PEMDA WAKATOBI HARUS TANGGAP : SECARA SOSIOLOGI BUDAYA, KEHADIRAN LEMBAGA ADAT DI LIYA, WANGI-WANGI TIDAK DIPERLUKAN
OLEH : HUMAS KABALI
Berdasarkan hasil kajian sosiologis tradisi budaya Liya, disimpulkan
bahwa keberadaan Lembaga Adat Liya yang ada saat ini sama sekali tidak
diperlukan oleh masyarakat Liya mengingat bahwa secara turun temurun
hingga saat ini charisma kewibawaan Sara Liya (bobato Liya) masih sangat
disegani oleh masyarakat adat Liya. Apalagi sejak tanggal 25 Juli 2012
Meantu,u Liya (di Liya dikenal dengan nama Lakina, atau Moori atau Raja)
telah dilantik secara adat oleh Sultan Buton di Keraton Buton. Dampak
positif dari telah dilantiknya Raja Liya tersebut yang dipegang oleh
Mumammad Haris (anak Raja Liya terahir), maka saat ini telah disusun
perangkat sara Liya yang terdiri dari 12 orang Bobato Liya atau pemangku
tertinggi adat Liya sebagai perangkat pemerintahan Raja Liya. Meskipun
kehadiran Raja Liya dan perangkatnya sebagai suatu sistem pemerintahan
tradisional masa lalu tidak begitu tenar dibicarakan saat ini diranah
nasional, namun tidaklah begitu salah keberadaan mereka saat ini
mengingat bahwa nilai-nilai sistem hukum adat tradisional di masyarakat
Liya hingga saat ini dalam kehidupan sehari-hari masih berlaku mutlak
.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 5 tahun 2007 tentang Pedoman
Penataan Lembaga Kemasyarakatan,pada bab I Ketentuan Umum, Pasal 1,
ayat 15. Disebutkan bahwa Lembaga Adat adalah Lembaga Kemasyarakatan
baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan
berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam suatu masyarakat hukum
adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam
hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur,
mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang
berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang
berlaku. Dalam keterangan ayat 15 tersebut sangatlah jelas bahwa yang
dimaksud dengan Lembaga Adat yang secara wajar telah tumbuh dan
berkembang dalam sejarah masyarakat Liya adalah Sara Liya yang dikenal
dengan Bobato Liya. Bobato Liya inilah sebenarnya berfungsi sebagai
Lembaga Adat karena ditangan merekalah yang mengatur segala sistem adat
dan hukum adat yang berlaku di masyarakat Liya bukan lembaga adat yang
baru dibentuk seperti yang terjadi saat ini.
Masyarakat Liya
sampai saat ini sangat tunduk atas azas system adat dan hokum adat yang
berlaku di Liya termasuk juga batas-batas wilayah hak ulayat adat.
Menurut DR (kandidat) Sumiman Udu, M.Hum mengatakan bahwa di Liya tidak
diperlukan hadirnya Lembaga Adat, sebab masyarakat masih tunduk dan taat
atas azas system adat dan hokum adat yang dimiliki oleh sara Liya
(bobato Liya), sehingga keberadaan Lembaga Adat yang ada saat ini akan
menjadi mubasir jika para sara Liya tidak mau menyetujui
keputusan-keputusan yang diambil oleh Lembaga Adat ini.
Oleh
karena itu, Lembaga Forum Komunikasi Kabali Indonesia menghimbau agar
para pengurus Lembaga Adat Liya saat ini sebaiknya mempertimbangkan
dengan baik keberdaan lembaga yang dibentuknya supaya masyarakat Liya
tidak menjadi bingung dalam penegakan adat istiadat, tradisi dan budaya
mengingat Sara Liya (bobato Liya) masih memiliki kewibawaan untuk
mengatur masyarakatnya apalagi saat ini telah terbentuk bobato Liya
dengan 12 orang kepala Sara yang dipimpin oleh Raja Liya (meantu,u
Liya). Raja Liya dan perangkatnya inilah merupakan partnership
pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi dalam mengatur sistem masyarakat
adat di wilayahnya dan penghubung antara kepentingan masyarakat adat dan
pemerintah. Dengan demikian Pemerintah Daerah kabupaten Wakatobi sudah
saatnya merangkul Raja Liya dan perangkatnya sebab ditangan merekalah
merupakan kedaulatan tertinggi penegakan sistem adat dan hukum adat
masyarakat Liya, termasuk dalam mengurusi sejarah, budaya tradisi dan
atad istiadat dan batas-batas tanah hak ulayat adat milik sara Liya.
Jangan samakan struktur sara Liya dengan struktur sara mandate atau
Wanci, sebab struktur sara Liya terdiri dari Lakina (Raja) Liya
didampingi oleh 12 orang kepala Sara (bobato Liya) tidak dimiliki oleh
sara Mandati dan Sara Wanci, sebab di wanci dan Mandati tidak memiliki
Lakina (Raja) kecuali hanya kepala Sara. Dan hanya Raja Liya ketika masa
kesultanan buton diberi tiga gelar atau kekuasaan yakni Raja Liya
sebagai Lakina Liya, Raja Liya sebagai Sarana Wolio dan Raja Liya
sebagai Bobato Mancuana Matanayo.
Pergeseran nilai-nilai
pemerintahan tradisional kesultanan buton mulai bergeser atas
kepentingan Belanda ketika telah ditanda tangani perjanjian
Brughman-Asykin pada tahun 1902 dan kemudian dibentuklah 18 buah distrik
di wilayah kesultanan buton termasuk distrik wangi-wangi. Saat itu di
wangi-wangi hanya dikenal 4 buah desa yakni desa Liya, desa Wanci, desa
Manadati dan desa Kapota. Seiring dengan perjalanan waktu supaya Belanda
mudah memungut pajak di wilayah distrik wangi-wangi, maka beberapa
gelar pemerintah tradisional di Liya dihapus, seperti bobato Mancuana
Matanayo Liya, Sabandara dan Bonto. Dilain pihak di Wanci, Mandati dan
Kapota di angkat Mo;ori atau Raja dengan maksud melalui raja-raja
bentukan ini masyarakat di wilayahnya bisa tunduk membayar pajak ke
petugas-petugas resmi yang di pekerjakan oleh Belanda. Kalau di Wanci,
Mandati dan Kapota ada Lembaga Adatnya, biarkan saja sebab struktur sara
yang mereka miliki tidak sama dengan Liya, tak ada karma-kaarmaan
disana. Kalau di Liya sampai saat ini masih berlaku hukum karma yakni
“bala’o.” dalam artian “bara otapa kita waile te karamah u togo, ta
hisabu aorunguto.” ****
Diposkan oleh Ali Habiu di 08:25
Label: lembaga aday Liya tak diperlukan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar