ERA PURBA VS MODERN KAJIAN NILAI DAN IDEOLOGI KESEIMBANGAN KEKUASAAN MOMENTUM SUKSESI BAUBAU-SULTRA 2012
Oleh:
Bia Wakatobi

Sebentar lagi perhelatan pemilukada di BauBau dan Sulawesi Tenggara
akan digelar. Momentum ini tentu memberi isyarat harap-harap cemas
antara terwujudnya pemimpin yang diharapkan berhadapan dengan resiko
stagnan nya harapan akselerasi pembangunan dikedua daerah ini.
Berikut ini, sebagai putra daerah yang tumbuh besar di negeri orang
(Samarinda, Red) merasa berkepentingan untuk menurunkan analisis sisi
suksesi (pergantian kepemimpinan) dengan harapan menjadi pencerdas
terhadap masyarakat pembaca akan wujud harapan kemakmuran dan
kesejahteraan yang menjadi buah peran pemimpin terpilih hasil pemilukada
kedua daerah berpengaruh di Sulawesi Tenggara tersebut.
Dalam
sadar dan tidak sadar, nilai telah menjadi keyakinan dan penuntun diri
manusia dan menganyam perkembangan masyarakat. Manusia dan masyarakat
dalam setiap tahap perkembangan membutuhkan ideologi sebagai pandangan
hidup. Dalam arti nilai-nilai menjadi keyakinan hati manusia dan nurani
masyarakat, sedangkan ideologi sebagai pandangan hidup yang membingkai
manusia dan masyarakat dalam setiap gerak dan langkah hidup dan
kehidupan.
Seorang anak manusia yang tidak mempunyai kesadaran
keyakinan nilai dan pandangan hidup, tentu hanya berteori dan hanya
bekata-kata dalam berkonsep. Manusia demikian tidak lebih sebagai robot,
hanya sekedar berkata-kata tanpa pijakan nilai dan ideologi. Manusia
serba praktis-pragmatis dan di saat tertentu penuh kesepian dan
kehampaan.
Manusia yang tidak menunaikan kewajiban tetapi tidak
malu menggunakan hak-nya. Manusia ujung-ujung duit (UUD), mempawaikan
kekuasaan dan memamerkan kepentingan yang tidak senonoh.
Nilai
bermakna sesuatu yang berharga, tumbuh berkembang dalam hati manusia dan
nurani masyarakat. Dikatakan nilai apabila diyakini dalam berproses
untuk menjadi, membentuk hati nurani dan menganyam pola berpikir serta
berwujud nyata dalam tingkah laku manusia yang membangun kehidupan
bermasyarakat sehari-hari.
Pembentukan pola pikir dalam bingkai
pandangan hidup manusia yang bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di
sebut ideologi. Melalui ideologi, manusia mengolah pikiran dalam model
teori untuk mempengaruhi pikiran orang lain dalam menganyam kehidupan
bermasyarakat.
Penyederhanaan teori dalam rumusan konsep yang
dilaksanakan demi membangun hidup dan kehidupan bersama yang lebih baik.
Dengan demikian diperlukan kecerdasan intelektual untuk memahami ilmu
pengetahuan yang mempunyai roh nilai dan berjiwakan ideologi, bertubuh
teori yang beranggota tubuh konsep dalam membangun hidup dan kehidupan.
Secara hakiki nilai bertumbuh, berkembang dan membentuk kepribadian
seorang manusia. Proses berkembang nilai dalam diri manusia sangat
ditentukan oleh lingkungan masyarakat yang membentuknya sebagai makhluk
sosial (zoon politicon). Sesungguhnya dalam diri seseorang telah
dikaruniai secara kodrati nilai sebagai manusia (nilai kemanusiaan),
membedakannya dengan makhluk hidup lain.
Keluarga menjadi
faktor internal penentu walaupun faktor utama tetap dalam diri manusia
itu sendiri. Kemudian lingkungan masyarakat yang luas dan kompleks
sebagai faktor eksternal (nilai sosial). Nilai kemanusiaan dalam diri
seseorang terukur dalam proses tumbuh dan berkembang anak manusia itu
dengan sesama dalam keluarga dan lingkungan sosialnya.
Manusia
dalam keluarga dan lingkungan masyarakat purba (abad-VI SM), nilai
kemanusiaan yang tumbuh dan berkembang sangat individual. Ditandai
dengan kekuatan dan kekerasan yang ditonjolkan, homo homini lupus,
manusia menjadi srigala dari manusia lain. Masyarakat purba mempunyai
hukum “siapa yang kuat memangsa yang lemah” (hukum rimba/hukum alam).
Dalam perkembangan semakin bertambah populasi, manusia tidak dapat
mengelak dari kebutuhan akan sebuah aturan hukum hidup bersama yang
lebih beradab. Keperluan aturan hukum untuk meminimalisir pengutamaan
kekuatan dan peragaan kekerasan sosial oleh para penguasa purba. Era
tradisional menjemput manusia dan masyarakat kepurbaan dalam semboyan
ubi societas ibi ius, “di mana ada masyarakat di situ ada hukum” (hukum
masyarakat), dikenal dengan masyarakat tradisional (abad ke IV SM – V
M).
Kehidupan manusia dalam masyarakat purba, mempertahankan
nilai kemanusiaannya melalui jalan kekerasan, menandakan pengutamaan
ketahanan dan kepentingan individu serta kelompok. Sedangkan kehidupan
manusia dalam masyarakat tradisional, yang diutamakan ketertiban bersama
dan kepentingan umum.
Dalam tahap perkembangan manusia dan
masyarakat dari zaman purba yang mengutamakan nilai kemanusiaan
individual (nilai individu) bergeser ke tahap perkembangan manusia dan
masyarakat tradisionnal yang mengutamakan nilai kemanusiaan bersama
(nilai komunal), mengisyaratkan manusia mulai menyadari kepentingan
bersama (public) sebagai makhluk sosial di samping kepentingan diri dan
kelompok (ego) sebagai makhluk individu.
Tarik menarik
kepentingan diri (ego) dan kepentingan umum (public) dalam diri
seseorang, menandai tahap bertumbuh, berproses nilai tradisional dalam
hati dan keyakinan seorang anak manusia. Konflik nilai purba versus
nilai tradisional dalam diri manusia dan perkembangan masyarakat,
memungkinkan tampilnya nilai religius (religio ego sun) menganyam
masyarakat abad pertengahan (abad V – abad XV).
Nilai religius
menawarkan keselamatan hidup akhirat bagi umat manusia yang selalu
mengejar keselamatan duniawi dalam konflik kepentingan diri versus
kepentingan sosial. Tawaran keselamatan hidup akhirat di era mulai
berpengaruhnya agama, membantu tahap perkembangan masyarakat dalam
anyaman nilai modern yang ditandai kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi (abad XVII – abad XIX).
Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi menandai munculnya manusia dan masyarakat rasional (moderen)
sebagai lawan manusia dan masyarakat purba, tradisional yang irasional.
Baik manusia purba dan manusia tradisonal beserta masyarakat yang
dihasilkan ditandai dengan keirasionalan yang lebih menguasai pola pikir
dan pola kehidupan mereka.
Dalam arti bahwa pola pikir purba
dan tradisional, juga pola pikir religius dan modern tentu tetap
mewarnai kehidupan manusia dan masyarakat dalam perkembangan sampai kini
dan akan datang. Namun yang paling berpengaruh tentu sesuai situasi dan
kondisi tertentu saat itu, sekarang, dan akan datang yang menunjukan
nilai-nilai dan tahapan masyarakat mana yang lebih dominan.
Dengan demikian dalam proses perkembangan diri seorang anak manusia dan
masyarakat, tidak terhindarkan saling berpengaruh nilai-nilai (purba,
tradisional, religius, modern) dengan karakter dan cirinya
masing-masing.Dalam perkembangan nilai religius yang memediasi konflik
nilai purba versus nilai tradisional, melahirkan nilai modern dengan
masyarakat modern dalam semboyan corgito ego sun, “saya berpikir maka
saya ada”. Pencermatan nilai modern dengan masyarakat modern menganyam
ideologi sosialis versus ideologi kapitalis.
Tercermati bahwa
Ideologi sosialis sebagai pola pikir menganyam kelanjutan masyarakat
tradisional yang rasional, sedangkan ideologi kapitalis sebagai pola
pikir mereinkarnasi masyarakat purba yang rasional di era kekinian.Dalam
arti bahwa feodalisme yang menjadi watak kekuasaan dan ciri masyarakat
tradisional, terformat kembali dalam manusia dan masyarakat modern
sosialis. Sedangkan andalan kekuatan dan kekerasan yang menjadi watak
kekuasaan dan ciri masyarakat purba tereinkarnasi dalam manusia dan
masyarakat moderen kapitalis.
Nilai dan ideologi membelenggu,
memperbudak atau memerdekakan, memanusiakan? Merupakan sebuah pertanyaan
menggelitik kebatinan, kerohanian seorang anak manusia demi mengoreksi
dan mengevaluasi suatu perkembangan diri. Perkembangan diri yang
berkorelasi erat dengan perkembangan masyarakat sebagai buah pikiran dan
karya, terutama ditujukan kepada manusia para pemimpin.
Manusia para pemimpin yang dipercayakan Rakyat dan Umat untuk memimpin
di berbagai lini kekuasaan demi membawa perubahan kehidupan masyarakat
ke arah yang lebih baik dari hari kemarin. Apalagi manusia para pemimpin
yang tidak dalam kesadaran merajut keyakinan nilai dan menganyam
ideologi dalam hidup dan kehidupannya secara cermat dan cerdas. Bahkan
kurang meyakini nilai dan minus pemahaman ideologi dalam merajut
perubahan sosial yang lebih baik.
Tentu berdampak dunia para
pemimpin serba praktis pragmatis, tidak kaya nilai dan miskin makna.
Dunia para pemimpin terjebak dalam nilai dan ideologi yang membelenggu
kepentingan diri, kelompok dan golongan. Menerapkan kekuasaan beraroma
feodal, hanya mengatasnamakan Rakyat, Umat dan demi Kepentingan Umum
sekedar formalitas dan sebatas program dan anggaran.
Namun
selesai jangka waktu program dan habis anggaran, serta berakhir periode
kepemimpinan, sering Rakyat, Umat yang menderita, miskin, rawan pangan,
gizi buruk, buta huruf, kering rohani, tidak mengalami perubahan
kehidupan yang lebih baik.
Para pemimpin sering tidak
memperbaharui hidup secara maksimal dan berkacamata kuda dalam
penghayatan nilai-nilai. Kualitas dunia para pemimpin yang tidak
reformatif, sebagai dampak kurang cermat memahami ideologi, berujung
ketidak-konsistenan berpikir dan bersikap.
Ketidak-konsistenan
dalam mewujudkan hal-hal yang pernah dikumandangkan melalui janji-janji
kampanye dan khotbah melalui mimbar kepada masyarakat. Kondisi demikian
sesungguhnya menandakan sedang terjadi krisis nilai dan ideologi dalam
dunia para pemimpin. Perlu kesadaran bahwa sesungguhnya semangat
kehidupan purba dan spirit kekuasaan tradisional secara aktual sedang
terjadi, dipraktekan dalam dunia para pemimpin di era sekarang.
Melalui kekuasaan yang diberikan rakyat dan umat, dunia para pemimpin
mempraktekan kekuasaan yang menggejalakan pengutamaan kepentingan diri
dan kelompok, menyederhanakan setiap pemecahan masalah sosial dengan
anggaran (uang), kemudian tidak efisien dan efektif penggunaan untuk
kepentingan Rakyat dan Umat. Karena dari lima agenda Reformasi 1998
(Amandemen UUD 1945, Hapus Dwi Fungsi ABRI, Percepat Pemilu, Pemerataan
Pembangunan ke Daerah, Berantas Korupsi), hanya agenda pemeberantasan
korupsi yang secara telanjang menampakan kegagalan pemerintah dari satu
regim ke regim yang lain telah gagal untuk memberantas.
Feodalisme kekuasaan yang mengatasnamakan rakyat dan memanipulasi
keberadaan umat dengan anggaran, kenyataan lebih banyak diperuntukan
jalan-jalan para pemimpin dengan dayang-dayang birokrasi, para pengawal
politik, serta para utusan/mediator para penguasa dan pengusaha, serta
kroni-kroni dari ibukota Negara sampai ke kabupaten/kota di seluruh
Indonesia dan secara khusus pula sulit terelakkan untuk Sulawesi
Tenggara.
Pawai kekuasaan yang tidak populis mencitrakan
penikmatan status sosial yang diemban, menjadikan kepemimpinan kurang
efisien dan efektif, terjadi hampir di setiap daerah Kabupaten/Kota dan
Propinsi di seluruh Indonesia. Kemudian dikumandangkan dalam pawai
pemberitaan mengenai kerinduan dan romantisme kekangenan Rakyat dan Umat
dalam setiap menjemput dan menerima para pemimpin yang jalan-jalan ke
daerah dan desa-desa serta kelurahan.
Terluput dari pawai
pemberitaan antara lain tentang bagaimana masyarakat di daerah dan
desa-desa,kelurahan kesulitan memasarkan hasil pertanian, karena jalan
raya rusak atau tidak ada jalan yang menghubungkan daerah basis
pertanian dengan kediaman rakyat dan umat. Pada hal sesungguhnya hasil
pertanian menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat, terutama juga
untuk membiayai masa depan pendidikan anak-anak. Sekaligus dari hasil
pertanian rakyat itu, dapat terantisipasi krisis pangan yang menggelobal
bagi Indonesia.
Dalam diri para pemimpin melekat hakekat
kemanusiaan sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial. Sebagai
makhluk individu sering menampilkan dunia para pemimpin yang
mengutamakan kepentingan diri, kelompok, golongan berdampak merugikan
kepentingan sosial.
Sedangkan sebagai makhluk sosial mewarnai
dunia para pemimpin mengutamakan kepentingan sosial dengan mengorbankan
kepentingan diri dan keluarga, kelompok dan golongan. Walaupun realitas
sosial menampilkan dunia para pemimpin lebih diliputi spirit keyakinan
nilai purba berselimut nilai modern dengan baju ideologi kapitalis.
Tertampilkan kepentingan diri dan kelompok yang diutamakan,
menyederhanakan pemecahan masalah dengan anggaran (uang), tanpa melalui
kajian mendalam. Mudah ditebak bahwa terjadi kebocoran anggaran dan KKN
tetap terus menggurita.
Namun masyarakat sudah paham bahwa
hukum senantiasa belum mampu membantu clean government, karena terjebak
dalam pola penegakan tebang pilih yang lebih mengutamakan Kepastian
Hukum dengan mengabaikan Kegunaan Hukum. Apalagi wilayah-wilayah
kekuasaan yang tidak dapat terjangkau dengan jaring-jaring hukum,
bertumbuh subur praktek-praktek kekuasaan yang korup, praktek politik
balas budi.
Secara rasional tentu dunia para pemimpin tidak
mungkin mengorbankan kepentingan kelompok, apalagi kepentingan diri
untuk lebih mengutamakan kepentingan umum. Namun dalam berbangsa dan
bernegara telah dikumandangkan jimat “kepentingan umum diletakan di atas
kepentingan pribadi dan golongan”.
Jimat yang mengisyaratkan
dunia para pemimpin dipenuhi roh tradisional berselimut nilai moderen
dengan anyaman ideologi sosialis. Permasalahan bermasyarakat, berbangsa
dan berNegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam berideologi mulai
muncul. Apakah bangsa Indonesia yang diproklamasikan oleh
Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945 atas nama Bangsa Indonesia,
berideolgi Sosialis atau berideologi Pancasila atau berideologi
Kapitalis? Tentu jawabannya Ideologi Pancasila, yang dapat dipahami
secara de yure sedangkan de facto belum tentu.
Dalam
pelaksanaan pembangunan muncul konsep pembangunan manusia seutuhnya
sebagai bentuk pengamalan terhadap Pancasila yang dikedepankan oleh T.B
Simatupang. Konsep demikian menghendaki dalam dunia para pemimpin harus
mampu untuk menyeimbangkan kepentingan individu, kelompok dengan
kepentingan umum dalam pelaksanaan pembangunan.
Dalam arti
antara kepentingan diri dan kelompok para pemimpin dengan kepentingan
umum harus diseimbangkan. Apabila para pemimpin mampu menyeimbangkan,
tentu terimplementasikan kepemimpinan yang bijaksana, kepemimpinan
beridelogi Pancasila yang menyeimbangkan ideologi Kapitalis dengan
ideologi Sosialis. Penerapan kepemimpinan manusia setengah dewa. Karena
kalau kepemimpinan terjerembab dalam pengutamaan kekuasaan untuk
kepentingan diri, keluarga, kelompok dan golongan, maka tentu lebih
menghidupkan suasana setan kapitalisme. Begitupun kepemimpinan yang
mengutamakan kepentingan umum dengan mengabaikan kepentingan golongan
dan kelompok, bahkan mengorbankan kepentingan diri dan keluarga, maka
tentu lebih menghidupkan suasana iblis sosialisme. Di titik
keseimbangan, menserasi-selaraskan kapitalisme dengan sosialisme, dapat
ditemukan, terjadi pencapaian keadaan kehidupan kemanusiaan Pancasila.
Dengan demikian mungkin tidak akan pernah terjadi polemik yang tidak
berkesimpulan: di kalangan elite politik tentang paham ekonomi
kerakyatan dengan ekonomi neo liberal, di kalangan elite hukum tentang
penenegakan kepastian hukum dengan kegunaan hukum, di dunia demokrasi
tentang demokrasi procedural dengan demokrasi substantive, di dunia
media-pers tentang informasi kapitalistik dengan informasi sosialistik,
di dunia kampus tentang kajian kuantitatif dengan kualitatif.
Pancasila sebagai sebuah ideolgi dengan Lima Sila (KeTuhanan,
KeManusiaan, Persatuan, Demokrasi, Keadilan Sosial) muncul di paruh abad
20, tercermati mengandung Nilai Lama (Purba, Tradisional) dan Nilai
Baru ( Religius, Moderen). Dengan demikian Pancasila sebagai sebuah
ideologi memediasi nilai moderen kapitalis (reinkarnasi nilai purba)
dengan nilai moderen sosialis (sublimasi nilai tradisional). Peran
keseimbangan demikian tercermati diperankan oleh agama Kristen (Nilai
Religius) menengahi nilai Purba dengan nilai Tradisional dalam kehidupan
masyarakat abad Pertengahan.
Tampil nilai Religius menawarkan
keselamatan akhirat bagi masyarakat Barat di abad Pertengahan, yakni
menyeimbangkan kepentingan individu dengan kepentingan sosial, membuka
jalan Nilai Modern.
Dalam cermatan jalan Nilai Modern mengiris
masyarakat Islam Muhamadyah yang cendrung Kapitalis, penganut kristen
yang kapitalis dengan masyarakat Islam Nahdatul Ulama yang cendrung
Sosialis. Sedangkan penganut agama lain tercermati sebagai agama tradisi
yang hierarkis (Hindu), dengan yang populis (Budha) dan berbagai
kepercayaan lama yang mengadaptasi dengan Zaman Modern.
Dalam
keterjebakan belenggu Nilai Purba versus Nilai Tradisional, belenggu
Ideologi Kapitalis versus Ideologi Sosialis, maka Indonesia tampil
Pancasila sebagai Ideologi Tengah. Ideologi yang merekat Kebhinekaan
menjadi Tunggal Ika: yakni kebhinekaan agama, suku, keyakinan, daerah
dapat bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menandakan manusia dan masyarakat Indonesia sebagai Dunia Mini.
Tercermati, Ideologi Tengah (Pancasila) sebagai jalan keseimbangan
substansi Nilai Lama dan Nilai Baru, mendamaikan Ideologi Kapitalis dan
Ideologi Sosialis. Kini tantangan bagi kualitas diri para pemimpin,
mampukah mengimplementasikan Nilai dan Ideologi Pancasila untuk
memerdekakan Rakyat dan Masyarakat: dari belenggu Kapitalis dan Neo
Liberal, dari belenggu Sosialis dan Neo Komunis?
Artinya dunia
para pemimpin tidak boleh memelihara pengutamaan kepentingan diri,
kelompok, golongan dan tidak boleh menggunakan kekuasaan secara feodal
mengatas-namakan Rakyat dan memanipulasi keberadaan Umat dengan
menghalalkan cara. Rakyat dan Umat tidak boleh digunakan lagi sebagai
selimut untuk kepentingan diri, kelompok, golongan yang berkuasa.
Dunia para Pemimpin harus bersih dari KKN. Penegakan hukum tidak boleh
hanya mengutamakan aspek prosedural (Kepastian Hukum) atau hanya
menekankan substansi hukum (Kegunaan Hukum). Melainkan harus
menyeimbangkan Kepastian Hukum dengan Kegunaan Hukum demi mencapai
Keadilan Hukum.
Berpolitik perlu keseimbangan Demokrasi
Prosedural dengan Demokrasi Substantive menuju Keadilan Demokrasi.
Praktek Ekonomi Kapitalis diseimbangkan dengan Ekonomi Sosialis, menuju
Ekonomi Pancasila. Kehidupan Media Pers sebagai penyalur Informasi,
harus menyeimbangkan Informasi Kapitalis dengan Informasi Kerakyatan
(Sosialis), sehingga ada balance antara kepentingan Penguasa dengan
Rakyat, antara Dunia Usaha dengan Konsumen, antara Pencari Keadilan dan
Penegak Keadilan.
Di titik keseimbangan itu mengisyaratkan
dunia para pemimpin adalah dunia orang-orang bijak, yang mampu
menyeimbangkan dalam setiap upaya serasi-selaraskan kepentingan diri,
kelompok, golongan dengan kepentingan umum. Dunia para pemimpin yang
sadar menjalankan kewajiban secara baik untuk dapat menerima apa yang
benar-benar menjadi hak-nya.
Patut menjadi perenungan para
pemimpin: Apakah mau terus terjebak, tetap teranyam dalam Nilai dan
Ideologi yang membelenggu? Atau mau mereformasi diri dalam Nilai dan
Ideologi yang memerdekakan, memanusiakan? Ideologi yang
menserasi-selaraskan Kapitalisme dengan Sosialisme. Ideologi Pancasila
telah memerdekakan Bangsa Indonesia, menawarkan kehidupan masyarakat
Postmoderen (abad XX —) yang penuh kemanusiaan. Dalam penghormatan hak
asasi manusia, gender, pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup
yang telah menjadi isu dunia (gelobal).
Masyarakat yang penuh
keseimbangan antar nilai dan keserasi-selarasan antar ideologi di
samping memerlukan dekonstruksi untuk rekonstruksi sesuai perubahan
sosial yang kontekstual. Karena itu manusia dan masyarakat
kemodern-moderenan memang tidak modern, juga ketradisionalan memang
tidak modern, apalagi mengabaikan aspek religius (agama). Begitupun
cahaya kereligiusan tetap mengakar ke tradisi dengan terang modern,
sehingga aspek religius dapat menjadi keyakinan dan harapan (optimisme)
manusia dan masyarakat dalam kegelapan tradisi dan kegulitaan modern.
Akhirnya, saya ucapkan selamat berpesta demokrasi untuk kota BauBau dan
Provinsi Sulawesi Tenggara dalam momentum suksesi tahun 2012 semoga
hasil pemilukada membuahkan para pemimpin yang di dambakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar