan sebagai titipan—amanah yang kelak dipertanggungjawabkan. Maka menyia-nyiakan waktu bukan sekadar kelalaian, tetapi persoalan etika yang menyentuh inti kemanusiaan. Renungan ini lahir sebagai lanjutan dari kegelisahan bersama: mengapa manusia begitu mudah menghamburkan waktu, terutama waktu kebersamaan, seolah hidup menyediakan cadangan yang tak terbatas. Agama: Waktu yang Akan Dimintai Pertanggungjawaban Dalam tradisi agama, waktu hampir selalu disumpahkan. Ia disebut, diingatkan, bahkan dijadikan saksi. Pesannya seragam: manusia berada dalam kerugian jika tidak memaknai waktu dengan iman, kebaikan, dan kesabaran. Setiap detik dipandang sebagai kesempatan berbuat baik, atau sebaliknya, peluang kehilangan makna. Dalam renungan keagamaan, me...
Opini | Ketika Waktu Tidak Lagi Dihormati Waktu bukan sekadar ukuran jam dan kalender. Ia adalah ruang hidup, tempat nilai-nilai kemanusiaan diuji. Cara seseorang memperlakukan waktu—miliknya sendiri maupun milik orang lain—sesungguhnya mencerminkan etika terdalam yang ia anut. Ketika waktu disia-siakan, yang rusak bukan hanya jadwal, melainkan martabat relasi manusia. Opini ini menempatkan menyia-nyiakan waktu bukan sebagai kelalaian kecil, tetapi sebagai persoalan etika. Sebab waktu adalah sesuatu yang tak pernah bisa dikembalikan, namun kerap diperlakukan seolah tak bernilai. Waktu dan Tanggung Jawab Moral Setiap manusia hidup dalam batas. Umur terbatas, tenaga terbatas, dan waktu adalah batas yang paling tegas. Karena itu, waktu sejatinya adalah amanah. Ia menuntut tanggung jawab moral dalam penggunaannya. Ketika seseorang berjanji hadir tetapi datang tanpa kehadiran batin, ketika kebersamaan dijalani tanpa tujuan dan kepedulian, di situlah etika waktu dilanggar. Menyia-nyiak...